Profesor Julit, kolom ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – “Lidah sangat kecil dan ringan tetapi dapat membawa Anda ke ketinggian terbesar, dan dapat menempatkan Anda di kedalaman terendah.” (Imam Al-Ghazali).
Julit itu sikap tidak terpuji. Sikap aktif membicarakan orang lain sesuka hatinya, semacam menggunjing. Apa saja digunjingnya. Tentu menggunjing pada pribadi yang dianggap berlawanan dengan corak pemikirannya.
Asyik menggunjing saban waktu. Tiada hari tanpa menggunjing, tiada peristiwa apa pun yang tidak digunjingnya. Asyik masyuk menggunjing, dan itu bisa dilihat khalayak dengan terang benderang.
Menggunjing atau mengomentari peristiwa yang terjadi, itu diperlukan khalayak jika yang mengomentari Paham betul akan peristiwa itu. Tidak asal sambar, asal omong, atau dalam istilah kerennya biasa disebut dengan njeplak.
Menjadi berkelas jika apa yang digunjing atau yang diomongkan adalah sesuatu yang perlu, dan karenanya bermanfaat sebagai informasi lebih luas dari sebuah peristiwa.
Jadi tidak cukup hanya mengerti pada persoalan tertentu, tapi juga dituntut bersikap bijak untuk hanya menyampaikan hal-hal yang djanggap perlu dan bermanfaat sebagai informasi.
Kata sang Bijak, benar saja tidak cukup, tapi lebih pada perlu tidak informasi itu disampaikan.
Itulah informasi yang tidak sekadar informasi, tapi informasi yang dibutuhkan untuk menambah wawasan pada khalayak luas guna mengambil manfaat darinya.
Julit Menyasar Siapa Saja
Hari-hari ini, kita bisa temukan bermacam kelas dan tingkatan manusia yang tanpa sadar kerap menggunjing pada hal-hal yang sebenarnya remeh temeh, dan tentu tidak bermanfaat.
Menggunjing pada hal-hal yang tidak substantif, itu bisa diserupakan dengan kata lain dari julit. Dan ini bisa dilakukan siapa saja dan lalu mengena pada siapa saja.
Maka, julit itu bisa dilakukan siapa saja, baik kalangan tidak terdidik, pula bisa dilakukan kalangan intelektual bergelar profesor sekalipun. Tabiat julit ini lebih pada keasyikan tersendiri jika julitannya itu bisa mempermalukan pihak yang disasarnya.
Di era media sosial yang semuanya bisa mudah diakses, maka julit menemukan pijakannya, dan tumbuh subur bak bunga bakau di hutan rawa. Siapa saja merasa boleh saling julit, lalu yang kita temukan komen-komen tanpa nalar bertanggung jawab. Tentu itu jauh dari sikap bijak.
Hari-hari ini pun kita amati perang saling julit mantan pejabat ikut-ikutan saling serang menyerang di media. Sebut saja antara RR vs JK. Dan itu soal yang tidak substantif, soal jabatan masa lalu yang sudah menguap ditelan waktu, dan mestinya dilupakan. Cukup jadi catatan di benak mereka saja.
Mengapa masalah pribadi mesti diumbar ke ruang publik, seolah persoalan mereka itu dibutuhkan khalayak. Sama sekali tidak, bahkan nalar sehat membaca polemik itu terpingkal, lucu.
Bagaimana tidak lucu jika melihat usia keduanya sudah tidak muda lagi, jika harus saling perang opini di hadapan publik yang beragam. Legacy yang tidak mendidik.
Saling mengomentari, bahkan pada hal-hal yang tidak patut, dan jika diterus-teruskan jadi habit. Merasa tidak nyaman jika tidak julit pada apa saja yang ditemuinya. Dan jika ia pejabat, sekalipun bergelar akademis tinggi, maka ia pantas mendapat julukan Profesor Julit, yang komen-komennya tidak punya nilai yang bisa dibanggakan.
Tentu akal sehat tidak sedikit pun berharap, bila lalu muncul julukan dengan ungkapan tidak mengenakkan, “Bau mulut sang Profesor, sama dengan bau kentutnya” atau julukan lainnya yang tidak patut disematkan. Maaf! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.