PWMU.CO – Nadjikh contohkan relasi ekonomi dan agama. Hal itu disampaikan oleh Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr M Saad Ibrahim MA.
Saad Ibrahim menyampaikannya saat memberikan sambutan dalam acara launching dan bedah buku Mohammad Nadjikh Penggerak Saudagar Muhammadiyah via Zoom di Kantor PWM Jatim, Jumat (11/9/2020).
Fenomena Besar
Menurutnya sebuah fenomena besar terjadi di tengah warga Muhammadiyah. Yakni kiprah yang dimainkan oleh almarhum Mohammad Nadjikh.
“PWM Jatim berinisiatif untuk mengenang beliau dengan menghadirkan buku yang judulnya Mohammad Nadjikh Penggerak Saudagar Muhammadiyah. Artinya kita sebut sebagai fenomena besar karena kita berharap ini akan menjadi gelombang yang melahirkan fenomena-fenomena berikutnya. Sehingga Muhammadiyah menjadi organisasi terdepan dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan ekonomi,” ujarnya.
Menghubungkan M Nadjikh saudagar Muhammadiyah itu, lanjutnya, berarti menghubungkan sebuah sosok yang mempunyai profesi sebagai saudagar lalu berada di dalam persyarikatan Muhammadiyah. “Maka dengan singkat kita sebutkan ada relasi antara ekonomi dan Islam atau agama,” ungkapnya.
Thesis Max Weber
Studi relasi, sambungnya, antara agama dan ekonomi dalam ranah studi modern didahului oleh Max Weber yang menulis buku berjudul Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism.
Dialah orang pertama dalam kajian modern yang menghubungkan ekonomi dengan agama. Dia menyebutkan pandangan dari orang-orang protestan yang lalu pandangan itu menjadi etos kerjanya. Orang Protestan mempunyai keyakinan bahwa orang masuk surga itu bukan karena amal baiknya di dunia ini tetapi semata-mata karena The Grace of God atau semata-mata karena fadlum minallah.
Sekalipun demikian, lanjutnya, orang bisa mengetahui siapa yang akan mendapatkan The Grace of God. Orang yang memiliki tanda untuk itu adalah orang yang telah bekerja dengan baik, mengakumulasikan kekayaan lalu kekayaannya digunakan di jalan Tuhan.
“Keyakinan seperti ini melahirkan etos kerja dan etos kerja di kalangan protestan itu kemudian mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Maka dari situlah Max Weber menyimpulkan bahwa kapitalisme itu berangkat dari pengaruh yang diberikan dalam konteks teologi protestan dan etos kerja mereka lalu menular ke yang lain,” paparnya.
“Soal di kemudian hari ada yang menggugat mengenai thesis ini, yakni ada yang menyebutkan bahwa agama-agama yang lain juga memiliki hal yang sama. Maka bukan itu ranahnya yang ingin saya sampaikan,” tambahnya.
Fikih Muamalah
Jauh sebelum itu, menurutnya, studi-studi keislaman selalu dihubungkan antara ekonomi dengan agama Islam. Dalam khazanah fiqih misalkan didapatkan fiqih muamalah.
“Fiqih muamalah membicarakan dari konteks hukum relasi antara harta dengan subyek yang memiliki harta itu sendiri yaitu manusia. Bagaimana mendapatkannya dan mentasyarufkan. Bahkan tidak hanya itu khazanah fiqih juga kita dapatkan bagaimana negara berkaitan dengan ekonomi,” jelasnya.
Dalam konteks Al Mawardi, ujarnya, di dunia salah satu hal pentingnya adalah ekonomi. Maka kemudian kajian-kajian tentang itu memperkaya khazanah Islamiyah. Baru kemudian pada masyarakat modern dimulai oleh thesis Max Weber.
Kajian Ekonomi Berbasis Teologi
“Terkait dengan itu semuanya kalau hari ini kita mau melaunching sebuah buku mengenai Pak Nadjikh, tidak lain dan tidak bukan kajian-kajian ekonomi yang berbasis pada teologi Islam harus menjadi ranah ke depan dan harus terus-menerus kita lakukan,” pesannya.
Dia menegaskan kebaikan seseorang bukan ditentukan oleh memiliki harta atau tidak. Ada empat hal yang menyebabkan kita baik atau tidak terkait dengan kekayaan.
“Pertama apakah kita punya etos kerja yang baik terkait dengan itu. Semakin kita baik maka semakin kita memiliki tanda kebaikan dari Allah swt,” urainya
“Kedua sikap kita dalam bekerja itu mengikuti garis yang telah diajarkan mengenai kebenaran itu. Maknanya bekerja tidak cukup dengan etos kerja, tetapi bekerjanya juga baik, jujur, transparan dan sebagainya,” sambungnya.
Ketiga kalau sikap mental kita ketika kita sudah mendapatkan kekayaan atau tidak mendapatkannya. Kalau sikap kita ketika mempunyai harta lalu mengatakan kita dimulyakan Allah, maka yang seperti itu ditolak oleh al-Quran.
“Sebaliknya kalau kita sudah bekerja keras dan cara yang benar tetapi akumulasi kekayaan itu tidak bisa terjadi maka dikatakan tidak dimulyakan Allah. Itu juga ditolak oleh al-Quran,” tegasnya.
Dia berpesan apa yang didapatkan dalam proses-proses itu maka harus menjadi bagian yang disyukuri kepada Allah. Kalau belum dapat maka tetaplah berusaha
“Keempat ketika sudah mendapatkan kekayaan maka kekayaan itu digunakan untuk apa. Maka 4 hal inilah yang menentukan baik buruknya kita, terkait soal kehartaan itu,” terangnya.
Maka Insyaallah, sambungnya, di Muhammadiyah ini kita telah membangun etos itu dengan kehadiran Mohammad Nadjikh.
“Kita juga sudah berusaha, bekerja dengan sebaik-baiknya, kemudian kita berserah diri kepada Allah. Hasilnya selalu digunakan untuk kebaikan umat, bangsa dan kebaikan kemanusiaan,” tuturnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.