Perpres Penggerus Modal Sosial, kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) Jawa Timur.
PWMU.CO – Baru-baru ini Presiden menerbitkan Perpres 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian dan Penanggulangan Ekstrimisme berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Salah satu bagian Perpres ini mengatur pelatihan warga untuk mengenali dan melaporkan warga di sekitarnya ke pihak berwajib jika ada gejala sikap ekstrim yang berpotensi menjadi tindak kekerasan dan teror.
Perpres ini berbahaya bagi pengembangan kehidupan kebangsaan yang bebas sebagaimana diamanahkan oleh Pembukaan UUD1945. Melalui perpres ini pemerintah semakin memiliki banyak alasan untuk mencurigai lalu secara pre-emptive menangkap warga negara dengan tuduhan ekstrimisme, terutama warga atau kelompok warga yang berbeda pendapat dengan pemerintah yang berkuasa.
Perpres ini adalah resep mujarab untuk menggerusi modal sosial bangsa ini tentang sikap saling percaya terutama di antara warganya. Pada saat Joe Biden menempatkan restore trust dalam program 100 hari pertamanya, Perpres ini justru berbunyi destroy trust.
Banyak penguasa mengira bahwa modal mereka yang terbesar adalah sumber daya alam yang melimpah, kekuatan tentara dan polisi, serta duit. Padahal menurut Putnam, modal terpenting bagi sebuah bangsa adalah justru yang bersifat tak kasat mata yang disebut modal sosial.
Salah satu unsur modal sosial yang terpenting itu adalah trust (kepercayaan antarwarga), apalagi bangsa yang majemuk seperti bangsa Indonesia. Bangsa ini dikenal sebagai low- trust society, maka ketidakpercayaan antarwarga yang ditimbulkan dari Perpres ini akan menurunkan kepercayaan antar-warga, meningkatkan biaya transaksi sosial, menghancurkan kreativitas dan menghambat sinergi antar kelompok.
Perpres Meningkatkan Intoleransi
Richard Florida mengingatkan bahwa kreativitas sebuah masyarakat sebagian ditentukan oleh toleransi. Perpres ini justru meningkatkan intoleransi antar-kelompok masyarakat.
Perpres ini juga berpotensi semakin mengurangi kebebasan sipil yang sudah banyak dikurangi oleh pandemi Covid19 dan regulasi yang dipijakkan pada pandemi ini. Padahal pembangunan ini selayaknya adalah sebuah upaya memperluas kebebasan publik.
Oleh Amartya Sen pembangunan diartikan sebagai upaya pembebasan publik dari kemiskinan dan kebodohan serta ketakutan. Apalagi narasi islamophobic yang disemburkan penguasa dan para influencer seleb seperti Reza Rahardian baru-baru ini, cenderung menjadikan umat Islam sebagai kelompok yang paling rentan terpapar ekstrimisme.
Sungguh ironis, ketika AS di bawah kepemimpinan Biden sebagai kampiun demokrasi sedang berupaya bangkit dari kematian demokrasinya, kita justru mengarah sebaliknya: menggerus kepercayaan antar-warga, dan kebebasan publik, dengan menebar kecurigaan antar-warga dan ketakutan di sana sini. (*)
Rosyid College of Arts, Gunung Anyar, Surabaya
Editor Mohammad Nurfatoni