Aksi 1812, dan Pekikan Takbir dari Penjara, kolom oleh Ady Amar, pengamat masalah sosial-politik.
PWMU.CO – Hari ini, Jumat 18 Desember 2020, setelah bakda shalat Jumat, akan ada aksi turun ke jalan massa umat Islam dan pejuang kemanusiaan lainnya, akan ngeluruk Istana Negara, Jakarta. Menyuarakan aspirasi di antaranya untuk pembebasan Habib Rizieq Shihab (HRS).
Sebagaimana diketahui HRS tengah ditahan sejak 12 Desember 2020 dini hari, di tahanan Polda Metro Jaya. Itu setelah pemeriksaannya sebagai tersangka kasus kerumunan massa saat menggelar acara pernikahan putrinya di Petamburan, Jakarta Pusat.
Banyak pihak yang lalu protes, meski tampak tidak dihiraukan, seperti sedang bicara dengan tembok bisu. Sepertinya, yang penting HRS harus ditahan. Titik.
Maka aksi turun ke jalan akan dilakukan siang nanti. Seperti biasanya aksi selalu dinamai dengan tanggal dan bulan aksi itu dilakukan.
“Aksi 1812 Bersama Anak NKRI”, sebagaimana ditulis dalam poster-poster yang lalu diviralkan.
Di poster itu ada tambahan kalimat menarik dari HRS, dan itu bisa menggugah umat yang membacanya. Begini pesannya:
“Jika saya dipenjara atau dibunuh, lanjutkan perjuangan.”
Itu pesan yang ditulisnya sebelum HRS ditahan. Dan pesan itu termuat dalam ajakan pada aksi siang ini.
Beberapa tuntutan pada Aksi 1812, itu tidak sekadar pembebasan HRS semata, tapi juga pengusutan tuntas pembunuhan atas enam nyawa syuhada, dan stop kriminalisasi ulama-stop diskriminasi hukum.
Pihak kepolisian dalam hal ini Polda Metro Jaya tidak mengizinkan aksi itu dilakukan. Lalu juru bicara FPI, Ustad Syamsul Maarif mengatakan mulai kapan diperlukan izin dari kepolisian. Tambahnya, pemberitahuan sudah kami lakukan beberapa hari lalu.
Kita bisa bayangkan berapa ribu personil Polri dan TNI dikerahkan dengan pakaian lengkap dan persenjataan, bak perang melawan musuh negara. Padahal yang dihadapi hanya massa berbaju koko putih penuntut keadilan.
Aksi 1812 tampaknya hanya aksi awal saja, sebagai pemanasan. Sampai pada akhirnya akan digelar aksi yang lebih dahsyat, sebagaimana Aksi 212 yang spektakuler itu.
Namun demikian, yang akan turun ke jalan pada Aksi 1812 setidaknya tidak kurang dari jumlah massa saat penjemputan HRS di bandara Soekarno Hatta, dari tanah pengasingannya.
Massa yang ikut aksi siang ini semata digerakkan oleh semangat mencari keadilan. Maka pihak keamanan, lebih khusus pada kepolisian untuk bersikap proporsional. Tidak over acting berlebihan, yang bisa memancing kekerasan.
Tidak perlulah dua belah pihak saling memamerkan ego merasa lebih kuat, dan lalu show of force. Jika itu yang terjadi, maka umat akan melawan, dan tidak sedikit pun punya rasa takut untuk menjadi martir.
Presiden mestinya arif bersikap dengan mengedepankan dialog. Intervensi pada pihak penyidik, kepolisian dalam hal ini, adalah keharusan jika ditemukan ketidakadilan dalam kasus HRS.
Dan lalu membuat tim pencari fakta independen atas terbunuhnya enam nyawa anak manusia warga negara Indonesia. Itu bagian dari empati yang seharusnya dilakukan.
Pantas jika banyak yang lalu bertanya, kenapa terbunuhnya seorang pendeta di Papua, lalu presiden dengan sigap membuat tim pencari fakta independen. Aneh jika lalu tidak dilakukan pada pembunuhan atas enam nyawa itu.
Frekuensi Getaran yang Sama
Siang ini kita akan melihat dan mendengar suara takbir dari entah ratusan ribu, atau bahkan jutaan umat yang merindu mengharap keadilan.
Dan dari balik jeruji tahanan, tidak mustahil umat yang sudah disatukan oleh frekuensi yang sama, akan mendengar suara takbir khas HRS yang menggelegar membahana di langit-langit seputaran Istana Negara.
Frekuensi getarannya akan sampai pada umat yang menyemut itu. Takbir penyemangat. Tentu itu sulit dinalar bagi mereka yang ada di gelombang yang lain.
Selamat berunjuk rasa. Itu hak rakyat dalam negara demokrasi. Tetap jaga protokol kesehatan sebisanya. Terutama tetap memakai masker. Bismillah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.