PWMU.CO– Presiden menjadi tiga periode adalah contoh yang mengarah kepada absolutisme kekuasaan. Gagasan yang dilontarkan politikus itu sangat berbahaya bagi kehidupan kebangsaan.
Hal itu disampaikan Presidium KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) dalam pernyataan yang dibacakan oleh Rochmat Wahab, Muhammad Said Didu, Hafid Abbas, dan Rocky Gerung dalam jumpa pers online, Selasa (12/1/2021).
Gagasan masa presiden tiga periode pernah diusulkan politikus dari Fraksi Nasdem dan lainnya ketika bicara amandemen kembali UUD 1945. Ada usulan masa presiden satu periode delapan tahun, atau kembali dipilih oleh MPR.
“Dalam kaitan itu, gagasan masa presiden menjadi tiga periode adalah suatu contoh gagasan yang mengarah kepada absolutisme kekuasaan, yang sangat berbahaya bagi kehidupan kebangsaan,” katanya.
Pemerintah bekerja dengan kepalsuan pencitraan kekuasaan, seolah untuk rakyat, namun realitanya, kekuasaan didayagunakan hanya untuk diri dan kelompok sendiri, sesuai ego politik dan kepentingan oligarki, bersama koalisi partai politik yang menggerus kedaulatan rakyat. Perilaku politik yang korup dan meningginya perilaku otoriterianisme adalah wajah buruk kekuasaan saat ini.
”Tahun 2021 ini praktik politik terlihat cenderung akan semakin memburuk, baik dari sisi indeks demokrasi, hak asasi manusia maupun perilaku elit politik kekuasaanya. Hampir tidak ada kontrol karena parlemen juga cenderung hanya sebagai stempel kekuasaan. Semua itu sangat berbahaya dalam praktik berdemokrasi,” katanya.
Demoralisasi, sambungnya, terjadi pada birokrasi pemerintahan baik pusat dan daerah. Orientasi pada jabatan membuat birokrasi tidak lagi peka pada pelayanan publik dan berbagai persoalan masyarakat. Jual beli jabatan, pangkat, dan nepostisme makin dianggap biasa, yang berujung pada munculnya kasus-kasus korupsi dan abuse of power.
”Sebanyak 33 kepala daerah dan empat menteri terjerat korupsi di era Jokowi. Bahkan bantuan sosial untuk rakyat miskin di tengah pandemi covid-19, yang dananya berasal dari utang luar negeri pun dikorupsi, dengan melibatkan langsung seorang menteri,” ujarnya.
Pilkada dan Covid
Ini bukti tidak ada niat serius pemerintahan Jokowi memperbaiki moral dan sistem pemerintahan yang mampu menjalankan prinsipprinsip good governance -dan menghindarkan diri dari praktik KKN.
”KAMI sepakat dan sesuai dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD yang menyatakan, agar para menteri yang melakukan tindak pidana korupsi saat bencana pandemi covid-19 seperti saat ini diancam dan dituntut dengan hukuman mati,” tandasnya.
Sementara di tengah pandemi covid 19, pemerintah telah memaksakan diri untuk melaksanakan Pilkada serantak, 9 Desember 2020. Sebelumnya hampir seluruh eleman bangsa, termasuk NU dan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, telah memberikan peringatan keras agar menundanya. Kini akibatnya tampak jelas, sekitar sebulan setelah pelaksanaan Pilkada serentak dilaksanakan, penyebaran wabah covid-19 semakin luas dan parah.
Sangat memilukan sekaligus memalukan, karena pemerintah justru mengunakan alasan covid-19 untuk kepentingan politik, memberangus siapa saja yang kritis dan tidak sejalan dengan pemerintah. ”Lantas, siapa pihak yang berani menyatakan diri bertangung jawab? Bagaimana pertangungjawaban pemerintah atas semua risiko yang terjadi sekarang ini?” tanyanya.
KAMI juga menyesalkan terjadinya tragedi kemanusiaan di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek yang menewaskan 6 anggota FPI yang masuk kategori tindakan pembunuhan di luar proses hukum atau extra judicial killing. ”Jelas merupakan pelanggaran HAM yang luar biasa, karena melibatkan institusi negara, bukan peristiwa kriminal perorangan sebagai pidana biasa.”
Karena itu semua aparat yang terlibat harus segera diberhentikan, dan di proses di Pengadilan HAM, sesuai dengan UU no. 26 tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi manusia, dan bukan di pengadilan pidana biasa.
KAMI mengingatkan tugas pokok kepolisian adalah menjaga, melindungi, mengayomi rakyat. Keterlibatan TNI/Polri dalam peristiwa politik praktis jelas telah melenceng dari amanah konstitusi. Tidak sepantasnya institusi TNI terlibat dalam penurunan baliho, atau Polri terlibat dalam baku tembak dengan rakyat sipil. Karena itu kini saatnya untuk mengembalikan profesionalitas TNI/POLRI sesuai dengan UU
Penulis/Editor Sugeng Purwanto