Mimpi Bertemu Rasulullah dan Polarisasi Politik Dua Kubu, ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah sosial-politik.
PWMU.CO – Mimpi itu setidaknya bunga tidur. Setiap orang dalam hidup pernah bermimpi. Mimpi apa saja. Bisa indah, bisa menakutkan, dan bisa karena angan-angan yang muncul dalam mimpi.
Ada yang saat tidur bermimpi tapi saat terjaga lupa semalam bermimpi apa. Atau ingat cuma sedikit dari mimpi panjangnya. Coba diingat-ingat, tapi mimpi itu tidak juga bisa diingatnya
Ada juga yang bermimpi dan ingat ditail tentang apa yang dimimpikannya. Ini tidak ada sangkut-paut dengan ingatannya yang baik, sehingga ia mampu mengingat mimpi itu dengan baik.
Tidak juga karena yang bersangkutan punya IQ tinggi, sehingga mampu mengingat apa yang dimimpikannya dengan baik dan jelas.
Memang tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa suatu waktu mimpi yang hadir itu bisa sempurna diingat saat terjaga. Tapi pada saat lainnya, mimpi itu tidak bisa diingat dengan jelas.
Ada pula mimpi yang muncul pada satu waktu tidak cuma satu kisah, tapi hadir sekaligus sampai dua-tiga macam kisah yang tidak saling berhubungan.
Tentu akan sulit mengingat mimpi itu secara keseluruhan. Bisa jadi cuma ingat ujung-ujungnya. Atau hanya ingat satu saja dari mimpi-mimpi yang dihadirkan.
Tidak tahu persis apakah bayi atau balita bisa juga bermimpi dalam tidurnya. Saat kita lihat bayi anak atau bahkan cucu kita, yang saat tertidur tiba-tiba tampak tersenyum, senyum agak lumayan panjang.
Apakah bayi itu sedang bermimpi, bisa jadi. Sayang bayi itu tidak bisa menceritakan apakah semalam saat tersenyum-senyum itu ia tengah bermimpi.
Mimpi Bertemu Rasulullah
Terkadang orang bermimpi lalu menyimpan mimpinya. Tidak perlu orang lain tahu. Ada juga yang bermimpi dan menceritakan mimpinya. Menceritakan dan tidak menceritakan mimpi mestinya tidak menjadi masalah.
Mimpi itu sifatnya personal. Jika diceritakan dan yang mendengar tidak mempercayainya juga tidak masalah.
Menjelang pilgub di suatu daerah, ini kisah sebenarnya, sebagaimana tradisi seorang kandidat sowan pada ulama di daerahnya. Dan lalu sang ulama mengatakan, bahwa ia bermimpi. Di dalam mimpinya ia melihat kandidat yang sowan itu menaiki kuda putih dengan memakai pakaian bak pangeran. Gagah tampilannya.
Makna mimpinya itu dikesankan, kandidat yang sowan itu pihak yang akan memenangkan pilgub. Ternyata hasil pilgub sebaliknya. Pangeran berkuda putih itu justru pihak yang kalah dalam kontestasi.
Maka mempercayai mimpi dan apalagi tidak mempercayai mimpi yang diceritakan, mestinya tidak lalu membawanya ke ranah hukum. Itu mengada-ada namanya.
Mungkin baru di negeri ini, dan baru satu-satunya mimpi lalu dipolisikan. Apa perlunya? Dan aneh juga polisi mau menerima laporan keberatan atas mimpi yang diceritakan.
Adalah Babe Haikal Hassan yang bermimpi bertemu Rasulullah SAW, lalu diceritakan saat memberikan ceramah pada pemakaman di Megamendung atas korban penembakan polisi kepada laskar Front Pembela Islam.
Haikal Hassan mengatakan, ia bertemu Rasulullah SAW dalam mimpinya, dan dibisiki bahwa keluarga para syuhada akan didatangi Rasulullah SAW. Substansi mimpi itu lebih kurang demikian.
Apa yang disampaikannya, itu menjadi keberatan dua orang yang lalu melaporkannya pada Polda Metro Jaya.
Adalah Husin Syihab, politisi Partai Solidaritas Islam (PSI), dan Gus Rofi’i, yang masing-masing melaporkan keberatannya atas mimpi itu. Husin menyatakan bahwa apa yang disampaikan Haikal Hassan itu menyesatkan.
Sedang Gus Rofi’i menyatakan, bahwa ceramah Haikal Hassan, yang mengisahkan tentang mimpi itu berpotensi menimbulkan kegaduhan.
Menyesatkan dan kegaduhan, yang dituduhkan dua orang itu, adalah tuduhan sumir. Coba di mana sesatnya, dan apakah ada kegaduhan dengan viral mimpi bertemu Rasulullah SAW dalam mimpi.
Dianggap sesat, mana mungkin keluarga korban akan didatangi Rasulullah, kata Husin. Lalu apa urusannya jika lalu didatangi dan tidak didatangi itu buatnya?
Bukannya jika yang bersangkutan dusta dengan apa yang dikatakan, itu urusan pribadinya. Dosanya pun ya akan dipikulnya sendiri. Tidak meminta untuk dibantu memikulnya ramai-ramai.
Berpotensi kegaduhan adalah tuduhan mengada-ada. Tidak ada sedikitpun hal yang dituduhkan itu bisa dibuktikan dengan terjadinya kegaduhan.
Babe Haikal Hassan itu berbicara dikalangan terbatas, dan itu untuk menghibur khususnya keluarga para korban. Apa urusannya dengan Husin Syihab dan Gus Rofi’i, kok lalu harus kebakaran jenggot.
Biasa sajalah menafsir mimpi yang diceritakan itu. Jika tidak percaya pun tidak masalah. Aneh jika ketidakpercayaan itu mesti dilaporkan pada polisi. Sedikit-sedikit lapor, itu cemeng namanya.
Polarisasi Politik Dua Kubu
Tampaknya lapor-melapor menjadi trend, dan akan terus dilakukan sebagai upaya satu pihak untuk menekan pihak lainnya. Sedang pihak lainnya, yang jauh dari bandul kekuasaan, lebih memilih pasif. Maka lapor pun dianggap tidak efektif.
Inilah dua kubu yang terus berhadap-hadapan. Sepertinya ada pihak menginginkan itu terus berlangsung alias dipelihara entah sampai kapan.
Inilah polarisasi politik dalam masyarakat. Menciptakan keterbelahan dua kutub yang saling berhadap-hadapan, berseberangan ekstrem.
Berseberangan pada sebuah isu, ide/kebijakan, dan ideologi. Inilah politik Indonesia baru yang mundur dan jauh dari nilai-nilai keindonesiaan yang luhur dan toleran.
Politik Indonesia baru yang memprihatinkan itu, tidak lepas dipicu persaingan ketat pada Pilpres (2014), lalu lanjut Pilgub DKI (2017), dan Pilpres (2019).
Polarisasi kubu cebong versus kampret, menjadi olok-olok dan dan lalu menemukan bentuknya. Siapa ada di kubu sana, dan siapa ada di kubu lainnya.
Menjadi absurd saat polarisasi itu sampai harus kebawa pada mimpi yang dipermasalahkan. Tidak mustahil kentut pun pada saatnya akan juga dipermasalahkan, karena dianggap mengganggu polusi udara.
Melaporkan Babe Haikal Hassan bisalah ditafsir adanya polarisasi yang belum selesai. Jika serius mimpi Rasulullah SAW itu dianggap menyesatkan dan menimbulkan kegaduhan, bagaimana dua orang itu diam saja dan tidak melaporkan pada polisi, saat Habib Luthfi bin Yahya, juga menceritakan hal yang sama, bahwa ia bermimpi Rasulullah SAW dan memintanya untuk menjaga NU.
Berani melaporkan Habib Luthfi? Pastilah tidak mungkin akan dilakukan, karena ia memasukkan Habib Luthfi dalam satu kubu. Bersyukur kubu lainnya tidak lalu harus ikut-ikutan melaporkan Habib Luthfi karena mimpinya itu.
Polarisasi politik dua kubu itu harusnya disudahi. Dan negara mestinya mengambil alih itu semua dengan tidak hanya meninahbobokan satu pihak, dan menabok pihak lainnya. Berlaku adil dalam semua aspek, itu kata kunci untuk mengakhiri polarisasi, yang punya potensi merusak kebhinekaan.
Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.