Yang menjadi persoalan, apakah hal itu sebagai ‘azimah kepastian yang mengikat, atau hanya waqi’iyyah yang tidak mengikat? Sebab, penjelasan tentang hal ini tidak pernah ada, termasuk dalam syarah-syarah hadits. Sementara yang kita ketahui, imam adalah orang yang mengimami shalat, sedangkan khatib adalah orang yang menyampaikan khutbah.
Sehingga ketika membicarakan persyaratan Jum’at adalah keharusan ada khutbah, tanpa menyebutkan siapa khatibnya. Pemisahan ini terjadi karena sistem di hampir semua masjid Indonesia telah menjadwalkan adanya Imam Rawatib (imam tetap), tetapi khatibnya berganti-ganti. Kondisi itu belum lagi ditambah dengan ketidaksamaan “profesionalisme” antara khatib dan imam. Bisa saja khatib memang mahir menguraikan suatu masalah, tetapi bacaan Alqur’annya kurang baik. Sedangkan di pihak lain, bisa jadi bacaan imam baik, tetapi kemahirannya dalam menguraikan masalah kurang bagus.
Padahal di sisi lain, jamaah ingin mencapai kedua-duanya: khutbahnya enak didengar, dan bacaan shalat juga enak. Dari sinilah awal pemisahan antara imam dengan khatib. Dalam konteks seperti ini, jika khatib memang profesional dan bacaannya bagus, maka seyogyanya dia pula yang bertindak sebagai imam. Tetapi kalau tidak, ya, tidak apalah imamnya orang lain. Sebab, hadits-hadits di atas adalah waqi’iyyah yang disampaikan secara ghalibiy (pada umumnya), bukan ‘azmiy (satu kepastian).
(dinukil dari KH Mu’ammal Hamidy, Islam dalam Kehidupan Keseharian/2012)