Tekstualis Neo Salafisme ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Keyakinan bahwa hanya ada satu al-Quran telah menjadi anutan bagi seluruh umat Islam. Bahkan Syiah pun hampir seluruhnya mengaku meyakini hal yang sama. Apa yang mereka baca adalah al-Qur’an yang sama, tidak ada lainnya.
Ada kelompok yang sangat kecil berpendapat semestinya ada versi lain tetapi mereka tidak bisa menunjukkan mana versi yang berbeda itu. Dalam al-Quran sendiri Allah telah menjamin bahwa al-Quran (al-dzikr) akan terjaga dari perubahan.
Dalam sejarah disebutkan ada beberapa orang yang telah mencoba memalsukan atau merubah sebagian ayat tetapi usaha itu selalu gagal untuk mengelabuhi umat. Perubahan tidak pernah bisa disembunyikan.
Aliran Tekstualis
Sementara teks (nashsh) al-Quran tetap terjaga, pemahaman terhadapnya bisa berubah atau berbeda-beda. Ada aliran tekstualis yang sangat berpegang teguh pada teks (nashsh).
Kelompok ini berpendapat pemahaman yang benar adalah pemahaman yang tidak bergeser dari teks. Menurutnya, tidak boleh ada pemahaman yang berdasar takwil, yakni penggeseran dari makna lahir.
Pemahaman tekstualis seperti itu berlaku juga terhadap teks hadits-hadits Nabi. Apa yang diucapkan oleh Nabi haruslah dimaknai apa adanya tanpa takwil.
Berbeda dari tekstualis, aliran kontekstualis berpendapat banyak ayat atau sabda Nabi yang harus dipahami sesuai dengan konteksnya karena nashsh lahir dalam situasi tertentu atau budaya tertentu.
Tekstualisme Akidah
Cikal-bakal aliran tekstualis diletakkan oleh Ahmad bin Hanbal. Ia menolak pendapat yang mengatakan bahwa al-Quran itu makhluk karena Allah SWT tidak pernah menyebutnya makhluk.
Ahmad bin Hanbal juga menolak menyebut al-Quran itu bukan makhluk (ghayru makhluq) karena Allah SWT tidak menyebutnya demikian. Menurut Ahmad bin Hanbal, al-Quran adalah kalamullah (firman Allah).
Sepanjang data yang ada, sesungguhnya tekstualisme Ahmad bin Hanbal itu hanya berlaku dalam persoalan akidah. Dalam persoalan hukum (fikih) Ahmad bin Hanbal tidak selalu tekstualis. Statemen-statemen Ahmad bin Hanbal yang menjadi bukti tekstualisme berada pada wilayah akidah dan bukan pada wilayah fikih.
Tekstualisme dalam persoalan akidah itu diikuti oleh Ibn Taymiyyah. Dari tulisan-tulisannya dapat diketahui bahwa Ibn Taymiyyah menolak takwil dan pemahaman metaforik terhadap nashsh-nashsh akidah.
Ketika ayat menyebut tangan dan kursi Allah, kata Ibn Taymiyyah, harus dipahami bahwa itu betul-betul tangan dan kursi, bukan di-takwil-kan ke makna kekuasaan. Di luar wilayah akidah, Ibn Taymiyyah sering kali berfikir kontekstual, seperti ketika berbicara tentang politik umat Islam.
Misalnya, teks al-Quran yang melarang umat Islam mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin tidak selamanya harus berlaku. Kata Ibn Taymiyyah, ada kalanya dalam situasi tertentu umat Islam boleh memilih pemimpin non-Muslim.
Tektualisme dalam soal akidah itulah yang disebut aliran salaf sejak masa Ahmad bin Hanbal sampai dengan Ibn Taymiyyah. Muhammad bin Abd al-Wahhab pun berpendirian seperti itu.
Tekstualisme Fikih
Tetapi, kelompok yang menisbatkan diri pada pendirian tiga tokoh tersebut telah memperluas tekstualismenya pada persoalan fikih. Pemahaman mereka tentang ru’yah (melihat) bulan untuk memulai dan mengakhiri puasa menjadi bukti perluasan itu.
Mereka berpendapat bahwa karena nashsh (teks) hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, ”Puasalah karena melihat bulan………,” maka tidak ada pilihan lain kecuali melihat dengan mata telanjang.
Salafiyah seperti itu, mungkin bisa disebut neo-salafisme, menjadi aliran dominan di Saudi Arabia dan juga dianut oleh organisasi-organisasi Islam di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh negara itu dalam menentukan awal dan akhir puasa di bulan Ramadlan.
Hubungan ini bisa menjelaskan mengapa DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) menggunakan rukyah. Sebabnya ialah dominasi para tokohnya yang merupakan alumni pendidikan di Saudi Arabia.
Persis (Persatuan Islam) yang punya hubungan dekat dengan DDII memiliki Dewan Hisbah yang tampaknya didominasi oleh lulusan Saudi Arabia.
Paradigma tajdid yang menjadi slogan gerakan mereka diwujudkan dalam perjuangan untuk memberantas bidah dan khurafat serta kembali kepada al-Quran dan Sunnah yang berhenti pada tekstualisme. Kelompok-kelompok neo-salafi lainnya kurang lebih memiliki pendirian yang sama.
Sikap Muhammadiyah
Menurut saya, tidak semua masalah bisa dipahami dengan tekstualisme. Dalam al-Quran (al-Mu’minun:5-7), misalnya, disebutkan seorang Muslim bisa melakukan hubungan seksual dengan budak-budak perempuannya.
Praktik itu berlangsung sejak zaman Nabi sampai dengan masa pra-modern. Jika para tekstualis konsisten, maka pada masa sekarang pun kita seharusnya boleh memiliki budak tanpa batas jumlahnya dan bisa berhubungan seksual dengan mereka.
Jika negara melarang, maka itu berarti melanggar syariat Islam. Terhadap persoalan ini, dalam situasi yang sudah berubah seperti sekarang, tentunya banyak ulama yang lebih memilihi pemahaman kontekstual daripada tekstual.
Berbeda dengan neo-salafisme itu, Muhammadiyah merupakan gerakan tajdid yang tidak terbelenggu oleh tekstualisme. Pemahaman keagamaannya terus dinamis, khususnya dalam soal-soal keduniayaan seperti metode menentukan awal bulan.
Bagi Muhammadiyah, Islam harus dipahami secara komperhensif. Pada kasus tertentu, Muhammadiyah bisa memahaminya secara tekstual, dan pada kasus lainnya, bisa kontekstual. Pendekatan seperti itu bisa dilihat pada putusan-putusan Majelis Tarjih sejak awal sampai sekarang. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul asli Tekstualis dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO dengan judul Tekstualis Neo Salafisme.