PWMU.CO – Believe system, Tuhan dalam otak manusia dikupas oleh pakar neurosains sekaligus penulis buku Neurosains Dr dr Taufiq Pasiak MPdI MKes.
Dia mengupas Dinamika Otak Spiritual dalam Kehidupan pada Pengajian Ahad Malam yang diselenggarakan oleh CEO Parahita M Sulthon Amien via aplikasi Zoom, Ahad (19/7/2020).
Otak Optimum
Menurut Taufik Pasiak ada tiga hal yang perlu dijelaskan sebelum memasuki topik ini. Pertama dirinya bukan dokter saraf yang mempelajari tentang saraf.
“Saya dokter yang mempelajari otak yang sehat kemudian mempelajari bagaimana cara untuk membuat otak lebih optimum,” ujarnya.
Bukan maksimum tapi optimum. Kalau maksimum sudah dibatas di ujung. Kalau optimum ada space sedikit antara otak yang normal kemudian menjadi optimum dan lanjutnya maksimum.
“Saya sedang mengembangkan yang namanya kognitif transendent strategy. Yakni segi praktis untuk mengubah otak yang normal menjadi otak yang optimum,” sambungnya.
Kedua, lanjutnya, kita tidak berbicara agama sebagai fundamen di sini dan mencoba bergerak dari sains. Dalam hal ini neurosains atau ilmu tentang otak. Ilmu ini akan memberikan penjelasan yang investigatif dan eksploratif terhadap perilaku beragama.
“Sehingga dalam menjelaskan perilaku spiritual ini saya banyak menggunakan istilah yang berbau kedokteran atau neurosains dan tidak berbau agama. Misalkan kalbu, hati, dan otak,” ungkapnya.
Mudah-mudahan, harapnya, tidak ada yang tanya bedanya hati dan otak itu apa. Karena dari sudut pandang orang yang belajar neurosains hati itu ya otak. Karena tanpa otak semua piranti tubuh itu seperti mental sosial dan spiritual tidak berfungsi. Kecuali hubungan dia dengan Tuhan. Oleh karena itu kalbu atau hati itu adalah otak.
Agama Berasal Satu Sumber
“Ketiga ritual itu perilaku beragama yang bisa diamati. Misalkan berdoa, shalat, bersedekah, berkunjung ke rumah ibadah, pengajian atau haji. Itu adalah ritual-ritual yang dari segi fenomena bukan substansi, yang nampak dari permukaan,” paparnya.
Itu tidak beda, sambungnya, dengan yang dilakukan oleh hampir semua agama. Misalkan di Kristen dalam berdoa ada ucapan ada gerakan tangan. Bahkan dalam isi doa pun ada kesamaan.
“Semua doa diawali pujian, baru kemudian permintaan. Saya menyampaikan ini untuk menjelaskan bahwa Islam itu ada yang membedakan. Tetapi secara fenomologi sama,” tambahnya.
Dari sini kita bisa memahami bahwa agama-agama itu berasal dari satu sumber akan tetapi pada perjalanannya ada yang ke Malang, Blitar atau Madura, tergantung jalan yang dilewati.
“Ada yang jalannya betul tetapi ada juga yang salah. Ada yang mengalami perubahan dan ada yang tetap. Oleh karena itu kebenaran Islam itu terletak pada believe yakni iman, bukan pada shalat dan ritual lain,” sergahnya.
Berbicara tentang jenis-jenis kecerdasan, ujarnya, Daniel Goleman mengungkap kecerdasan emosi pada tahun 2000 ke atas.
“Pada 1995 saya sudah menulis tentang ini meski tidak kaya literatur. Juga Danah Zohar menulis tentang spiritual intelegensi. Bagi saya yang mereka bawa adalah spiritualitas yang berbasis agama Hindu. Harus hati-hati memahaminya. Karena kalau ditelusuri lebih jauh landasan filosofinya adalah ajaran-ajaran Hindu,” ungkapnya.
Believe, Behavior, dan Belonging
Dia menjelaskan, kalau berbicara perilaku beragama dari sudut kedokteran maka bisa dibagi menjadi tiga komponen. Pertama iman. Iman itu kepercayaan yang sifatnya vertikal. Sering disebut believe system.
“Kedua untuk menghubungkan diri dengan Tuhan maka manusia menciptakan ritual-ritual. Seperti shalat dan doa-doa. Ini disebut aspek behavior,” jelasnya.
Kalau kita, lanjutnya, hadir di komunitas-komunitas atau tempat ibadah disebut dengan belonging. Orang ke masjid untuk pengajian itu aspek belonging.
“Tiga hal inilah yang membedakan perilaku beragama. Tetapi yang paling utama adalah believe system. Ragam believe system menunjukkan agama itu berkembang,” tegasnya.
Satu-satunya agama yang tidak berubah, konsisten dan istikamah itu adalah Islam. Keyakinan kepada Tuhan yang impersonal. Tuhan yang berbeda dengan ciptaannya dan diperkenalkan dalam Asmaul Husna.
“Maha Pengasih, Maha Penyayang, memberi rezeki, maha pengampun dan lain-lain. Ada 99 ciri Tuhan dalam Asmaul Husna. Kalau ibarat penyakit kita mengenal suatu penyakit dengan ciri ada yang namanya gejala dan ada keluhan. Gejala itu objektif dan keluhan itu subjektif. Kalau kita mengenal 99 ini maka akan mampu membawa kita kepada Allah,” paparnya.
Riset Believe System
Kalau melihat riset kedokteran tentang agama ternyata lebih banyak pada aspek belonging. Datang ke masjid atau gereja. Ada orang yang datang ke masjid merasa senang dan enjoy karena bertemu banyak teman, ada yang naik haji dan bersedekah, berdoa, dan puasa itu adalah aspek belonging saja.
“Riset seperti ini banyak. Tetapi riset tentang believe system itu masih kurang. Baru dua tahun belakangan ini orang banyak meneliti apakah iman ada efek terhadap yang lain. Believe ini punya efek atau tidak ke behavior dan belonging. Beberapa riset ternyata ini sangat menentukan,” terangnya.
Contoh, sambungnya, riset tentang doa. Kenapa orang setelah berdoa merasa nikmat dan senang. Orang yang merasa dekat dengan Allah dimana Allah selalu terlibat dalam dirinya itu merasa setiap doanya dijawab. Doa yang dijawab itu bermacam-macam bentuk.
Penelitian di pusat-pusat kanker yang menunjukkan orang penderita kanker yang survive itu bisa 5 sampai 10 tahun hidupnya.
“Orang yang mampu mengubah struktur kognitif artinya bahwa penyakit itu adalah cobaan. Itu bisa terjadi survive lebih lama dibandingkan dengan penderita kanker yang menganggap penyakit itu adalah azab atau bencana. Beda sekali kan mindset-nya,” jelasnya.
Dekat dengan Allah
Maka kita harus merasa Allah dekat dengan kita. Sehingga apa yang terjadi dengan kita itu misalkan mendapat rezeki, kebaikan, ataupun keburukan hanya karena kasih sayang Allah kepada kita. Dengan seperti itu maka orang akan menilai apa yang dialami adalah cobaan.
“Kita itu menyatakan iman atau believe kepada Allah tetapi kadang sering jauh dari Allah. Sehingga merasa bencana yang kita alami adalah hukuman. Maka yang harus diperbaiki oleh kaum Muslimin dari pandangan neurosains adalah bagaimana orang bisa merasa selalu dekat dengan Allah. Mindset-nya Allah selalu ada di mana saja,” tuturnya.
“Saya menggunakan istilah yang lebih neurosains adalah Tuhan dalam otak manusia. Bukan bermakna Tuhan berada di otak tetapi maksudnya kedekatan dengan Allah itu harus memenuhi struktur kognitif,” imbuhnya.
Seperti mengubah mindset bencana sebagai hukuman menjadi cobaan. Mengubah cara berpikir dan itu ada di otak semua. Kalau itu bisa terjadi maka kita akan merasa Allah itu dekat. Ada berapa mindset yang perlu diubah dalam hidup untuk kedekatan dengan Allah. Memang kedekatan ini menjadi syarat utama belonging maupun behavior.
Korupsi di Indonesia
“Umat Islam Indonesia itu besar tetapi kenapa korupsi bisa terjadi? Itu karena orang mengembangkan belonging. Rajin pengajian, rajin majelis taklim, naik haji, dan lain-lain. Tetapi believe system dalam hatinya tidak dikembangkan. Kita beragama baik tetapi dalam beriman tidak baik. Karena Tuhan kita letakkan jauh-jauh dari diri kita. Harusnya dalam memutuskan sesuatu kita dalam kendali Tuhan,” urainya.
Menurutnya penting bagi umat Islam untuk memahami agama dengan baik. Karena agama adalah akal. Islam itu agama yang tidak taklik buta. Islam adalah agama yang membuka ruang pikiran orang untuk memahami.
Manusia itu, ujarnya, harus menyatu atau penyatuan dalam tanda kutip cara berpikir dia atau mindset dia berdasarkan apa yang menjadi dasar dari Ketuhanan.
Menyatu dengan Asmaul Husna
“Apa yang mau disatukan dari Tuhan dengan manusia? Itu asmaul husna tadi. Contoh salah satu sifat al-Qudus atau kesucian. Ketika kita membawa sifat ini sebagai sesuatu yang menyatu dalam diri, maka kebersihan menjadi nomor satu dalam hidup. Mulai dari dapur di rumahnya sampai ketiak di tubuhnya,” terangnya.
Misalkan lagi, sambungnya, sifat Rahman. Maka kita harus baik kepada semua orang tidak pandang siapa dia. Apalagi kepada orang yang membutuhkan pertolongan.
“Maka kemudian bagaimana mendekatkan diri kepada Allah sehingga semua sifat-sifat Allah itu atau berakhlaklah dengan akhlak Allah. Jadi agenda kita memperkuat believe system sembari memperbaiki apa yang sudah kita buat dengan behavior maupun belonging,” tuturnya.
“Kita butuh kesadaran bahwa Allah dekat dengan kita. Ini yang membedakan antara orang-orang yang atheis dengan orang yang beragama,” tegasnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.