Mendadak Radikal di Perancis, Inilah Pemicunya oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO-Abdullah Anzorov, menurut catatan polisi Perancis, bersih dari tindak kriminal. Keluarganya yang tinggal di wilayah Eure, Evreux juga menyatakan perilaku remaja 18 tahun itu baik, periang, dan taat beribadah.
Bahkan keluarga di Desa Shalazhi, Chechnya, Rusia, kampung Anzorov juga didatangi polisi untuk menyelidiki latar belakangnya. Keluarga jauhnya di desa itu juga menjelaskan tidak ada hal buruk tentang dia dan keluarganya. Semua keterangan itu jauh dari gambaran sosok radikal.
Apalagi Badan Intelijen Perancis juga tak mengawasi Anzorov. Artinya remaja ini selama tinggal di Perancis sebagai warga negara yang baik. Tidak berbahaya atau mengancam keamanan negara.
Lantas mengapa tiba-tiba dia menjadi pemuda radikal. Berani membunuh seorang guru Samuel Paty (47) yang dianggap telah menghina Islam karena membawa peraga karikatur Nabi Muhammad saw saat mengajarkan kebebasan berekspresi di kelas.
Bayangkan, untuk melakukan itu dia harus menempuh perjalanan dari rumahnya di Evreux ke sekolah tempat Samuel Paty mengajar di Conflans-Sainte-Honorine yang berjarak 88 km. Satu jam kalau naik kereta.
Kondisinya di Perancis juga sudah nyaman. Dia telah 12 tahun tinggal di negara itu sejak berusia 6 tahun. Mengantongi izin tinggal yang dikeluarkan 4 Maret lalu dan berlaku sampai tahun 2030. Punya pekerjaan sebagai penjaga Menara Eiffel dan konstruksi.
Semua kemapanan hidup di Eropa itu dia lupakan ketika dia mendengar ada guru yang menghina Nabi Muhammad saw. Mendadak radikal muncul pada Anzorov. Dia berangkat dan mengeksekusi Samuel Paty di pinggir jalan setelah pulang dari sekolahnya, Jumat (16/10/2020) sore. Abdullah Anzorov juga mati dengan tembakan sembilan peluru polisi di tubuhnya.
Ibrahim Issaoui
Begitu juga dengan sosok Ibrahim Issaoui, pemuda 21 tahun asal Kota Sfax, Tunisia, yang dituduh membunuh tiga jamaah Gereja Notre-Dam Kota Nice, Perancis Selatan, Kamis (29/10/2020). Dia pun akhirnya mati ditembus 14 peluru saat polisi menangkap di gereja usai kejadian.
Mendadak radikal Ibrahim ini terasa cepat. Sebab dia baru tiba di Perancis setelah dideportasi dari Italia, untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang baik.
Dia imigran ilegal bersama imigran Tunisia lainnya yang mendarat di Pulau Lampedusa, Italia pada 20 September. Pulau ini menjadi titik masuk pertama ke Eropa dari Tunisia setelah menyeberangi Laut Mediterania.
Karena pandemi corona, Ibrahim dan 800 imigran menjalani karantina di kapal Rhapsody. Kemudian dipindahkan ke kota Bari, 9 Oktober. Selesai karantina Ibrahim dan lainnya diminta meninggalkan Italia dalam waktu tujuh hari.
Ibrahim ternyata menuju Perancis. Tiba di Nice dengan kereta diperkirakan 27 atau 29 Oktober 2020. Tidur di seberang Gereja Notre-Dame. Kamis (29/10/2020) siang hari ketika jamaah tiba di gereja, terjadilah peristiwa penyerangan yang menghebohkan itu.
Ayah, ibu, saudara, dan tetangga Ibrahim di Sfax terkejut dan tak percaya mendengar pemuda itu membunuh jemaah gereja. Sebab Ibrahim yang bekerja sebagai montir selama di kampung tak menunjukkan tanda radikal. Dia pemuda ramah kepada semua orang.
Adik dan Ibunya menceritakan, sebelum kejadian, Ibrahim sempat video call mengabarkan sudah sampai di Perancis dan sedang berada di Notre-Dame.
Pada kasus Ibrahim ini polisi menahan tiga orang yang diduga kontak dengan Ibrahim sebelum kejadian. Satu orang pria berusia 47 tahun dalam rekaman CCTV sehari sebelum insiden tampak bersamanya.
Orang kedua ditangkap karena berkomunikasi lewat HP sehari insiden. Tersangka ketiga pria 33 tahun ditangkap kebetulan berada di rumah tersangka kedua.
Biang Keladi
Radikalisasi di Perancis bisa jadi biang keladinya adalah Majalah Charlie Hebdo. Majalah ini ketagihan membuat karikatur Nabi Muhammad saw hanya untuk menghina dan meledek. Berkali-kali redaksi majalah ini memuat karikatur hinaan itu dan memicu reaksi umat muslim.
Rupanya reaksi meluas itu malah membuat redaksinya makin ketagihan dan keranjingan ngerjai umat Islam. Juga sebagai balas dendam atas serangan terhadap Kantor Charlie Hebdo pada 7 Januari 2015 gara-gara karikatur Nabi yang menewaskan 12 awak redaksi.
Edisi Rabu (2/9/2020) majalah itu memuat belasan kartun Nabi Muhammad termasuk kartun yang pertama kali dimuat di Majalah Jylland Posten Denmark. Ternyata edisi itu laris terjual dalam sehari. Lalu menambah cetak 200.000 eksemplar lagi.
Majalahnya terjual habis setiap memuat karikatur Nabi boleh jadi menjadi salah satu pemicu Charlie Hebdo terus memproduksinya karena menguntungkan bisnis. ”Ini menunjukkan bahwa kami didukung, bahwa kebebasan berekspresi, sekularisme, dan hak penistaan bukanlah nilai-nilai usang, dan bahwa publik Perancis yang membelinya,” kata kartunis majalah itu dengan nama pena Juin kepada AFP.
Protes umat Islam sudah dilayangkan sejak terbitnya edisi itu. Pemerintah Perancis dan awak redaksi bersikukuh pemuatan karikatur bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi negara yang berslogan Liberte, Egalite, Fraternite.
Guru sejarah Samuel Paty mengambil karikatur dalam majalah itu untuk bahan pengajaran kebebasan berekspresi. Pengajaran ini menimbulkan protes orangtua murid yang kemudian menggalang dukungan lewat medsos.
Laporan lewat medsos inilah yang kemudian dibaca Abdullah Anzorov sehingga dia mengeksekusi Samuel Paty. Presiden Perancis Emmanuel Macron mengecam pembunuhan guru ini dengan main gebyah uyah pelakunya teroris Islam dan agama yang bermasalah.
Kecaman Macron kepada Islam menyulut protes dunia. Kemungkinan Ibrahim Issaoui dan teman-temannya merespon pernyataan Macron dan soal karikatatur itu sebagai balas dendam dan ekspresi pembelaannya terhadap Nabi dan agamanya. (*)
Editor Sugeng Purwanto