Devolusi Prancis dan Indonesia, kolom ditulis Daniel Mohammad Rosyid.
PWMU.CO – Saat Presiden Prancis Emmanuel Macron menyalahkan Islam sebagai respons atas kekerasan pemuda muslim Chechnya pada seorang guru Prancis yang menjadikan karikatur Charlie Hebdo sebagai bahan olok-olok atas Rasulullah di kelasnya, maka sejarah sedang mencatat devolusi Republik Prancis.
Devolusi yang sama sedang terjadi di Republik Indonesia saat penguasa dengan mudah mengkriminalisasi kelompok oposisi Islam dan menjadikan Islam sebagai musuh terbesar Pancasila.
Islam adalah inspirasi bagi kelahiran bangsa Indonesia yang kemarin baru saja dirayakan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Islam memudahkan puluhan, jika bukan ratusan, suku-suku di Nusantara untuk menerima sebuah imajinasi baru tentang sebuah bangsa yang hidup di bentang alam kepulauan Nusantara seluas Eropa ini.
Peran Muslim
Menjadi Muslim memudahkan suku-suku itu untuk menerima identitas baru sebagai sebuah bangsa baru yang disebut bangsa Indonesia. Islam memberi inspirasi untuk mengalahkan sukuisme yang primordial. Menjadi Muslim adalah sebuah keputusan kreatif. Begitu pula menjadi bangsa Indonesia.
Islam pula yang memungkinkan kelahiran sebuah Republik sebagai antitesis bagi feodalisme dan dinasti kerajaan. Republik mengandaikan sebuah kemampuan administrasi publik sebagai sebuah upaya penciptaan instutusi, hukum, dan penafsirannya untuk kepentingan publik atau rakyat banyak. Bukan untuk kepeningan segelintir elite penguasa.
Napoleon jelas terinspirasi Islam saat menaklukan Mesir sebagai salah satu pusat peradaban Islam. Kelahiran Code Penal dan Code Civil dalam Republik Perancis tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Islam dalam pemikiran Napoleon. Di sini Republik Perancis berhutang pada Islam seperti bangsa Indonesia berhutang pada Islam.
Mungkin saja kehancuran ekonomi global ikut membangkitkan kebencian pada para imigran—karena rebutan pekerjaan yang makin langka—terutama imigran Muslim. Di sinilah dimulai sebuah kebangkitan baru tribalism dalam bentuk white supremacy di Eropa, juga Amerika. Di Indonesia, kebangkitan sinkretisme berkedok Ketuhanan yang berkebudayaan di berbagai pelosok tanah air dijadikan alat untuk mengasingkan Islam sebagai Arabisme transnasional.
Upaya mengubur Islam ini dalam sejarah dunia bukan upaya baru. Upaya seperti ini sudah terbukti berkali-kali gagal. Kali ini pun akan gagal. Mungkin Macron dan orang-orang yang seide dengannya mengira bisa mengambil keuntungan politik dengan ikut menghina Islam. Tapi saya khawatir Macron segera akan menyesali kebodohannya ini. (*)
Denpasar, 29 Oktober 2020
Editor Mohammad Nurfatoni.