Emosi yang Terjaga: Ajaran Haji Agus Salim dan Abu Sya’bi, kolom ditulis oleh Ady Amar, peminat buku; pemerhati sosial.
PWMU.CO – Ini kisah di tahun 1923, terjadi pada saat rapat Sarekat Islam (SI). Di tubuh SI saat itu telah terjadi keretakan. Terbelah menjadi dua, SI Merah dan SI Putih.
SI Merah dipimpin anak muda, bernama Musso, yang memberontak pada kepemimpinan HOS Cokroaminoto dan H. Agus Salim. Musso menyatakan, dipimpin generasi tua SI gerakannya menjadi lambat, dan tidak revolusioner lagi.
Saat Musso naik ke atas mimbar, setelah mengagitasi hadirin yang mengikuti rapat itu, tak lupa ia ujarkan ejekan dengan nada bertanya pada peserta rapat, “Binatang apa yang memakai jenggot?” Serempak anak-anak muda dari SI Merah menyahut, “Kambing.” Musso lalu melanjutkan, “Binatang apa yang memakai kumis?” “Kucing,” jawab mereka sambil cekakakan.
Kambing itu diserupakan dengan H. Agus Salim, karena beliau memang memakai jenggot khas, jenggot putih. Sedang yang memakai kumis, itu ejekan untuk HOS Cokroaminoto, yang memang berkumis, yang diserupakan dengan kucing.
Lalu, giliran H. Agus Salim naik ke atas mimbar untuk memberi sambutan, maka terdengar ejekan bersahut-sahutan, Embek… embekk… H. Agus Salim tetap tenang, tidak terprovokasi, bahkan tidak menunjukkan ekspresi kemarahan. Wajahnya tetap teduh.
Lalu, dia memulai dengan nada bertanya, “Saudara panitia, rapat ini disamping mengundang manusia, apakah juga mengundang gerombolan kambing? Saya mendengar suara kambing mengembek-embek di bagian belakang.” Sejak itu tidak lagi terdengar suara olokan embek… embek…
H. Agus Salim kemudian melanjutkan dengan nada bertanya, sebagaimana yang Musso lakukan.
“Kalau tadi ditanyakan binatang apa yang memakai jenggot dan kumis. Maka saya bertanya, binatang apa yang tidak memakai jenggot maupun kumis?”
Maka hadirin serempak menyahut, “Anjing.” Itu menunjuk pada Musso, yang memang tidak memakai jenggot maupun kumis.
Adalah Sutan Syahrir, perdana menteri pertama, mengakui dan melihat langsung kejadian itu. Syahrir memang hadir di situ. Kesaksian Syahrir itu diceritakan oleh penulis Belanda, Jef Last, dalam buku 100 Tahun H. Agus Salim.
Narasi Kasar
Hari-hari ini kita disuguhkan tampilan tokoh-tokoh politik, bahkan agamawan, yang hadir di ruang publik— yang meski dengan gelaran mentereng—tapi perangai dan tutur katanya tidak selayaknya.
Hal biasa kita jumpai, jika mendebat lawan bicara dengan narasi kasar, mata melotot, dan jari telunjuk dijorok-jorokkan pada lawan bicaranya, bahkan meski di kepalanya menyembul igal bak manusia suci. Memuakkan melihatnya.
Tentu itu tampilan dialog tidak sehat, dan tidak mustahil meracuni mental anak-anak muda yang menyaksikan. Tidak mungkin bisa diambil i’tibar teladan darinya.
H. Agus Salim H. Agus Salim mencontohkan jawaban pada mereka yang mengolok-olok dengan jawaban yang sesuai dengan olok-olok itu. Suara kambing akan keluar dari mulut kambing, atau yang menyerupai kambing.
Tentu itu jawaban yang tidak perlu menggunakan kosa kata atau narasi lain, cukup dengan mengembalikan suara kambing pada “pemilik” suara itu.
Kisah Abu Sya’bi
Adalah Abu Sya’bi, yang kerap mendapat pertanyaan-pertanyaan “aneh”, yang ditanyakan padanya. Pertanyaan-pertanyaan yang menguji kesabaran dalam menjawabnya. Tidak lalu dengan menghardik pada si penanya.
Suatu ketika, saat berjalan di keramaian, datanglah seseorang yang memang kerap menanyakan hal-hal aneh, tidak logis, seolah dia orang yang dihadirkan untuk menguji kesabaran.
Orang itu menghentikan langkah Abu Sya’bi, seolah ada hal penting dan mendesak yang ingin ditanyakan.
“Aku ingin tanyakan padamu, wahai Abu Sya’bi, “Siapa nama istri Iblis?”
Abi Sya’bi yang mendengar pertanyaan itu, tidak lalu meninggalkannya, karena itu pertanyaan main-main dan iseng dari orang yang sebenarnya tidak perlu diladeni. Tidak demikian dengan Abu Sya’bi, yang tetap menjawabnya, dengan jawaban yang disesuaikan dengan yang dimaui si penanya.
“Waduh, maaf… saat iblis menikah, saya salah satu orang yang tidak diundangnya. Jadi saya tidak tahu siapa nama istrinya.” Orang itu lalu pergi sambil tertawa-tawa menjengkelkan.
Jawaban Abu Sya’bi adalah jawaban bijak, yang disesuaikan dengan tabiat si penanya. Tidak perlu dibuatkan narasi dengan dalil njelimet untuk menjawab pertanyaan iseng tanpa guna.
Orang yang menyaksikan peristiwa itu, menegur Abu Sya’bi, kenapa mesti meladeni orang “tidak waras” itu. Jawab Abu Sya’bi, “Setiap orang, siapapun dia, punya hak untuk dijawab apa yang ditanyakannya.”
Abu Sya’bi, dan sebelumya, H. Agus Salim, adalah pribadi matang yang tingkat intelektual dan emosinya terjaga, memberi jawaban yang sesuai dengan tingkat kemampuan dari yang bersangkutan.
Dan hebatnya pula jawaban yang diberikan itu dengan sense of humor yang tinggi, menggelikan setiap orang yang mendengar kisahnya. Ada kelucuan, tapi tidak norak, ditorehkan pada jawaban-jawabannya.
Dua Tokoh yang berbeda zaman itu, mengajarkan pada kita arti penting menjaga emosi dalam situasi apa pun. Tidak sekadar berilmu, tapi juga beradab, itulah emosi yang terjaga … Wallahu a’lam. (*)