Partai Terkorup Bisa Dibubarkan, Ini Alasannya oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO-Jika HTI dengan alasan ideologi, FPI soal administrasi dan anggota yang terlibat terorisme, maka PDIP pakai alasan ideologi dan terlibat korupsi juga patut dibubarkan. Asas keadilan dan kesamaan di depan hukum mesti ditegakkan.
Hanya dengan pernyataan berbingkai hukum maka HTI dan FPI dibubarkan. HTI melalui Perppu dan FPI melalui SKB. Keduanya tanpa melalui proses peradilan, suatu proses yang seharusnya dilalui untuk tegaknya keadilan dan kepastian hukum.
Berbagai kalangan kini mendesak pemerintah untuk membubarkan PDIP dengan tiga alasan utama. Pertama, partai ini menjadi sponsor RUU HIP yang keberatan mencantumkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang dan Larangan Menyebarkan Paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.
PDIP adalah partai yang menampung kader-kader berhaluan kiri yang membela PKI dan komunisme.
Kedua, menjadikan Trisila dan Ekasila sebagai misi perjuangan partai. Ini artinya secara sadar atau tidak, telah merongrong kewibawaan ideologi Pancasila. Di samping itu Pancasila versi PDIP adalah rumusan 1 Juni 1945 bukan 18 Agustus 1945. Ini sama saja dengan makar kepada Pancasila itu sendiri (vide Mukadimah Anggaran Dasar PDIP alinea ketiga dan pasal 6 ayat 2 AD PDIP).
Ketiga, banyak kader yang terjerat kasus korupsi dan PDIP adalah partai politik penyumbang terbesar kader korup di negara Republik Indonesia. Kasus terakhir dana bansos bekas Menteri Sosial Juliari Batu bara yang juga menyeret kader-kader PDIP lainnya. Sangat dahsyat dan brutal merampok uang rakyat di masa pandemi.
Wani Piro
Ketika penguasa negara mengarahkan pembubaran organisasi kepada aspirasi keumatan, maka wajar muncul desakan bahwa yang lebih pantas dan layak untuk dibubarkan adalah PDIP. Tentu sepanjang partai ini belum mau melakukan perubahan platform perjuangan maupun perilaku mental dan moral para kadernya.
Awalnya PDIP adalah partai yang merakyat dengan slogan partai wong cilik kini setelah menjadi the ruling party karakter berubah menjadi elitis dan kurang peka dengan penderitaan rakyat.
Kemenangan Pemilu bukanlah ukuran kepercayaan rakyat yang sesungguhnya, terutama pada iklim politik yang pragmatis dan kapitalistik.
Teringat pidato Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di depan Civitas Academica UI (Iluni) beberapa waktu yang lalu. Paloh berpidato dengan menggebu dan menyatakan,”Kita ini malu-malu kucing untuk mendeklarasikan Indonesia hari ini adalah negara kapitalis yang liberal, itulah Indonesia hari ini.”
Kompetisi wani piro berujung pada para pejabat yang bermental maling atau korup. PDIP tak mampu menepis kultur ini. Bahkan menjadi juara. (*)
Bandung, 26 Januari 2021
Editor Sugeng Purwanto