PWMU.CO – Aksi demonstrasi Bela Islam II 4 November memang fenomenal. Ratusan ribu, bahkan ada yang menyebut jutaan, massa menyemut di Jalan Medan Merdeka Barat dan sekitarnya. Banyak yang memberi apresiasi atas aksi itu.
Lewat akun Twitter-nya, pengamat politik Denny JA mengeluarkan beberapa penilaian terhadap aksi yang diikuti umat Islam dari berbagai daerah itu. “Dua belas jam setelah people power 4 November itu, kita bisa mengevaluasi plus minus gerakan baik dari sisi respon pemerintah, ataupun pelaku gerakan,” tulisnya dalam pernyataan yang di-direct ke laman Inspira.co.
(Baca: Syachrie bin Umar, Korban yang Wafat dalam Insiden Aksi 4 November)
“Yang positif, Jusuf Kalla sekali lagi terlihat leadershipnya. Pernyataannya bahwa kasus Ahok akan tuntas secara hukum paling lambat dalam waktu dua minggu, itu adalah respon yang sesuai dengan prinsip “the good governance“: memberi kepastian dan sesuai dengan supremasi hukum,” urainya.
Yang negatif, lanjut Denny, adalah sikap Presiden RI. “Jokowi selaku presiden rakyat terkesan tidak bersedia jumpa rakyatnya. Padahal selama ini Jokowi terkenal dengan blusukannya. Jika ingin menggusur ketika ia Walikota Solo atau Gubernur Jakarta, ia jumpa dengan rakyatnya berkali kali. Rakyat terasa dimanusiakan,” jelasnya.
(Baca juga: Simpati pada Aksi 4 November, Keluarga Islam Britania Raya Beri Dukungan Doa)
Namun, pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu lantas menanyakan mengapa kini sikap Jokowi terbalik. “Ratusan ribu rakyat datang ke istana. Ingin jumpa baik baik dengan presiden mereka secara damai. Jokowi malah menghilang dari istana dan memilih mengirim wakil,” tulisnya.
Sementara dari sisi pelaku gerakan aksi demo, Denny JA juga menuliskan catatan. “Yang positif, sampai sholat magrib, people power ini berhasil menjadi gerakan tertib dan damai. Murni dari sisi aksi demo, itu pencapaian luar biasa,” urainya. “Yang negatif, sayangnya setelah magrib, pelan pelan terjadi kerusuhan di sana sini. Belum kita tahu secara persis siapa yang sesungguhnya memulai,” jelasnya sambil meninggalkan PR mencari “penyebab” kerusuhan itu. (najih)