Lobster dan Bansos, Episode yang Belum Selesai, kolom oleh Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Pekan ini nama Juliari Peter Batubara ngetop dibicarakan seantero negeri. Namanya dibicarakan mengungguli Edhy Prabowo, teman sesama menteri yang pekan lalu nasibnya sama dengannya, tertangkap KPK.
Nama Juliari itu sebelumnya tidak terlalu populer. Tidak diingat dengan baik oleh masyarakat luas, meski menjabat Menteri Sosial RI dalam Kabinet Indonesia Maju.
Tapi sejak Ahad (6/12/2020) dini hari nama Juliari jadi terkenal. Semua membicarakan. Dan tentu banyak pula yang mencari tahu detail tentangnya, dan bahkan dari partai apa Pak Juliari itu berasal.
Nama terkenal itu bisa karena prestasi, tapi banyak pula karena wanprestasi. Hati senang dan keluarga besar pun senang jika nama dikenal karena prestasi.
Tidak sebagaimana Pak Juliari hari-hari ini, dan sebelumnya Pak Edhy Prabowo. Pastinya nama terkenalnya itu, setelah dicokok lembaga antirasuah, membawa aib tujuh turunan. Selalu dibicarakan dan ditulis dengan tinta hitam. Keluarga kecilnya pun: anak, istri, dan ibu-bapak, jika masih hidup, akan menerima jatah rasa malu tak terperikan.
Bahkan marganya pun akan merasakan dampak atas lakunya. Marga yang disandangnya, yang awalnya saat nama marga itu disebut menjadi salah satu menteri berbunga bangga, tiba-tiba berganti namanya dibicarakan dengan busuk, bagai aroma bunga bangkai.
Saat namanya disanjung oleh seluruh marganya, maka bisa jadi tidak sedikit bayi yang dilahirkan ibu-ibu dari marga besarnya ramai-ramai menamakan anak bayinya dengan nama Juliari. Tidak penting nama itu punya makna atau tidak. Hanya satu harapannya, anaknya nanti akan bernasib mujur seperti Pak Juliari.
Itu hal biasa terjadi di masyarakat, menamakan anak yang baru lahir berdasar pada apa yang dilihatnya sesaat, dan lebih banyak bersifat duniawi. Tidak berpikir bahwa nama itu akan disandang si anak selamanya.
Setelah kejadian Ahad naas itu, bisa jadi banyak para ibu dan bapak terpukul dengan nama sang anak yang kadung menyandang nama itu. Nama yang sudah dicatatkan di Dukcapil. Mau diganti bagaimana, karena nama itu sudah ditetapkan pakai selamatan segala.
Nama baik yang dikenal, dan lalu nama baik itu menjadi buruk, itu seperti membalik telapak tangan. Begitu cepatnya sanjungan diberikan, lalu berubah menjadi sumpah serapah. Awal baik tidak mesti berakhir baik.
Isyarat Sedang Dimainkan
Kasus Edhy Prabowo yang dijepit lobster belum hilang dari ingatan. Peristiwa yang baru sepekan lalu. Itu di bandara Soekarno Hatta dari perjalanannya ke Hawai bersama istri dan rombongan, ia ditangkap KPK.
Semua terperangah melihat Partai Garuda di bawah komandan Pak Prabowo bisa disentuh KPK. Kemesraan Prabowo Subianto dan Pak Jokowi baru setahun terjadi, eh tiba-tiba peristiwa penangkapan itu terjadi. Lalu spekulasi muncul, akankah kemesraan ini lalu berakhir. Nanti waktu yang menjawabnya.
Pak Prabowo tidak lalu tampil di depan publik meminta maaf atas perbuatan anak emasnya. Pastinya beban rasa malu yang sangat. Edhy Prabowo memang anak emas Prabowo. Ada kesamaan nama di antara keduanya, meski tidak ada unsur kesengajaan, alami secara kebetulan.
Baru sepekan kemudian lewat adiknya Hashim Djojohadikusumo, ada klarifikasi dari Prabowo. Di mana menurut sang adik, Pak Prabowo marah, menyesal, dan merasa dikhianati. Bahkan sampai keluar kata-kata tidak patut disampaikan pada publik, “Dia saya pungut dari selokan, kok tega mengkhianati.” Perasaan marah tanpa kontrol, khas feodal.
Penangkapan Edhy Prabowo itu seperti isyarat bahwa Partai berlambang Garuda pimpinan Prabowo Subianto sedang dibuat rontok bulu-bulunya. Dan syahwat ingin jadi RI 1 di 2024 tampaknya makin jauh dari harapan.
Lalu, sepekan kemudian, berita di televisi jadi berubah, kisah Lobster Edhy Prabowo sedikit tergerus dengan berita mutakhir, kisah bansos Juliari Peter Batubara.
Tepatnya kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 Kementerian Sosial tahun 2020. Itu berupa paket bantuan sembako, di mana sang menteri mendapatkan fee Rp 10 ribu untuk tiap-tiap paket senilai Rp 300 ribu per paket.
Pagu yang diberikan pemerintah pusat untuk kartu paket sembako Rp 39,71 triliun. Jumlah yang tidak kecil. Maka, hitung sendiri berapa fee yang didapat sang menteri. Itu baru dari paket sembako saja.
Konon uang untuk pengadaan paket bansos itu diperoleh pemerintah dari hasil utang. Inilah paket komplit, uang didapat dari utang, diperuntukkan untuk kebutuhan masyarakat miskin yang terdampak Covid-19, lalu mesti dikorup.
Karenanya, wacana hukuman mati untuk Juliari Peter Batubara dari Partai Banteng ini disuarakan banyak pihak. Tidak penting lagi apakah nantinya ada tuntutan hukuman mati atau tidak, setidaknya kemarahan masyarakat itu sampai pada puncaknya. Gemes.
Juliari Peter Batubara, Wakil Bendahara PDI Perjuangan, usianya masih tergolong muda. Dengan tingkat pendidikan memadai dan mentereng, ditambah bonus penampilan fisik menawan, enak dipandang (good looking). Tidak seperti pejabat kebanyakan hadir dengan perut buncit dan penampilan ala kadarnya.
Juliari jika berbicara menarik, santun dan punya mental yang tampak siap bekerja dengan amanah. Ada ungkapannya setahun lalu (9 Desember 2019) yang bisa dicermati.
“Saya kira pemberantasan korupsi itu harus dimulai dari mental. Jadi mau sebagus apa sistem, seketat apa sistem, kalau mentalnya udah bobrok ya tetap aja korup, ya,” katanya.
Pernyataannya itu disampaikannya terkait pemberantasan korupsi di Indonesia, dalam momen Hari Anti-Korupsi Sedunia.
Ternyata pernyataan indahnya itu, setahun kemudian membuktikan ucapannya sendiri, bahwa mentalnya pun (sebenarnya) bobrok, maka korupsi atas bagian dari hak orang miskin pun ia lakukan. Ini bukan cuma bobrok, tapi juga bejat.
Spekulasi atas penangkapan Juliari pun muncul, apakah Pak Jokowi makin percaya diri untuk melepas atribut yang menempel dirinya sebagai “petugas partai”.
Kita lihat saja nanti skenario lanjutannya. Pembesar Banteng belum ada yang buat pernyataan resmi tentang penangkapan ini. Masih saling menunggu. Dan tidak mustahil akan muncul kejutan-kejutan lain untuk melakukan perlawanan.
Kita tidak tahu persis apakah KPK serius melakukan kerjanya, setelah sekian lama tidur nyenyak. Atau apakah KPK sekadar alat saja untuk ngerjai partai-partai besar agar tidak main-main dengan arah yang sedang dimainkan presiden. Ini semacam isyarat.
Tampaknya rakyat akan terus disuguhi tontonan yang kelihatan menarik, semacam episode-episode bermacam kisah dengan satu sutradara utama, yang tanpa mampu mengakhiri kisah yang dibuatnya berakhir dengan happy ending. Nah, episode lobster dan bansos tampaknya belum usai. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.