Temukan Proses dan Kreativitas dalam PJJ. Kolom ditulis oleh Mar’atus Sholichah SPd, Guru SD Muhammadiyah 1 GKB Gresik.
PWMU.CO – Kita seringkali salah fokus terhadap tujuan. Saat berwisata, tujuan kita adalah menikmati waktu luang, menenangkan pikiran, dan membahagiakan diri.
Tapi bagi sebagian orang, tujuan ini justru dikesampingkan. Yang dinomorsatukan adalah berfoto dan memamerkannya di media sosial. Salah? Tentu tidak. Hal itu sah-sah saja. Tapi bukankah kebahagiaan diri kita adalah yang utama?
Belajar pun demikian. Anak selalu sibuk belajar. Mengerjakan tugas dari A sampai Z. Latihan soal satu buku pun dilahap habis. Apakah mereka tahu sejatinya untuk apa belaja keras selama ini?
Jika mereka tahu tujuan utama dari semua itu tentu tidak akan pernah keluar kalimat, “Duh, banyak banget tugasnya!” atau “Haduh, tugas lagi tugas lagi!”
Jika kita merencanakan berwisata sesuai dengan keinginan, sejak jauh-jauh hari membayangkannya saja akan terasa menyenangkan. Mempersiapkannya pun sangat bersemangat walaupun terkadang ribet dengan ini-itu.
Jika anak tahu tujuan belajar itu apa, membayangkannya saja pun akan terasa menyenangkan. Sesulit apapun pelajaran yang dihadapi, mereka akan bersemangat.
Proses Mental dalam Diri Anak
Menurut Rusman (2012) belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu sebagai hasil dari pengalamannya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Belajar bukan sekadar menghafal, melainkan suatu proses mental yang terjadi dalam diri seseorang.
Jangan sampai anak terlalu sibuk belajar sampai lupa akan tujuan utamanya, yaitu adanya perubahan yang meliputi tingkah laku, pengetahuan, keterampilan, maupun sikap.
Penting bagi siswa mengetahui apa tujuannya mempelajari sesuatu. Sampaikan tujuan pembelajaran. Sederhana, namun bisa mengubah pandangan siswa tentang ‘belajar’ itu sendiri.
Tujuan pembelajaran yang transparan, tepat sasaran, dan aplikatif akan membuat siswa membayangkan belajar bagaikan berwisata. Mengetahui dunia luar, mencoba hal baru, menambah wawasan baru, akan terasa menyenangkan bagi siswa.
Alangkah baiknya jika siswa diajak membuktikan sendiri manfaat setiap hal yang mereka pelajari. Siswa akan belajar dengan tujuan ingin tahu dan ingin bisa. Bukan lagi karena mengejar nilai yang bagus, ranking yang bagus, belajar karena takut dimarahi orang tua jika mendapat nilai jelek.
Mereka akan belajar dengan nyaman dan menikmati hasil belajar mereka sendiri dengan penuh kepuasan. Siswa tak perlu lagi mengkhawatirkan nilai atau rangking yang jelek. Siswa bisa mengeksplor bakat dan minat yang mereka miliki.
Potensi dan Keunikan Beragam
Ikan akan menjadi bodoh jika diukur dari segi kompetisi berlari. Padahal, di sisi lain, dia akan mendapat juara jika diukur dari kompetisi berenang.
Demkian pula siswa. Mereka penuh dengan potensi dan keunikan yang berbeda-beda. Menggali potensi anak adalah pekerjaan rumah besar untuk guru. Tak terkecuali di masa pandemi seperti saat ini.
Masa pandemi Covid-19 tentu memengaruhi jalannya pendidikan di Indonesia. Perubahan kebijakan dan pelaksanaan pendidikan terjadi begitu cepat. Namun, pandemi ini tak selamanya musibah.
Bagi orang-orang yang tanggap dengan perubahan, masa saat ini menjadi ajang menunjukkan kreativitas dalam segala bidang, tak terkecuali bidang pendidikan. Siswa dipaksa belajar dari rumah. Mau tak mau mereka harus belajar secara mandiri dengan bimbingan orangtua.
Bukan berarti guru lepas tangan. Dalam waktu yang begitu singkat, guru pun dipaksa menentukan sistem pendidikan yang akan dijalankan. Kebijakan-kebijakan normal tak lagi bisa digunakan dan harus berubah sesuai dengan keadaan.
PJJ yang Fleksibel
Pendidikan jarak jauh (PJJ) memberikan ruang seluas-luasnya bagi siswa untuk belajar tanpa sekat apapun. Dari rumah, mereka bisa belajar dengan fleksibel tanpa batasan waktu maupun ruang kelas yang mengikat.
PJJ pun membuat guru benar-benar berperan sebagai fasilitator. Semua kegiatan berpusat pada siswa itu sendiri. Siswa disilakan belajar secara mandiri dari sumber yang beragam.
Tugas daring yang diberikan kepada siswa, sebaiknya tak hanya mengerjakan pilihan ganda atau soal uraian. Tapi tugas yang memunculkan kreativitas, membentuk karakter, dan life skill. Terlebih saat ini siswa dihadapkan pada problem yang bisa jadi belum siap mereka terima.
Misalnya, anak usia TK harus merelakan masa belajar dan bermainnya di sekolah bersama dengan teman dan gurunya menjadi berkurang. Tentu ini akan memengaruhi psikologi siswa.
Bagaimana nanti ketika sekolah sudah diizinkan untuk mengadakan pembelajaran tatap muka? Apakah mereka akan siap mengalami peralihan masa dari TK ke SD? Hal ini patut menjadi perhatian para guru.
Guru bisa memberikan tugas yang bervariasi dengan mengombinasikan gaya belajar siswa, yaitu auditori, visual, dan kinestetik. Agar semua siswa mendapat porsi sesuai gaya belajarnya masing-masing. Bisa berupa tugas praktik berolahraga, menyimak dongeng berbahasa Inggris, atau tugas membaca buku atau cerpen.
Stay at home memiliki nilai plus, yaitu bisa memunculkan kreativitas siswa. Contohnya ketika siswa mendapat tugas untuk berkreasi. Mereka akan berpikir bagaimana dia tetap bisa berkreasi dengan memanfaatkan barang-barang yang tersedia di rumah.
PJJ menuntut siswa mengelola secara mandiri aktivitas belajarnya. Menyusun jadwal kegiatan selama di rumah, membagi waktu antara mengerjakan tugas sekolah sebagai siswa dan melakukan aktivitas rumah sebagai anak, dan membangun komunikasi dengan orangtua.
Tumbuh Pendidikan Karakter
Dari sinilah akan tumbuh pendidikan karakter yang sesungguhnya. Bagaimana cara anak beradaptasi dengan situasi yang di luar normal, cara mereka merespon perubahan, cara mengatasi berbagai hal di luar zona nyaman—yang mungkin tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi.
Siswa di era saat ini layak disebut pelajar yang tangguh. Saat mereka berhasil melewati masa pandemi ini dengan baik, budaya mandiri akan mengakar dalam diri mereka.
Pandemi ini bisa mengubah mindset siswa bahwa belajar harus di sekolah, dengan guru, dan di dalam ruang kelas. Belajar lebih dari itu. Belajar dapat dilakukan di manapun, kapan pun dan dengan siapa pun. Siswa akan merasakan esensi belajar yang sesungguhnya.
Meskipun tidak dapat bertatap muka dengan siswa, guru tetap berkewajiban membimbing siswa dari segi materi maupun pendidikan karakternya.
Ikatan batin seorang guru dengan siswa tanpa tatap muka tentunya terasa berbeda. Inilah yang menjadi PR besar bagi guru. Menyentuh hati siswa tanpa tatap muka. Menelpon setiap hari, menanyakan kabar, membahas materi belajar, sharing tentang kehidupan sehari-hari, memotivasi siswa, setidaknya itulah yang bisa dilakukan guru di masa pandemi untuk menjaga ikatan dengan siswa.
Jangan sampai guru hanya menelepon jika ada tugas siswa yang belum dikerjakan, apalagi hanya menagih tagihan pembayaran SPP.
Guru, sebagai pihak yang mengemban tugas menggerakkan roda pendidikan harus berupaya semaksimal mungkin menjangkau semua siswa dengan segala keterbatasan maupun kendala yang dimiliki masing-masing siswa.
Alih Tugas Orangtua
Di era belajar yang serba daring saat ini, orangtua menjadi ‘guru dadakan’ bagi anak. Guru hanya bisa memantau belajar siswa dari jauh via aplikasi. Dan orangtua-lah yang memantau secara live kegiatan belajar anak.
Situasi ini memaksa orangtua kembali belajar. Tak hanya mempelajari materi pelajaran, tapi juga belajar menghadapi psikologis anak. Yang mungkin sudah mulai jenuh, mengelola emosi diri dan anak, dan belajar memanajemen waktu.
Satu lagi poin yang bisa disimpulkan, yaitu belajar tak mengenal usia. Belajar merupakan proses berkelanjutan yang secara sadar atau tidak kita lakukan setiap hari.
Belajar bukan sekadar menghafal, tapi juga berproses menuju yang lebih baik. Belajar tak hanya soal nilai di atas kertas, tapi bagaimana kita menjalani kehidupan dengan lebih baik setiap harinya.
Yuk, temukan proses dan kreativitas! (*)
Temukan Proses dan Kreativitas dalam PJJ; Editor Mohammad Nurfatoni.