Politikus Gaya Tyson atau Ali oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO-Akhir tahun 2020 ditutup dengan pemusnahan FPI. Pemimpinnya ditahan, tanah pesantrennya mau disita, organisasinya dibubarkan, bahkan simbol dan aktivitasnya pun dilarang.
Keputusan pemerintah itu makin menegaskan pemecahan rakyat dalam dikotomi kekuatan Islam dan nasionalis. Dua kekuatan yang selalu bersaing sejak awal pendirian negeri ini.
Pembinasaan FPI itu bukan malah meredam konflik. Justru menaikkan intensitas pertikaian. Terbukti dari kritik terhadap pemerintah makin keras. Sebab keputusan itu menyalahi prosedur hukum.
Mungkin merujuk pada pengalaman pembubaran HTI tahun 2017 yang tak berisiko apa-apa, sekarang pemerintah pede saja melarang FPI meskipun harus lewat SKB enam menteri dan jumpa pers Menko Polhukam harus didampingi sepuluh pejabat tinggi.
Pemerintah hari ini yang dikuasai PDIP merupakan representasi kelompok nasionalis. Sementara Habib Rizieq Shihab (HRS) bisa dibilang mewakili kelompok Islam. Disebut mewakili setidaknya diukur dari daya tarik dia memimpin jutaan kaum muslim demonstrasi menuntut Ahok diadili.
Kalau ada sebagian umat muslim menolak disebut aspirasinya diwakili oleh HRS ya gak papa tidak dimasukkan golongan ini. Karena golongan ini sudah mampu menyalurkan aspirasinya sendiri ke penguasa untuk mendapat bagian remah kekuasaan.
Kontradiksi
Sebagai penguasa, PDIP wa ala ahlihi tentu ingin menerapkan konsep politiknya dalam mengatur negeri ini. Konsep politik yang beraliran nasionalisme. Usulan yang paling tampak jelas adalah pengajuan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Dari RUU ini diketahui bagaimana kelompok nasionalis menafsirkan Pancasila yang tetap merujuk kepada gagasan Bung Karno. Tokoh yang dianggap penggali Pancasila dan bapak nasionalisme Indonesia oleh PDIP. Partai ini pun merupakan penerus semangat PNI, partainya Bung Karno.
Pancasila oleh rezim masih dipandang zaman pra kemerdekaan yang bisa diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Mereka mengabaikan bahwa rumusan Pancasila mengalami metamorfosis dari pertarungan gagasan nasionalis dan Islam yang akhirnya menjadi konsensus bersama dasar negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Dalam politik bahasa, penguasa PDIP dan sekutunya hari ini membangun narasi yang menyudutkan para oposan. Misalnya, kadrun, antek Yaman, pengusung khilafah, anti Pancasila, teroris, sektarian, intoleran, radikal dan sejenisnya. Bahkan politikus PSI dengan angkuh mengatakan, setelah FPI giliran PKS dibinasakan.
Konsep politik nasionalis yang sekuler ini berseberangan dengan konsep kelompok Islam yang ingin membangun negara dengan nilai agama. Populernya berlandaskan syariah. Istilah syariah ini bagi kelompok sekuler begitu menakutkan. Karena yang terbayang di benaknya seperti hukum pancung, rajam, potong tangan, tak bisa minum bir, judi, dan prostitusi. Itu terbaca dari komentar mereka menentang syariah.
Membangun Bersama
Menyadari bahwa Indonesia dibangun oleh kekuatan Islam dan nasionalis sedari awalnya semestinya para politikus mana pun yang berkuasa menyadari fakta politik ini. Kebijakan politik yang dibangun hendaklah mempertimbangkan dua aspirasi ini. Mengabaikan salah satunya akan menciptakan oposisi yang tajam sehingga menimbulkan kegaduhan politik tiada henti.
Jika kelompok nasionalis memaksakan konsep sekuler yang dianggap paling benar untuk mengelola negeri ini, pasti akan mendapat perlawanan dari kelompok Islam yang tak menyukai sekulerisasi.
Begitu juga kelompok Islam saat berkuasa hendaklah meninggalkan mitos agama mayoritas untuk menerapkan syariah. Sebab faktanya yang mayoritas secara kuantitas itu, tak selaras kualitasnya. Artinya, tidak semua orang Islam menyukai syariah. Sebab di antara mereka ini banyak juga yang abangan. Bahkan menurut Pemilu 1955, 16 persen memilih PKI.
Untuk menciptakan harmoni politik, semestinya dua kekuatan politik ini terus berdialektika untuk menemukan rumusan yang pas untuk membangun bersama negeri ini. Politikus harus banyak membaca memperkaya wawasan kenegaraan sehingga bisa menyampaikan argumentasi secara benar dan dalam. Bukan dalil pokoknya dan caci maki seperti yang dipertontonkan sekarang ini.
Kalau ternyata harmoni gagal, maka terpaksa bermain di kelas bebas berebut menjadi the ruling class. Jika ini terjadi maka kita nikmati saja adu jotos dan serangan berbalas pukul. Mau meniru gaya Mike Tyson yang dua tiga kali pukul langsung meng-KO lawan. Namun kelemahannya tak bisa bermain ronde panjang karena kehabisan stamina hingga tak bisa menangkis serangan balik lawan.
Atau memilih gaya Mohammad Ali yang lincah menari-nari di atas ring sambil melancarkan jab dan hook. Lalu pada saat tepat melayangkan straight hingga membuat lawan tersungkur. (*)
Editor Sugeng Purwanto