Melahirkan Generasi tanpa Prasangka, Butuh “Kacamata X-Ray” ditulis oleh Ria Pusvita Sari, Sekretaris Departemen Pendidikan PWNA Jawa Timur; Koordinator Humas SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik
PWMU.CO – Suatu hari, Anes berjalan santai di daerah sekitar rumahnya. Tiba-tiba, terdengar suara mengeong keras dari balik semak-semak. Anes pun kaget saat seekor kucing tiba-tiba menyerangnya. Rupanya ia telah menginjak ekor kucing saat berjalan melewati samping semak tanaman.
Sejak itu, Anes takut saat melihat kucing dengan mata menyala dan melangkah pelan di malam hari. Setiap kali Anes mendengar kucing mengeong, ia mulai gemetar dan hampir menangis. Orang tua Anes mencoba membuatnya menyukai kucing yang ramah, tetapi perilaku Anes terhadap kucing tidak berubah.
Lebih buruk lagi, ia tidak melihat siapa pun yang sedang bersama kucing. Dia bahkan menolak menghabiskan waktu bersama teman-teman yang memiliki kucing. Anes bahkan mulai melemparkan batu ke setiap kucing yang dilihatnya!
Kisah tentang fobia kucing tersebut dapat menjadi pelajaran bahwa Anes selalu curiga dan mempunyai prasangka tidak baik dengan apa dan siapa pun yang berkaitan dengan kucing. Dalam al-Quran Surat al-Hujurat ayat 12, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.”
Mari belajar untuk memandang dan menilai setiap orang sebagai individu, bukan dari identitas kelompok, status sosial, atau karakteristik kelompok lainnya. Lihatlah setiap orang sebagai individu yang unik.
Terkadang menilai orang lain hanya dari kesan pertama bisa sangat berbahaya. Karena itu, kita harus menggunakan “Kacamata X-Ray” ketika melihat orang lain. “Kacamata X-Ray” ini dapat digunakan untuk melihat melebihi penampilan luar dan melihat jauh ke dalam pribadi setiap orang (Lincoln & Amalee, 2007).
Peran Perempuan Muda Nasyiah
Perempuan muda Nasyi’atul ‘Aisyiyah dapat turut berperan besar dalam hal ini. Nasyiah—sebutan akrab Nasyi’atul ‘Aisyiyah—melalui salah satu amal usaha yang didirikannya, yakni PAUD Al Birru, dapat mengambil peran strategis. Seperti yang diungkapkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyi’atul ‘Aisyiyah Diyah Puspitarini saat sambutan penutupan kegiatan Pelatihan Kurikulum PAUD 2013 yang diadakan di Aula Graha Wiyata Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Timur, Jalan Ketintang Wiyata Nomor 15 Surabaya, Ahad (7/7/2019).
Ia mengatakan, Nasyiatul Aisyiyah adalah salah satu organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak di ranah perempuan muda dan anak. Oleh sebab itu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) juga menjadi poin yang mendapatkan perhatian khusus di Nasyiah.
“Kader-kader Nasyiah harus tahu bahwa PAUD tidak hanya berbentuk taman kanak-kanak (TK), akan tetapi juga ada kelompok bermain (KB) dan juga tempat penitipan anak (TPA) atau yang lebih populer disebut dengan daycare,” ungkapnya.
Ia menegaskan, Nasyiah harus membuat branding yang berbeda dan unik dengan PAUD yang lain. “Harus ada program plus yang membuat orang lain tertarik dengan PAUD Nasyiah dan juga tentunya merupakan PAUD inklusi, di mana anak-anak berkebutuhan khusus dapat masuk di sana tanpa dibeda-bedakan,” jelasnya (PPNA, 2019).
Karena itu, PAUD Nasyiah dapat menerapkan pembelajaran yang mengarah pada pembentukan generasi cinta damai. Tak hanya itu, perempuan muda Nasyiah yang berprofesi sebagai seorang pendidik, baik guru maupun dosen, juga dapat memasukkan nilai-nilai kedamaian menjadi hidden curriculum dalam pembelajaran di sekolah.
Dalam hadits tiwayat Muslim, Rasulullah SAW menyebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa, melainkan kepada hati manusia”. Karena Allah tidak menghakimi berdasarkan ras, kemampuan, atau warna kulit. Kita juga tidak boleh demikian, tapi harus menilai sesuai dengan kualitas hati.
Kecurigaan dan prasangka ini rawan melekat pada diri kita. Karena itu, penting kiranya memasukkan nilai-nilai anticuriga dan antiprasangka kepada anak-anak, sehingga dapat tertanam baik untuk dapat mewujudkan generasi cinta damai.
Untuk pembelajaran di sekolah, diharapkan siswa akan memahami bahwa melindungi dari prasangka itu baik. Siswa akan memahami bahwa prasangka memengaruhi cara memandang segalanya. Selain itu, siswa akan memahami bahwa nilai seseorang harus didasarkan pada kebenaran dan bukan pada gagasan dan dugaan. Mereka juga akan memahami bahwa penilaian yang tepat, akan melindungi persahabatan, hubungan, dan kedamaian. Di sisi lain, penilaian yang tidak tepat akan mengakibatkan konflik.
Tentang Prejudice (Prasangka)
Key concept (konsep kunci) yang akan kita tanamkan adalah jangan menilai seseorang berdasarkan kelompok di mana mereka berada. Nilailah orang berdasarkan karakteristik pribadi mereka.
Karena itu penting diperkenalkan konsep PREJUDICE. Akar kata PREJUDICE (prasangka) adalah kata kerja “to judge (untuk menilai)”. Pre adalah awalan yang berarti “sebelum”. Sufiks “ice” membuatnya menjadi kata benda. Itu berarti prasangka adalah tindakan menghakimi sebelum kita melihat faktanya.
Jika dipecah menjadi suku kata, PRE-JUD-ICE, punya makna sebagai berikut:
PRE – before (sebelum)
JUD – judging (menilai)
ICE – freeze (membeku)
Maka, kita harus ingat untuk FREEZE (stop/berhenti) dan berpikir BEFORE (sebelum) kita membuat pendapat atau JUDGE (menilai) seseorang (Lincoln & Amalee, 2007).
Ada dua bahaya prasangka. Pertama, membatasi kemungkinan pertemanan. Prasangka membuat kita curiga terhadap orang lain; melihat semua orang di sekitar sebagai ancaman atau inferior. Implikasinya, hanya sedikit orang yang ingin menjadi teman. Kita tidak bisa mengendalikan cara orang lain memandang kita. Tapi, kita bisa mengendalikan pikiran kita terhadap orang lain.
Kedua, prasangka adalah tanda pemikiran sempit. Orang yang memiliki prasangka menunjukkan mereka tidak pernah mengonfirmasi atau mengecek informasi. Mereka berpikiran sempit dan terjebak karena prasangka mereka sendiri (Lincoln & Amalee, 2007).
Penting diingat untuk tidak memercayai semua yang ada. Kita harus mengonfirmasi atau cek kembali informasi. Jangan membuat keputusan salah karena informasinya salah. Voltaire mengatakan, “Prasangka adalah opini tanpa penilaian.”
Dalam al-Quran Surat al-Hujurat ayat 6 Allah mengingatkan pentingnya mekanisme check and re-check. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Lingkungan Kelas yang Beragam, Multikultural, dan Inklusif
Dengan menghilangkan prasangka, maka kita bisa menciptakan lingkungan kelas yang beragam, multikultural, dan inklusif. Berikut langkah-langkahnya (Social Psychology Network, n.d.):
Pertama, menciptakan lingkungan inklusif. Pastikan bahwa poster kelas, gambar, buku, musik, mainan, boneka, dan bahan lainnya beragam dalam hal ras, etnis, jenis kelamin, usia, situasi keluarga, kecacatan, dan sebagainya.
Kedua, mengatasi pertanyaan dan kekhawatiran anak. Ketika anak mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan prasangka atau perbedaan kelompok, pastikan untuk menjawab secara langsung. Kalau tidak, anak dapat menyimpulkan bahwa mereka seharusnya tidak bertanya tentang masalah ini dan ada sesuatu yang memalukan untuk dihindari.
Sebaliknya, perkuat rasa ingin tahu alami anak dan jelaskan perbedaan antara memperhatikan perbedaan sosial dan berprasangka. Pertahankan keterlibatan dan informasi orang tua. Beri tahu mereka jenis pertanyaan yang diajukan anak-anak dan apa jawaban apa yang kita berikan. Ini akan mengurangi kemungkinan anak menerima pesan campuran dari sekolah dan rumah.
Ketiga, mengintegrasikan pengalaman anak sendiri. Gunakan keragaman apapun yang ada di antara siswa untuk memodelkan inklusivitas. Misalnya, jika siswa akan melakukan kegiatan yang sulit dilakukan oleh siswa penyandang cacat, undang siswa untuk membantu menyesuaikan kegiatan sehingga semua orang dapat berpartisipasi.
Keempat, jangan abaikan perilaku diskriminatif. Menghindari masalah tidak akan membuatnya hilang. Keheningan kita bahkan dapat memberikan kesan diam-diam. Jelaskan bahwa kita tidak akan menoleransi lelucon, cercaan, atau perilaku yang menyinggung ras, etnis, agama, seksual, atau perilaku menyinggung lainnya. Dan jelaskan alasannya.
Kita mungkin bisa meminta anak menceritakan kepada teman di sebelahnya, pengalaman yang dimiliki ketika disalahpahami oleh seseorang yang berbeda. Mungkin orang tersebut berasal dari suku yang berbeda, kota, atau kelas yang berbeda. Mungkin dia seorang guru, seseorang yang lebih tua, dan lain-lain.
Beri tahu mereka jika pengalaman itu mengubah sikap kita terhadap orang lain—seperti kisah Anes dan kucing di atas. Apakah kita merasa telah menjadi korban prasangka? Lalu, minta mereka berpikir apakah sering merasa berprasangka terhadap orang baru atau situasi tertentu. Dalam hubungan kita dengan orang lain, belajarlah untuk mendengarkan lebih banyak. “Mendengarkan dengan baik” adalah rahasia untuk mendapatkan teman. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.