PWMU.CO – Tertipu Jumatan di Beijing, Bukan ala Muhammadiyah atau NU adalah kejadian lucu yang menimpa rombongan muhibah ormas Islam Jatim ke China. Mereka dari unsur MUI, Muhammadiyah, NU, dan Takmir Masjid Cheng Hoo Surabaya.
Saat itu rombongan sedang mengikuti shalat Jumat di Masjid Niu Jie, Beijing, RRC, Jumat (7/4/2017) siang. Masjid Niu Jie adalah masjid tertua dan terbesar di Beijing. Nama masjid mengambil nama Jalan Niu Jie, tempat komunitas Muslim terbesar di Ibukota Republik Rakyat China (RRC) itu.
Meski mayoritas anggota rombongan adalah para kiai atau ustadz, tapi mereka merasa asing dengan rangkaian ibadah di masjid itu. Bahkan, ada yang merasa ‘tertipu’. Berikut kisahnya, sebagaimana pernah dimuat PWMU.CO.
Dipimpin Tujuh Imam
Tepat pukul 11.45 waktu setempat, suara adzan berkumandang. Batin saya, oh pasti Jumatan di Beijing ini akan mengikuti ‘gaya’ NU di Indonesia, yang menggunakan dua kali adzan. Sebab jika ‘gaya’ Muhammadiyah, adzan cukup sekali dan didahului salam sang khatib.
Setelah adzan, para jamaah biasanya melakukan shalat sunah qabliyah. Itu pula yang saya duga akan terjadi di Masjid Niu Jie. Tetapi tidak! Jamaah tetap duduk di tempatnya. Ada apa gerangan?
Ternyata tujuh pria berbaju semi jas hitam panjang berpadu dengan celana warna gelap dan surban putih di kepala, tiba-tiba datang dari belakang menuju tempat pengimaman. Saya mengira, setelah itu, salah satu dari mereka akan naik mimbar menjadi khatib. Ternyata dugaan saya melesat.
Tujuh ulama karismatik itu justru berbalik arah menghadap jamaah. Lalu mereka membaca al-Quran secara bergiliran. Saya sempat mencatat, surat dan ayat yang mereka baca.
Yaitu berturut-turut: al-Fatihah, Ayat Kursy, at-Thariq, al-A’la, adh-Dhuha, al-Qadr, al-Zalzalah, at-Takasur, al-Aasyr, al-Fil, Qurays, al-Maun, al-Kautsar, Al-Kafirun, an-Nash, al-Lahab, al-Ikhlas (3x), al-Falaq, an-Nas, al-Fatihah, dan al-Baqarah sampai ayat kelima. Lalu ditutup dengan doa.
‘Khutbah’ Bahasa China
Pembacaan al-Quran setelah adzan ini, tentu saja sesuatu yang baru bagi jamaah asal Indosensia. Tapi keterkejutan tidak berhenti di situ. Setelah doa selesai dibacakan, salah seorang dari tujuh ulama itu maju ke depan.
Yang saya heran, kenapa dia tidak berada di mimbar Jumat yang disediakan lengkap dengan tongkat. Tapi dia maju di meja yang menjadi podium, yang terletak di sebelah kanan mimbar Jumat.
Dengan bahasa China, ulama muda itu membacakan lima lembar naskah. Tidak selalu dibaca memang. Dia padukan teks dengan narasi di luar kepala. Waktu 40 menit yang digunakan, terasa cukup lama. Mungkin karena saya tidak paham bahasanya.
Saya bisa menebak bahwa dia sedang menjelaskan makna Isra Mikraj karena mengutip ayat pertama surat al-Isra dan menjelaskan bagian per bagian. Apalagi saat ini adalah bulan Rajab.
Ternyata Bukan Khutbah Jumat
Tapi yang menjadi kejutan bukan soal itu. Turun dari podium, sang ‘khatib” kemudian maju ke tempat pengimaman. Hati saya semakin bertanya-tanya: “Itu tadi berarti khutbah Jumat ya?”
Tapi keraguan lain datang, mengapa tak ada khutbah keduanya. Tiba-tiba keraguan itu terjawab, ketika jamaah secara serentak menata barisan mengikuti tujuh ulama di depan yang berdiri, menandai mulainya shalat Jumat.
Kami takbir bersama mengikuti satu dari tujuh ulama itu yang berada di posisi paling depan sebagai imam. Tapi, muncul pertanyaan lagi, kok lama tidak ada suara jahr (keras) bacaan imam lazimnya imam shalat Jumat.
Belum terjawab soal itu, tiba-tiba terlihat jamaah rukuk sendiri-sendiri. Oh, berarti ini masih shalat sunah (qabliyah). Saya yang semula berniat shalat Jumat, lalu ‘megubah haluan niat’ menjadi shalat sunah. Jangan tanya bagaimana hukumnya ya!
Saya baru sadar, ternyata yang ceramah 40 menit tadi bukan khutbah. Benar. Setelah selesai shalat sunnah, dua dari tujuh ulama itu maju ke mimbar Jumat. Yang terlihat senior naik mimbar dan satunya mengumandangkan adzan ‘sederhana’, tanpa lagu.
Khutbah yang berlangsung sekitar 10 menit dengan menggunakan bahasa Arab itu tak ubahnya seperti yang dilakukan di Indonesia. Ada dua khutbah dan ada doa penutupnya. Selesai khutbah, imam pun memimpin shalat, dengan tata cara yang sama di Indonesia. Hanya yang agak beda, dalam iqamat teksnya seperti adzan, bedanya hanya ada kalimat iqamat.
Merasa Tertipu
Selesai shalat, ternyata pengalaman Jumatan unik itu menjadi perbincangan rombongan. “Saya merasa ‘tertipu’,” seloroh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, yang juga seorang ustdaz dan sering memberi khutbah Jumat.
Nadjib mengaku banyak ketidaklaziman dalam pelaksanaan shalat Jumat. Dan yang paling spektakuler adalah ceramah sebelum khutbah serta shalat sunnah setelahnya.
“Saya kira itu tadi sudah khutbah. Dan setelah itu shalat Jumat. Eh, ternyata bukan,” katanya sambil menduga mengapa ada semacam pengajian sebelum khutbah Jumat. “Mungkin karena sulit mengumpulkan jamaah yang tempat tinggalnya terpencar itu. Sehingga kesempatan Jumat ini mereka manfaatkan untuk membina umat,” ujarnya.
Bukan hanya Nadjib. Sejawatnya dari Muhammadiyah juga mengemukakan perasaan masing-masing. Para kiai NU yang ikut rombongan pun sama. Intinya mereka kaget dan tak menduga dengan tata-caranya, karena berbeda dengan kalaziman Jumatan.
Jadi, jangan kurang piknik ya, biar gak tertipu, he-he-he ..! (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni