PWMU.CO – Peran kebangsaan Muhammadiyah, dalam arti luas, yaitu peran dalam membangun bangsa, sudah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan.
Muhammadiyah telah melakukan apa yang disebut mencerdaskan kehidupan bangsa sejak periode awal berdirinya. Dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial, Muhammadiyah sudah melakukan pencerahan.
Hal itu disampaikan Prof Dr Din Syamsuddin MA dalam Pengajian Malam Ahad yang di selenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kudus dengan tema Peran Kebangsaan Warga Muhammadiyah di Masa Sekarang melalui Zoom Clouds Meetings, Sabtu, (7/11/20).
Muhammadiyah Pelopori Gerakan Kebangsaan
Din Syamsuddin mengatakan sejatinya gerakan Muhammadiyah sejak kelahirannya adalah gerakan kebangsaan. “Kalau dulu sebelum kemerdekaan Muhammadiyah sudah terlibat bahkan mempelopori gerakan kebangsaan, itu dalam rangka mendorong kemerdekaan Indonesia,” ujarnya.
Dan Muhammadiyah, sambung Din, sejak awal berdirinya sangat berwarna kebangsaan. “Memang pada mulanya bernuansa kejawaan. Ada di dalam anggaran dasar pertama itu: menyebarkan Islam di Ranah Jawi,” terangnya.
Menurut dia, ternyata gerakan Muhammadiyah disambut di berbagai daerah termasuk di luar Jawa. Yang semula di wilayah Keraton Yogyakarta Hadiningrat berkembang ke Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan seterusnya.
“Menjadikan Muhammadiyah dalam waktu yang tidak terlalu lama sejak kelahirannya sebagai gerakan kebangsaan dalam arti yang menasional,” jelasnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015 itu mengatakan, kita patut bersyukur dan berbangga dinyatakan oleh pengamat asing bahwa Muhammadiyah itu satu-satunya organisasi kemasyrakatan—tidak hanya di kalangan Islam tapi di seluruh kalangan bangsa—yang tersebar luas. Dan persebarannya paling merata di seluruh Indonesia.
“Ada organisasi lain sangat berwajah provensial, banyak terdapat di propensi-propensi tertentu. Tapi Muhammadiyah tidak hanya di Yogkakarta tempat kelahirannya atau di Tanah Jawa, Jawa Tengah. Tapi juga di Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera, bahkan Papua,” jelas Din.
Poltiik Kebudayaan
Din Syamsuddin menyampaikan, Muhammadiyah secara organisatoris mengembangkan khitah politiknya bukan sebagai organisasi politik dalam arti politik kekuasaan atau politik praktis. Yang targetnya berkuasa—menghadapi posisi-posisi strategis di arena kekuasaan—dengan menganut ilmu teori politik yang berbunyi: siapa merebut apa kapan dan bagaimana seperti yang dijalankan partai-partai politik.
Tapi Muhammadiyah, jelas dia, sebagai gerakan kebudayaan dengan dakwah pencerahan berpolitik. “Tapi politiknya mengalokasikan, menempatkan, memperjuangkan, nilai-nilai dalam masyarakat untuk menjadi nilai masyarakat,” ungkapnya.
Dia menegaskan, sebagai organisasi Islam, gerakan Islam, atau gerakan dakwah, corak dakwahnya pencerahan. Hal itu bisa dilihat kiprah Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan. Lewat pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, bahkan pada pemberdayaan ekonomi. “Namun tetap berpolitik tapi berpolitiknya berkebudayaan atau politik nilai,” kata Din Syamsuddin.
Mengamalkan Ayat Muhammadiyah
Ketua PRM Pondok Labu, Jakarta Selatan, itu lalu mengajak mengamalkan “ayat Muhammadiyah” dalam surat Ali Imran ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
“Umat itu kita pahami kelompok yang terorganisasi. Bersama-sama mengorganisasikan diri. Apa yang perlu dilakukan yaitu mengajak kepada keterbaikan, keunggulan. Artinya suatu gerakan kebudayaan untuk membangun masyarakat utama. Karena sebuah masyarakat kalau mau maju, mau berubah, dan mau berkembang dia, harus kuat landasan budayanya,” ujarnya.
Nah, gerakan kebudayaan seperti ini, sambung dia, nanti akan membawa implikasi politik tanpa harus menjadi partai politik. “Ini yang terjadi dulu. Muhammadiyah yang pertama dengan
pendidikannya, kedua dengan latihan kepanduhan Hizbul Wathan (HW),” terangnya.
Menurut Din, kalau benar-benar melakukan gerakan kebudayaan—yaitu menyelenggarakan pendidikan yang berunggulan—semua anak-anak bangsa sekolah di Muhammadiyah, maka akan lahir dari ‘kandungan’ pendidikan Muhammadiyah elite bangsa atau tokoh-tokoh bangsa. Dari pelatihan HW, kepanduhan tertua, sampai melahirkan tokoh-tokoh antara lain Jenderal Soedirman, termasuk Letjen TNI M Sarbini.
“Akhirnya apa? Gerakan kebudayaan, gerakan kultural, menyiapkan sumber daya yang berkualtas yang menguasai ranah kehidupan kebangsaan itu punya bobot politik. Dari SDM yang terlahirkan di Muhammadiyah berkualtas, maka tampak Muhammadiyah jadi ‘partai politik’. Muhammadiyah memiliki wibawa politik karena manusia-manusia yang datang dari Muhammadiyah itu adalah yang berbobot,” para Din Syamsuddin.
Menurut Din, sekarang Muhamamdiyah tidak bisa lagi seperti itu. Banyak kelompok-kelompok lain. Maka kemudian Muhammadiyah tarik-menarik dengan politik itu. “Kita tidak punya hubungan politik tertentu tapi silakan berjuang lewat partai politik dari pintu-pintu yang beragam,” pesannya.
Dua Pilar Gerakan Muhammadiyah
Din Syamsuddn menegaskan, melakukan Gerakan kebangsaan dan kemudian memfokuskan diri pada pesan surat Ali Imran 104 ternyata belum cukup. Maka Muhammadiyah melakukan yang kedua yaitu amar makruf nahi mungkar. “Inilah menjadi dua pilar gerakan Muhammadiyah, maka mereka akan menjadi pemenang yang memperoleh kebahagiaan dan kemenagan,” kata dia.
Din mengatakan titik-tolak gerakan Muhammadiyah adalah surat Ali Imran 104. “Kalau tidak terorganisasi, tidak munadzamah, tidak ada tanzim, kebenaran pun bisa terkalahkan oleh kebatilan,” ujarnya.
“Betapa banyak kelompok minoritas mengalahkan kelompok mayoritas. Dan kebenaran yang tidak terorganisasi akan dapat dikalakan oleh kebatilan yang terorganisasi,” tambanhnya.
Dan hal itu, menurtunya, yang menjadi realtas sekarang ini. Maka kepada Muhammadiyah Din berpesan, selain terus-menerus melakukan dakwah kepada kebaikan, juga gerakan kebudayaan sebagai bentuk dari gerakan kebangsaan. Dari mendirikan lembaga-lembaga pendidikan bergeser ke orentasi kualitatif.
“Tidak bisa lagi hanya kuantitatif. Kita sudah sangat banyak secara kuantitatif, jumlah lembaga-lembaga kita. Dan kalau yang berkualtas kelompok minoritas kreatif dan kualitatf itu akan bisa mengalahkan kelompok yang tidak berkualtas walaupun mayoritas,” terangnya.
Nilai-Nilai Dasar Indonesia
Di akhir pengajian Din Syamsuddin mengatakan kondisi bangsa sekarang ini tidak menggembirakan karena Indonesia mengalami kerusakan ‘berpangkat tiga’. Banyak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, deviasi dan distorsi, kehidupan nasional dari nilai-nilai dasar Indonesia
“Apa nilai-nilai dasar Indonesia itu? Pertama tujuan dibentuknya negara ini adalah Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur,” Din mengingatkan.
Kedua, fungsi dan misi dari negara adalah melindungi, mencerdaskan, memajukan, kesejahterkan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Baru di bawahnya, yang ketiga, ada Pancasila di Pembukaan UUD 1945. “Ketiganya ini yang bisa disebut cita-cita nasional. Kita tidak merujuk ke mana-mana. Yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah deviasi, distorsi, dan disorientasi,” ungkapnya.
“Kalau ditanya apa contohnya, lihat saja sistem politiknya termasuk sistem pemilu. Jika sistem pilpres kita kaji secara intelektual, rasional akademik, dengan sila keempat Pancasila, jauh panggang dari api,” katanya.
Din juga mengkritik sistem ekonomi. Menurutnya, praktik ekonomi Indonesia yang jauh dari sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial dan Pasal 33 UUD 1945 di mana sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. “Tidak bisa pasar bebas. Ini yang sekarang terjadi penyimpangan,” kata Din.
“Sumber alam minyak dan gas yang dimiliki oleh negara, ini luar biasa besarnya. (Harus) dikuasai oleh negara. Kangan diberikan perusahan-perusahan asing,” kritiknya. (*)
Penulis Slamet Hariadi. Editor Mohammad Nurfatoni.