Tanpa Muhammadiyah-NU POP Pincang oleh Dr Hidayatulloh MSi, Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida); Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.
PWMU.CO – Dunia pendidikan di Indonesia tidak pernah selesai untuk diperbincangkan. Mulai dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud sampai dengan tataran riil di lapangan. Terlebih pada masa mas Menteri Nadiem Anwar Makarim memimpin Kemendikbud.
Sosok menteri yang satu ini sangat fenomenal, karena banyak beberapa hal. Yaitu: usianya paling muda, latar belakang pendidikan, bidang usaha yang ditekuni sebelumnya, gagasan, dan kebijakan-kebijakan baru yang dibuatnya.
Kebijakan fenomenal pertama yang digulirkan adalah Merdeka Belajar I, dengan empat bidang sasaran. Yaitu, pertama, ujian sekolah berstandar nasional (USBN) yang diselenggarakan oleh sekolah.
Kedua, ujian nasional (UN) yang dilaksanakan terakhir tahun 2020, pada akhirnya UN tidak dilaksanakan, karena pandemi Covid-19.
Ketiga, penyederhanaan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang cukup satu halaman. Keempat, peraturan penerimaan peserta didik baru (PPDB) Zonasi.
Program Organisasi Penggerak
Setelah kebijakan Merdeka Belajar I, dilanjutkan dengan kebijakan Merdeka Belajar II, yaitu kampus merdeka. Ada empat bidang sasaran, yaitu, pertama, pembukaan program studi baru. Kedua, distem akreditasi perguruan tinggi.
Ketiga, perguruan tinggi negeri badan hukum, dan keempat, hak belajar tiga semester di luar program studi.
Selanjutnya dikeluarkan kebijakan Merdeka Belajar III tentang perubahan pola penyaluran dan penggunaan dana operasional sekolah (BOS), berlanjut pada kebijakan Merdeka Belajar IV tentang program organisasi penggerak (POP).
Kebijakan POP ini melibatkan organisasi masyarakat bidang pendidikan, terutama organisasi-organisasi yang sudah memiliki rekam jejak yang baik dalam implementasi program pelatihan guru dan kepala sekolah.
Tujuannya meningkatnya kemampuan profesional para pendidik dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa.
POP ini diarahkan untuk menginisiasi sekolah penggerak yang idealnya memiliki empat komponen. Yaitu, pertama, kepala sekolah memahami proses belajar siswa dan mampu mengembangkan kemampuan guru dalam mengajar.
Kedua, guru berpihak kepada siswa dan mengajar sesuai dengan tahap perkembangan siswa.
Keempat, siswa menjadi senang belajar, berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, kolaboratif, dan berkebinekaan global.
Keempat, terwujudnya komunitas penggerak yang terdiri dari orangtua, tokoh, serta organisasi kemasyarakatan yang diharapkan dapat menyokong sekolah dalam meningkatkan kualitas belajar siswa.
Kebijakan POP ini akan dilaksanakan pada tahun 2020-2022, di mana organisasi penggerak akan menyelenggarakan pelatihan dalam program rintisan peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah selama dua tahun ajaran.
Pelatihan ini nantinya dilakukan kepada pendidik jenjang PAUD, SD, dan SMP dengan target sasaran peserta sebanyak 50.000 guru dan 5.000 kepala sekolah.
Dalam kebijakan POP ini Kemendikbud akan memberikan bantuan dana dengan tiga kategori, yaitu kategori gajah mendapat bantuan Rp 20 miliar per tahun dengan target lebih dari 100 sekolah.
Kategori macan mendapat bantuan Rp 5 miliar per tahun dengan target 21-100 sekolah. Kategori kijang mendapat bantuan Rp 1 miliar per tahun dengan target 5-20 sekolah.
Total dana yang akan digulirkan Kemendikbud dalam POP ini sebesar Rp 567 miliar per tahun.
Setelah Kemendikbud mengumumkan nama-nama organisasi penggerak yang dinyatakan lolos dan berhak mendapat bantuan dana dalam tiga ketegori tersebut, kemudian menjadi heboh, karena Muhammadiyah mundur dari POP, yang kemudian diikuti oleh NU.
Muhammadiyah dan NU Mundur dari POP
Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan mundur dari partisipasi aktif dalam Program Organisasi Penggerak (POP) yang diluncurkan Kemendikbud, dengan tiga pertimbangan, sebagai berikut:
Pertama, Muhammadiyah memiliki 30.000 satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Persyarikatan Muhammadiyah sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka.
Sehingga, tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam POP Kemdikbud RI sesuai surat Dirjen GTK tanggal 17 Juli Tahun 2020 Nomer 2314/B.B2/GT/2020.
Kedua, kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas. Karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Ketiga, Muhammadiyah akan tetap berkomitmen membantu pemerintah dalam meningkatkan pendidikan dengan berbagai pelatihan, kompetensi kepala sekolah, dan guru. Yaitu melalui program-program yang dilaksanakan Muhammadiyah sekalipun tanpa keikutsertaan dalam POP ini.
Dengan mundurnya Muhammadiyah dari POP ini, apalagi setelah NU menyusul menyatakan mundur juga, maka POP ini akan menjadi pincang.
Karena tidak diikuti oleh dua organisasi kemsyarakatan terbesar di Indonesia yang mempunyai rekam jejak sangat panjang dalam menyelenggarakan pendidikan. Bahkan mempunyai lembaga pendidikan mulai PAUD, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, dan perguruan tinggi yang jumlahnya puluhan ribu.
Mundurnya Muhammadiyah dan NU dari POP ini menjadi bahan pembicaraan yang luas dari berbagai kalangan. Baik ekskutif, legislatif, maupun organisasi sosial kemasyarakatan—secara kelembagaan maupun perorangan.
Untuk itu Kemendikbud perlu melakukan peninjauan kembali kebijakan POP ini, sehingga di kemudian hari tidak banyak menimbulkan masalah.
Mundurnya Muhammadiyah dari POP tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidiian di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Karena selama ini Muhammadiyah sudah terbiasa mandiri dalam penyelenggaraan pendidikan.
Masalah Pendidikan yang Lebih Urgen
Polemik keputusan Kemendikbud soal bantuan dana POP kepada organisasi penggerak yang telah diumumkan, perlu mendapat perhatian serius dari Kemendikbud.
Jika ada peninjauan kembali, maka dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan beberapa masalah pendidikan yang lebih urgen.
Ada lima masalah pendidikan yang lebih urgen untuk mendapatkan perhatian dan penanganan yang lebih serius dan segera. Yaitu, pertama, terbatasnya fasilitas di sekolah dan kuota internet yang mendukung pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Kedua, banyak daerah yang belum memiliki area akses internet yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung PJJ.
Ketiga, berkurangnya pemasukan keuangan lembaga pendidikan secara signifikan karena dampak Covid-19 di bidang ekonomi dan keuangan.
Keempat, banyak lembaga pendidikan belum mempunyai sarana dan prasarana yang memenuhi standar pelayanan minimal.
Kelima, banyak guru dan tenaga kependidikan dengan penghasilan yang sangat rendah dan memprihatinkan. Semoga Mas Menteri memperhatikannya! (*)
Tanpa Muhammadiyah-NU POP Pincang, Editor Mohammad Nurfatoni.