PWMU.CO – Selain menulis, berbicara yang baik adalah kunci orang-orang hebat dalam mengubah dunia. Pidato Bung Karno adalah salah satu contohnya. Sangat memukau dan menggerakkan. Nah, untuk bisa menjadi pembicara yang baik, maka harus menguasai ilmu retorika.
“Retorika adalah suatu gaya seni berbicara baik, yang dicapai berdasarkan bakat alami (talenta) dan keterampilan teknis yang dilatih,” kata Hj Asmawati As’ad saat membekali kader Nasyiah dalam Darul Arqam Nasyiatul Aisyiyah I (DANA-I) yang berlangsung di Desa Gunungrejo, Singosari, Malang, Ahad (23/10).
(Berita terkait: Bangkit dari Kelesuan, Nasyiah Kota Malang Langsung Adakan Darul Arqam)
Sekretaris Majelis Tabgligh Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jatim itu menyampaikan bahwa retorika sebagai seni berbicara bukan hanya berarti berbicara dengan lancar tanpa jalan fikiran yang jelas dan isi yang berbobot, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara atau berpidato secara singkat, jelas, padat, dan mengesankan.
“Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi, dan fantasi yang tinggi serta teknik pengungkapan yang tepat. Ia juga harus didukung daya pembuktian serta penilaian yang tepat,” jelasnya. Ber-retorika itu, lanjuta Asmawati, harus dapat dipertanggungjawabkan yang disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi.
(Baca juga: Berbekal Jurnalistik, Nasyiah Masifkan Berita Positif Perempuan dan Anak)
Wakil Ketua Pimpinan Daerah Aisiyah Kota Malang itu melanjutkan, titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus manusia. Umurnya setua umat manusia. “Bahasa dan pembicaraan ini muncul, ketika manusia mengucapkan dan menyampaikan pikirannya kepada manusia lain.”
Asmawati menambahkan, ada tiga elemen penting pada retorika yang harus dikuasai. Pertama kejelasan (clarity). Ini tugas nomor satu seorang pembicara. “Job number one for a speaker,” tuturnya. Untuk mencapai kejelasan, kata dia, hal utama yang harus dilakukan adalah bicara singkat, tidak berlama-lama atau berpanjang lebar. “Fokuslah pada apa yang hendak atau harus disampaikan. Jangan bernafsu menyampaikan ”semua hal” dalam satu kesempatan berbicara.”
(Baca juga: Awas! Jangan Ada Polusi Ideologi dalam Organisasi Otonom Muhammadiyah)
Menurutnya, pembicaraan pendek lebih disukai dan lebih efektif ketimbang pembicaraan panjang yang cenderung melenceng, meluas, dan tidak fokus. Pembicaraan panjang, kata Asmawai, cenderung membingungkan audiens. Terlalu banyak yang harus mereka serap.
Elemen kedua, jelas Asmawati, adalah menyiapkan dan memilih tema atau materi yang menarik dan dibutuhkan audiens. ”Raba-lah kebutuhan informasi mereka atau yang mereka ingin dengar dari pembicaraan Anda. Anda harus memilih dan memilah materi apa yang penting dan tidak penting. Juga yang tidak Anda kuasai. Anda juga harus mengedit sendiri dan menyusun isi pembicaraan Anda.”
(Baca juga: Aisyiyah Diminta Konsisten Berdakwah dengan Tidak Melupakan Keluarga)
“Berbicara membutuhkan fokus. Pemburu yang mengejar dua kelinci, biasanya gagal menangkap satu pun,” kata Asmawati memberi contoh. “Pembicara yang baik fokus pada poin-poin penting, mengulangi poin penting, dan menggunakan materi yang relevan untuk mendukung poin-poin penting,” jelasnya.
Elemen terakhir, kata Asmawati adalah audiens atau teman Anda. “Anda hanya memiliki satu musuh. Anda sendirilah musuh itu. Sekutu terbesar Anda sebagai pembicara adalah audiens Anda. Mereka adalah pasukan Anda, teman Anda, bukan musuh Anda,” ujar PNS di Widyaiswara Kemenag Provinsi Jatim itu.
“Dengan menguasai 3 elemen retorika itu, maka Anda akan memukau di depan publik. Dan saatnya Anda mengubah kondisi dunia dengan pidato yang menggerakkan,” kata Asmawati menutup materinya. (Uzlifah)