PWMU.CO– Pemanggilan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan oleh Polda Metro dimintai klarifikasi tentang kerumunan pernikahan putri Habib Rizieq Shihab dapat dipandang sebagai drama penegakan hukum yang irrasional atau tidak wajar.
Hal itu disampaikan Presidium KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) M. Din Syamsuddin, Rabu (18/11/2020), menanggapi pemeriksaan Gubernur Anies Baswedan oleh Polda Metro selama 9 jam kemarin.
”Belum pernah terjadi Polda memanggil seorang gubernur yang merupakan mitra kerja hanya untuk klarifikasi, kecuali dalam rangka penyelidikan. Mengapa tidak Kapolda yg datang? Bukankah izin serta tanggung jawab atas kerumunan yang melanggar Protokol Kesehatan ada pada Polri?” tutur Din Syamsuddin.
Menurut dia, kejadian ini merupakan preseden buruk yang hanya akan memperburuk citra Polri yang over acting apalagi terkesan ada diskriminasi dengan tidak dilakukannya hal yang sama atas gubernur lain yang di wilayahnya juga terjadi kerumunan serupa.
”Tindakan ini akan menjadi bumerang bagi rezim dan telah menuai simpati rakyat bagi Anies Baswedan sebagai pemimpin masa depan,” tandas Ketua Umum PP Muhammadiyah tahun 2005-2015.
Penindakan Tebang Pilih
Pemanggilan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan oleh polisi ini menuai kritikan banyak kalangan sebagai ketidakadilan. Sebab dasar hukum yang dipakai yaitu pasal 93 UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan merupakan salah pasal.
Seperti disampaikan oleh pakar hukum Hamdan Zoelva. Dia mengatakan, karantina itu berbeda dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Yang dapat dikenai pidana menurut pasal 93 UU Kekarantinaan hanyalah pelanggaran atas karantina.
”Di Indonesia tidak ada ketetapan karantina kecuali penetapan PSBB. Salah pasal kalau pelanggaran PSBB diancam pasal 93 UU Kekarantinaan,” tandas mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Menurut dia, tindak pidana atas pelanggaran PSBB tidak diatur dalam UU Kekarantinaan hanya diatur dalam Pergub.
Lebih rinci pakar hukum Irmanputra Sidin dalam ILC tadi malam menjelaskan, dasar yang dipakai acuan yaitu UU No. 6/2018 tidak mengatur pidana untuk tindakan pelanggaran PSBB. ”Bagaimana penindakannya kok kesannya ada tebang terhadap pelanggaran protokol kesehatan ini,” katanya.
Menurut dia, ada dua fenomena hukum yang terjadi yaitu pertama, pelanggaran protokol kesehatan yang berujung denda kepada warga negara. Kedua, ada lagi dugaan peristiwa pelanggaran protokol kesehatan berujung pemanggilan Gubernur DKI.
”Pertanyaan konstitusionalnya adalah memang kalau protokol kesehatan dilanggar sanksinya apa? Yang mana itu protokol kesehatan? Apa diatur dalam UU Karantina yang jadi rujukan? Bacaan saya tampaknya yang diperdebatkan ini tak ada di undang-undang itu. Pakai masker, jaga jarak, dilarang berkumpul tak ada dalam UU Karantina,” ujarnya.
Berarti kalau tak ada, sambung dia, UU itu menyimpan sesuatu ketidakjelasan. Lalu kita ribut dengan yang tak jelas ini. Sesuatu yang tak jelas memang menyimpan potensi keributan di mana-mana. Ketika ada ketimpangan maka bandulnya tidak stabil. Yang jelas pun belum tentu stabil timbangannya. UU Karantina tidak mengatur secara clear apa yang kita perdebatkan ini.
”Gak ada UU mengatur kalau orang kumpul-kumpul didenda ratusan juta, pidana masuk penjara, gak ada. Gubernur, bupati juga gak bisa ambil denda, kumpul-kumpul maulid lalu gubernur dipanggil polisi untuk klarifikasi gak ada itu,” papar dia.
Dia menuturkan, kenapa ini bisa terjadi karena kita tak pernah mau duduk bersama membahas tentang covid ini. Pemerintah mendengar, gubernur mendengar tapi pendekatannya berbeda. ”Sejak awal pemerintah tidak mau lockdown. Bahkan menyatakan jangan sampai ada kepala daerah yang lockdown,” tandasnya.
Protokol kesehatan, kata dia, terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Soal pakai masker, cuci tangan, jaga jarak. ”Apakah jika ada pelanggaran terhadap Peraturan Menteri ini, maka menjadi ranah kepolisian?”
Penulis/Editor Sugeng Purwanto