PWMU.CO – Feminis dan Ketimpangan Gender di Masa Pandemi. Tema itu menjadi bahasan menarik Guru Besar Kajian Gender Prof Alimatul Qibtiyah SAg MSi MA PhD dalam webinar bertema “Meneguhkan Peran Perempuan dalam Pergerakan”.
Kegiatan yang digelar Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur itu diikuti utusan dari Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting Nasyiatul Aisyiyah se-Jawa Timur, Ahad (25/10/20).
Ia mengatakan, masih banyak cara berpikir, penafsiran, dan keyakinan yang membudaya menempatkan perempuan tidak senilai dan bahkan di bawah laki-laki. Hal itu, kata Alimatul Qibtiyah, melahirkan banyak persoalan dan penderitaan pada perempuan terdiskriminasi bahkan menerima banyak perlakuan tidak adil.
Perempuan kelahiran Ngawi, 19 September 1971 itu mengatakan, feminisme bergerak dengan keyakinan perempuan dan laki-laki itu sama-sama manusia sempurna. “Yang mulia adalah yang bertakwa, bukan karena laki-laki atau perempuan. Jadi gerakan feminisme itu yang mendorong keyakinan bahwa seorang perempuan itu juga manusia utuh loh,” tegasnya.
Ia mengaku ada pemahaman yang melihat perempuan itu sebagai makhluk yang tidak utuh. “Apalagi sebelum Islam datang, bagaimana perempuan itu menjadi objek seksual, tidak dihargai, bahkan dikubur hidup-hidup. Tidak punya hak untuk mendapatkan harta warisan, kan begitu,” ujarnya.
Karena itu, lanjutnya, feminis termasuk di dalamnya feminis Muslim adalah seseorang yang menyadari ada persoalan perempuan dan berikhtiar untuk menyelesaikan persoalan itu sehingga kehidupan perempuan menjadi lebih baik.
“Jadi ada tiga unsur kalau kita katakan feminis. Satu ada kesadaran ada persoalan perempuan. Dua ada usaha menyelesaikan persoalan itu. Yang ketiga hasilnya kehidupan perempuan menjadi lebih baik,” paparnya.
Upaya yang Dilakukan Feminis
Dalam hal ini, kata Alimatul Qibtiyah, laki-laki dan perempuan dapat menjadi seorang feminis. Ia menambahkan, upaya yang dilakukan antara lain mempromosikan, mempertanyakan, memaknai ulang, dan menginternalisasikan keadilan dengan mempertimbangkan konteks yang ada.
“Kalau kita Muslim, feminis ya mempromosikan tentang ide-ide kesetaraan, mempertanyakan pemahaman-pemahaman, lalu mencoba memaknai ulang, dan menginternalisasikan dalam arti tidak hanya diomongkan tapi juga diimplementasikan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada,” jelasnya.
Menurutnya, berdasarkan tiga definisi di atas, maka Nabi Muhammad, KH Ahmad Dahlan, dan Nasyiatul Aisyiyah itu seorang feminis. Mengapa?
Lulusan program doktoral Western Sydney University, Australia itu mencontohkan, Nabi Muhammad menyadari adanya persoalan perempuan. Lalu berusaha menyelesaikan persoalan itu dan perempuan menjadi lebih mulia dan mempunyai derajat kemanusiaan yang penuh seperti laki-laki.
“Paling tidak itulah yang diyakini oleh feminis Muslim yaitu mengembalikan nilai kesetaraan dan keadilan yang dipromosikan, yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW,” tuturnya.
Hal itu, kata dia, karena dalam perjalanan sejarah mengalami distorsi-distorsi, apalagi dengan budaya patriarkhi ini yang menyebabkan perempuan tidak seberuntung laki-laki.
Identitas Feminis
Alimatul Qibtiyah mengatakan, tidak semua pembela hak-hak perempuan bersedia menyebut dirinya sebagai feminis. “Di Indonesia kebanyakan mereka yang menyatakan dirinya sebagai feminis adalah para aktivis LSM terutama yang masih muda. Generasi aktivis yang lebih tua, mereka enggan menyebut dirinya feminis,” ujarnya.
Beberapa mengatakan, tambahnya, meskipun kami berjuang untuk perempuan tapi kami bukanlah feminis.
Penolakan tersebut, kata dia, didasarkan pada stigma yang melekat pada istilah feminis. Di antaranya feminis sering dikaitkan dengan pengaruh budaya barat, individualistis, berhubungan dengan gerwani, antilaki-laki, dan mendukung lesbianisme.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menjelaskan, di Barat para feminis muda tahun 1990-an sebagian mereka mengatakan dirinya mencintai keadilan gender, tetapi enggan menyebut dirinya feminis. “I am not feminis but…. I love equality,” kata dia.
Penelitian yang ia lakukan di Indonesia, paling tidak di Yogyakarta, yaitu enam kampus target penelitiannya, lebih banyak laki-laki yang menyebut dirinya feminis daripada perempuan. Hal itu karena kalau laki-laki menyebut dirinya feminis maka banyak label yang melekat pada dirinya.
“Dia akan ikut bertanggung jawab pada urusan keluarga, dalam urusan pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga, dia akan mendukung istrinya berkarir, dan lainnya. Tapi kalau perempuan maka stigma negatif akan melekat. Wah ini pasti mendominasi suaminya, ini gak mau hamil, dan sebagainya,” paparnya tegas.
Perubahan Pola Kerja Gender
Alimatul Qobtiyah juga menjelaskan, perubahan pola kerja gender di masyarakat kita paling tidak ada tiga hal yaitu tradisional feodal, urban modern, dan kesalingan.
Pada tradisional feodal, lanjutnya, masih ada perbedaan yang mana publik dan produksi dilakukan laki-laki, domestik dan reproduksi dilakukan perempuan. Walaupun ini masih terbatas untuk kelangan tertentu, menengah ke atas. “Karena kalau kalangan memengah ke bawah itu mereka sama-sama di sawah, sama-sama pedagang,” ujarnya.
Ia melanjutkan, saat urban modern itu perempuan ada di empat aspek, baik publik, domestik, produksi, dan reproduksi. Tetapi ternyata di banyak keluarga itu belum serta merta ada di laki-laki.
“Gerakan perempuan masuk ke dunia yang dianggap lali-laki itu ternyata di masyarakat kita tidak diikuti secara otomatis gerakan laki-laki untuk masuk ke dunia perempuan,” kata dia.
Hal itu, lanjutnya, karena alam bawah sadar kita, laki-laki itu kalau masuk ke dunia yang dianggap perempuan akan turun derajatnya. “Coba kalau kita melihat para pelawak yang pakai rok, itu kalau kita lihat laki-laki pakai rok pasti semua pada ketawa. Tapi kalau ada perempuan yang pake jeans atau t-shirt, pakaian yang biasa dipakai laki-laki ya orang sih biasa-biasa aja,” jelasnya memberi contoh.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyah Pimpinan Pusat Aisyiyah itu menjelaskan, yang ditawarkan saat ini adalah keluarga kesalingan. Yaitu keluarga yang di empat arena ini laki-laki dan perempuan mempunyai tanggung jawab, tetapi porsinya ada negosiasi kompromi yang disesuaikan dengan konteksnya.
“Sehingga ketika ada suami mencuci piring, dia tidak sedang membantu pekerjaan istri. Tetapi karena dia merasa bertanggung jawab juga terhadap cuci piring itu,” ujarnya.
Ketimpangan Gender di Masa Pandemi
Alimatul Qibtiyah mengatakan, perempuan yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga selama lebih dari tiga jam jumlahnya hampir lebih dari empat kali lipat daripada laki-laki.
Untuk perempuan, kata dia, satu dari tiga responden mengaku bertambah pekerjaannya karena sekarang perempuan masih dipahami sebagai penanggung jawab pengasuhan dan rumah tangga. “Akibatnya di masa pandemi perempuan jadi tumpuk undung pekerjannya apalagi harus menjadi guru semua mata pelajaran,” tegasnya.
Menurutnya, ada lima macam bentuk keluarga. Pertama, suami mencari naskah, istri tidak. Kedua, istri mencari nafkah, suami tidak. Ketiga, keduanya mencari nafkah. Keempat, keduanya tidak mencari nafkah. Dan kelima, single parent.
Keluarga feminis yang ideal, kata dia, adalah yang menjamin tidak ada kekerasan dalam bentuk apapun. Selain itu juga menjamin tumbuh kembang semua anggota keluarga.
“Menjamin relasi yang seimbang, kebutuhan dasar terpenuhi, meyakini semua peran sama mulianya, serta melanggengkan kebaikan,” tambahnya.
Keluarga dan Feminisme
Dosen FDK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menegaskan, feminis bukan antikeluarga. Feminis itu hanya tidak setuju kalau keluarga yang laki-laki berkiprah di publik dan perempuan berkiprah di domestik.
Hal itu, lanjutnya, karena realitasnya bentuk keluarga dilihat dari ekonomi beragam, ada yang keduanya mencari nafkah, ada yang salah satu. “Apa pun pilihan peran yang disepakati juga sama-sama mulia,” kata dia.
Karena itu, Alimatul Qibtiyah mengatakan, salah satu tawaran dari keluarga feminis adalah bagaimana kita mengubah pemahaman relasi yang hierarki menjadi egaliter.
Ia menjelaskan, sering di masyarakat kita pemahaman itu masih vertikal. “Nomor satu Tuhan, nomor dua suami, nomor tiga istri,” ujarnya.
Ia menawarkan mengubah menjadi posisi segitiga, yaitu Tuhan di atas, lalu suami dan istri sejajar. “Atau posisinya Tuhan, lalu orangtua dan anak sejajar. Atau Tuhan, makhluk difabel dan nondifabel sejajar. Sehingga posisinya semua makhluk itu sama di sisi Tuhan. Yang paling membedakan hanya persoalan ketakwaannya,” jelasnya. (*)
Feminis dan Ketimpangan Gender di Masa Pandemi; Penulis Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.