PWMU.CO – Ulama: Kiai atau Profesor? Jika kita merujuk pada akar katanya, ulama adalah bentuk jamak dari kata alim. Dari kata alima, yang bermakna mengetahui secara jelas.
Semua kata yang terbentuk dari huruf ain, lam, dan mim, selalu merujuk pada makna kejelasan. Seperti alam (bendera), alam (alam raya, makhluk yang memiliki rasa dan atau kecerdasan), atau alamah (alamat).
Dalam al-Quran, kata ulama ditemukan di antaranya dalam surat Fathir 28, “… Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Ulama dalam Al-Quran
Selama ini kata ulama dipakai sebagai julukan bagi orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Seperti definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di masyarakat sebutan ulama diberikan, misalnya, pada kiai, ajengan, atau ustadz.
Namun merujuk pada akar kata dan penggunaan kata tersebut dalam al-Quran, pengertian ulama ternyata tidak sebatas untuk orang yang ahli dalam pengetahuan agama Islam saja: kiai, ajengan, atau ustadz.
Sebelum menyebut kata ulama dalam ayat di atas, al-Quran mengajak memperhatikan bagaimana Allah menurunkan air dari langit kemudian melalui hujan yang menyirami bumi itu, Allah menumbuhkan buah-buahan yang beraneka ragam.
Demikian juga gunung-gunung, ada garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya. Dan ada (pula) yang hitam pekat (Fathir 27). Demikian (pula) manusia, binatang-binantang melata dan hewan-hewan ternak bermacam-macam warna (dan jenisnya) (Fathir 28).
Ulama, lmuwan yang Takut
M. Quraish Shihab menjelaskan, dari ayat-ayat di atas ada dua hal penting yang perlu dicatat. Pertama, adanya penekanan pada keanekaragaman dan perbedaan-perbedaan di muka bumi.
Bukan hanya soal keanekaragaman alam seperti disebutkan oleh dua ayat di atas, tetapi juga tentang keanekaragaman tanggapan manusia terhadap nabi dan kitab suci. Seperti disebut di Fathir 25:
“Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.”
Kedua, mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan sosial itulah yang disebut sebagai ulama. Dengan syarat pengetahuan tersebut menghasilkan khasyyah. Yakni rasa takut pada Allah yang disertai penghormatan yang lahir akibat pengetahuan tentang objek.
Dengan kata lain, ilmuwan sains dan sosial yang memiliki spiritualitas, yakni mampu memuarakan ilmunya untuk Allah, adalah ulama. Ini sejalan dengan makna ulul albab. Sepadan dengan filosofi padi dalam tradisi Jawa: semakin berilmu semakin merunduk.
Sebaliknya ilmuwan yang bebas nilai, yang ilmunya tak mampu mengantarkan dirinya pada sikap khasyyah, menjauhkan dirinya dari Allah, maka bukanlah termasuk seorang ulama.
Ulama adalah ilmuwan yang mampu mewarnai ilmu mereka dengan nilai-nilai spiritual dan dalam penerapannya mengindahkan nilai-nilai itu.
Dalam bahasa yang populer, ulama adalah mereka yang mampu ‘membaca’ ayat-ayat kauniah yang terhampar di alam semesta dan ayat-ayat qauliah yakni al-Quran. Tentang kemampuan ‘membaca’ (mendalami) al-Quran ini bisa dibaca pada ayat selanjutnya: Fathir 29-30.
Profesor Ulama
Maka, siapapun yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang fenomena alam dan sosial, dan atau kandungan kitab suci serta memiliki khasyyah—rasa takut dan kagum pada Allah—dia layak dimasukkan sebagai kelompok ulama.
Jadi, bisa saja ulama itu adalah seorang dokter, fisikawan, sosiolog, atau psikolog. Tentu, dengan syarat dan ketentuan berlaku. Dalam konteks sebagai ilmuwan yang selalu bergelut dengan (penelitian) ilmu—bukan dalam pengertian jabatan puncak akademik—seorang profesor pun adalah ulama.
Tapi kalau ‘gelar’ profesor itu membuat penyandangnya sombong—salah satu nilai non-spiritual—maka dia tak pantas sebagai ulama. (*)
Penulis/Editor Mohamamd Nurfatoni.