Lidah Nikita Memang Tak Bertulang, kolom ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Tentulah lidah itu tak bertulang. Jika lidah bertulang, maka pastilah mulut jadi tidak lincah berbicara, berat dan kaku rasanya.
Bisa jadi, manusia akan malas berbicara. Tidak mustahil renyah tawa pun makin sulit bisa didengar . Senyap, benar-benar senyap.
Tuhan Mahakreatif, mencipta lidah tanpa tulang. Itu agar manusia nyaman dalam bertutur kata, lidah pun punya fungsi-fungsi lainnya.
Maka ungkapan “memang lidah tak bertulang”, itu dimaksudkan sebagai pengingat agar manusia bisa menjaga lisannya. Bicara yang baik-baik saja. Bukan karena lidah tak bertulang, lalu boleh kita bicara sekenanya, seenaknya.
Di samping sebagai pengingat agar manusia bicara pada hal-hal kebaikan semata, juga menutup lisan kita dari membincangkan hal-hal yang tidak patut dibicarakan pada lawan bicara, apalagi bicara tidak perlu, dan lalu di-share ke ruang publik untuk sekadar sensasi.
Sensasi Nikita Mirzani
Nikita Mirzani artis sensasional, maaf seribu maaf, sebenarnya ingin menghindar membicarakannya. Meski terkadang juga acap mendengar sensasi yang dibuatnya.
Suatu waktu ia memilih memakai hijab, lalu menanggalkannya. Apakah ini bagian dari sensasinya, tentu ia sendiri yang mengetahuinya.
Saat memakai hijab dengan menutup kepalanya, tentu banyak yang lalu mensyukurinya, dan itu wajar. Mustahil ada yang tidak suka melihat seseorang yang memilih jalan hijrahnya itu.
Tidak lama kemudian, ia membuka hijabnya dengan alasan yang tidak jelas. Memakai dan menanggalkan hijab adalah hak seseorang, tidak ada yang boleh mempersoalkan atau menggunjing, semua punya konsekuensinya.
Sensasi Nikita itu satu cara agar nama bersangkutan tetap eksis dibicarakan. Itu bagian dari seni komunikasi. Tentu tidak semua sensasi dikonotasikan negatif. Sensasi menjadi negatif karena dipakai untuk hal yang bersifat negatif.
Sensasi agar namanya tetap eksis, dibicarakan terus menerus, dan itu lalu menjadi kebutuhannya. Jika sensasi yang ditebar lalu dibicarakan meluas, itu menjadi kepuasan tersendiri buatnya.
Belum habis sensasi yang semula ditebar-dibicarakan, tidak sabar ia lalu mencipta sensasi lebih baru lagi, dan itu agar dirinya tidak putus dibicarakan. Tidak perduli meski dibicarakan dengan tidak semestinya.
Sensasi yang ditebar itu makin lama makin punya bobot risiko yang lebih besar dibanding sensasi sebelumnya, dan itu pilihan yang disadarinya.
Sensasi Menekan Risiko
Apakah Nikita tidak takut dengan risiko yang nantinya bakal diterimanya? Pasti ia punya rasa takut, itu manusiawi. Tapi sensasi itu buatnya lebih utama, lalu menekan rasa takutnya.
Sensasi Nikita tampak seolah dibuat sekadar main-main. Tidak demikian, ia membuatnya secara serius, meski dengan gaya cengegesan, yang lalu terkesan tidak serius.
Setiba Habib Rizieq Shihab (HRS) di tanah air, Nikita memposting video pendek dengan narasi menghina sebuah entitas yang sudah berlaku baku dalam kelompok masyarakat, yaitu “Habib”. Tulisan ini tidak ingin mengulang apa yang ia sampaikan, tidak nyaman untuk mengungkapnya berulang. Videonya sudah bertebaran menyebar ke sana ke mari.
Bisa dipahami lalu memunculkan kemarahan mereka yang bersimpati pada HRS. Ada seseorang yang meminta dalam 1×24 jam Nikita harus meminta maaf, dan seterusnya. Ada nada ancaman di situ, yang tidak semestinya dilakukan. Justru sensasi Nikita itu akan jadi sesuatu, dan lalu menjadi besar.
Ada pula Laskar Pembela Ulama, yang siap serbu rumah Nikita, meski harus bercucuran darah. Ini tentu bukan cara yang dimaui HRS, dan jika ini dilakukan maka akan men- downgrade HRS dengan Revolusi Akhlaknya.
Apa yang mestinya dilakukan menghadapi Nikita, dan mungkin akan muncul banyak lagi yang lain? Bersabar, dan menganggapnya bukan sesuatu yang pantas disandingkan dengan HRS. Sensasi itu tidak akan membuat HRS lalu menjadi kecil, justru sebaliknya.
Mengudek-udek Nurani
Belum hilang dari ingatan kita sebelumnya, sensasi yang dilempar Nikita. Itu tentang cuitannya di Instagram yang julit terhadap Puan Maharani, Ketua DPR RI, yang diduga mematikan mik saat rapat pengesahan UU Cipta Kerja.
“Ibu Puan ini lho, suka jahil jarinya,” tulisnya. Lalu ia “diserang”, dan terancam dipolisikan oleh ormas Gema Puan Maharani Nusantara (GPMN).
Sensasi yang dibuatnya itu viral, dan muncul ancaman bertubi-tubi ia dapatkan. Tapi tidak sedikit pula yang membelanya.
Mas Hersubeno Arief, sampai harus mewawancara Rocky Gerung (RG), di Rocky Gerung Official , perihal Nikita dan ancaman yang akan didapatnya. Intinya, RG “pasang badan” siap tampil membelanya, jika sampai Nikita disidangkan.
Kasus Nikita vs Puan, tampaknya untuk sementara tidak dilanjut, entah pada waktunya, tentunya jika dianggap perlu. Meski ormas GPMN sebelumnya, mengancam akan mengerahkan 100 pengacara.
Nikita secara intelektual bisa disebut lumayan, tidak bisa disepelekan, itu bisa dilihat dari pilihan-pilihan sensasinya yang tepat, yang mampu mengudek-udek nurani, lalu pihak yang disasar menjadi tersengat, merespons dengan kuat.
Sensasi Nikita bisa berdiri sendiri, tapi bisa juga berkaitan antara sensasi yang satu dengan sensasi yang digagas berikutnya, jika itu dilihat sebagai spekulasi yang dimungkinkan.
Semua serba mungkin, sebagaimana Nikita yang mencipta sensasi yang akan terus ditebar, sampai waktu nantinya yang membuatnya jera, entah kapan.
Lidah Nikita Mirzani memang lidah tak bertulang dalam makna sebenarnya. Tentu tidak sebagai ungkapan bermakna pengingat, agar berhati-hati dalam berbicara… Wallahu a’lam. (*)
Lidah Nikita Memang Tak Bertulang: Editor Mohammad Nurfatoni.