Masjid Al-Aqsa, Titik Mikraj yang Pernah Dihancurkan Dua Kali, Pendekatan Scientific Cum Doctriner dalam Memahami Isra Mikraj.
Ditulis oleh Dr Syamsuddin MA, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Masjid al-Aqsa adalah tujuan perjalanan malam (isra) Nabi SAW, serta titik-tolak beliau melakukan Mikraj, menuju Sidrat al-Muntaha, menghadap Tuhan seru sekalian alam. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam al-Quran, surat al-Isra, ayat pertama.
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjidil al-Haram ke al-Masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Terdapat riwayat bahwa Nabi Muhammad SAW punya pengalaman berada di Masjid al-Aqsha itu ialah ketika beliau menjadi imam shalat untuk seluruh nabi dan utusan Allah, sejak dari Nabi Adam.
Ini melambangkan persamaan dasar dan kontinuitas agama samawi sebagaimana dibawa oleh para rasul itu semuanya, dan agama itu kemudian berkembang sejak dari bentuk yang dibawa oleh Nabi Adam menuju bentuknya yang terakhir dan sempurna, yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Karena itulah Nabi Muhammad menjadi imam para nabi dan rasul di Masjid al-Aqsha itu. Juga melambangkan dan menegaskan bahwa beliau, selaku penutup para Nabi dan Rasul, mewakili puncak perkembangan agama Allah, yaitu ad-din al-Islām, agama yang ajarannya bersendikan kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah dengan tulus.
Tentang bagaimana dapat terjadi bahwa Nabi Muhammad SAW bertemu dengan para nabi dan rasul, bahkan tentang bagaimana seluruh peristiwa perjalanan suci Isra dan Mikraj itu terjadi, tentulah merupakan rahasia Allah, menjadi bagian dari perkara gaib yang harus diimani.
Sementara itu, para ahli tafsir menuturkan tentang adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, apakah Nabi SAW mengalami peristiwa Isra dan Mikraj itu secara ruhani-jasmani, ataukah ruhani saja. Sebagian besar riwayat mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan suci itu secara ruhani-jasmani sekaligus.
Tetapi ada beberapa riwayat, seperti dari Aisyah, dan Muawiyah, sebagaimana dikutip oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya, Al-Kasysyāf, bahwa Isra dan Miraj itu dialami nabi secara ruhani saja. (Al-Kasysyāf, II/437).
Masyaallahu kaan, apapun yang dikehendaki Allah tentu akan terjadi.
Lorong Waktu
Dan sekarang ini, dengan pertolongan ilmu pengetahuan modern, mungkin kita dapat menjelaskan sedikit lebih baik tentang masalah ini. Yaitu kalau kita lihat dalam kerangka teori kenisbian waktu seperti dikembangkan oleh Albert Einstein.
Einstein dan para ilmuwan membangun teori bahwa manusia dapat “berjalan-jalan” ke masa lalu dan masa mendatang—antara lain berdasarkan kenisbian waktu — yang teori itu telah dituangkan dalam tulisan-tulisan science fiction seperti ide tentang adanya “lorong waktu” (time tunnel).
Maka mungkin saja bahwa Nabi dalam Isra dan Mikraj itu—dengan kehendak Allah karena dibebaskan oleh-Nya dari belenggu dimensi ruang-waktu—telah melakukan perjalanan dalam “lorong waktu”, sehingga beliau dapat melihat dan mengalami hal-hal di masa lalu dan di masa mendatang sekaligus.
Sebab Allah sendiri pun tidak terikat ruang dan waktu, dan baik ruang maupun waktu itu tidak lain adalah
ciptaan Allah semata, tidak mutlak, dan tidak abadi. Bahan-bahan bacaan, termasuk yang dirancang secara populer, sekarang dengan mudah dapat diperoleh mengenai hal ini.
Jadi, sekali lagi, masalah bagaimana Nabi SAW mengalami Isra dan Miraj itu, di hadapan kehendak Allah dan kemahakuasaan-Nya, tidaklah terlalu relevan. Kita percaya kepada Allah, dan kita membenarkan terjadinya Isra dan Mikraj itu dengan sepenuh hati, sebagaimana hal itu diteladankan oleh wisdom sahabat Nabi yang terdekat, Abu Bakr RA, sehingga beliau ini mendapat gelar al-Shiddīq.
Demikianlah halnya pertemuan Nabi SAW dengan para nabi dan para tasul terdahulu sepanjang zaman dalam shalat bersama dan beliau menjadi imam.
begitu pula pengalaman keberadaan Nabi di Masjid al-Aqsa adalah suatu pengalaman yang telah lepas dari dimensi ruang-waktu yang relatif. Sebab semasa Nabi SAW melakukan perjalanan suci itu, Masjid al-Aqsa dalam arti bangunan fisiknya tidak ada, kecuali sisa beberapa bagiannya yang kurang penting, (Nurcholish Madjid, 1995:10).
Pendekatan Sejarah Memahami Masjid Al-Aqsa
Masjid al-Aqsa, makna harfiahnya adalah “masjid terjauh”. Memang pada saat itu ia merupakan area suci terjauh dalam pandangan komunitas Muslim di Madinah, setelah Masjid an-Nabawi di Madinah dan Masjid al-Haram yang ada di Makkah.
Awalnya merupakan Tugu Batu Karang yang didirikan oleh Yakub putra Ishaq, lalu mengalami proses panjang hingga menjadi bangunan monumental untuk peribadatan pada zaman Nabi Sulaiman, atau dikenal dengan sebutan Raja Salomo atau Solomon.
Tugu itu terletak suatu area suci yaitu Bait al-Maqdis, juga disebut al-Bait al-Muqaddas, al-Quds, Yerussalem atau Yursyalim. Berlokasi di dataran tinggi pegunungan Yudea antara Laut Tengah dan Laut Mati, Yerusalem menjadi kota suci tiga agama, Yahudi, Kristen, dan Islam.
Dalam doktrin Islam, al-Aqsa adalah salah satu tempat suci penting setelah Masjid al- Haram dan Masjid an-Nabawi. Diriwayatkan bahwa shalat di Masjid al-Aqsa akan mendapat ganjaran 500 kali lipat dibanding masjid biasa.
Dikatakan dalam al-Isrā’ 1, “Kami berkahi sekelilingnya”, karena dikelilingi wilayah subur Palestina, Yordania, dan Syiria. Juga merupakan tempat lahirnya para nabi dan rasul.
Tentang bagaimana perjalanan nasib Masjid al-Aqsa itu dalam sejarah masa lalu sejak didirikan, al-Quran sendiri telah memberi keterangan yang cukup jelas, bahwa ia telah mengalami penghancuran total dua kali.
Penafsiran keterangan dalam al-Quran itu dengan fakta-fakta sejarah menjadi amat penting, karena tanpa itu kita akan terjebak dalam cara berpikir a-historis, sesuatu yang dikritik keras oleh Ibn Khaldun dan Ibn Taimiyah.
Keterangan dalam al-Quran tentang apa yang terjadi pada Masjid al-Aqsa sepanjang sejarahnya di masa lalu termuat dalam surat al-Isrā’ 4-8.
Dalam firman itu disebutkan bahwa anak-cucu Isra’il (Ya’kub bin Ishaq), yaitu kaum Yahudi, telah ditetapkan dalam Taurat akan membuat kerusakan di bumi dua kali, dan pada kedua peristiwa perusakan itu Allah mengirimkan azab-Nya kepada mereka, berupa hancur luluhnya Masjid al-Aqsa dan terhinanya bangsa Yahudi.
Perusakan Dua Kali Masjid Al-Aqsa
Pertanyaannya ialah, apa dan kapan wujud terjadinya kedua peristiwa perusakan dan turunnya azab Allah itu?
Sepeninggal Nabi Sulaiman, Bani Isra’il terpecah menjadi dua. Yaitu kelompok sepuluh suku Yahudi yang berkuasa di bagian selatan Palestina dan berpusat di Samaria dan kelompok dua suku Yahudi (Yehuda dan Bunyamin) yang menguasai Yudea dan berpusat di Yerusalem atau Bait Maqdis.
Dalam kitab tafsir al-Kasysyāf, az-Zamakhsyari mengatakan peristiwa perusakan yang pertama berupa pembunuhan Nabi Zakaria dan pemenjaraan Aramia. Padahal sudah diperingatkan akan datangnya kemurkaan Allah jika mereka melakukan kejahatan itu.
Sedangkan peristiwa perusakan yang kedua ialah pembunuhan Nabi Yahya bin Zakaria, serta rencana jahat mereka untuk membunuh Nabi Isa putra Maryam AS.
Ibn Khaldun, dalam kitabnya yang terkenal, Muqaddimah, menerangkan, azab pertama bagi Bani Israil adalah saat Nebukadnezar menaklukkan Samaria, kemudian Judea dan menyerbu Yerusalem, menghancurkan Masjid al-Aqsa, membakar Taurat dan mematikan agama Yahudi.
Nebukadnezar kemudian memboyong orang-orang Yahudi ke negerinya untuk dijadikan budak. Inilah peristiwa penghancuran Masjid al-Aqsa yang pertama.
Selang 70 tahun seorang Raja Persia dari Dinasti Kiyaniyah (Achaemenid) berhasil mengembalikan bangsa Yahudi itu ke Yerusalem, setelah mengalahkan Babilonia dalam suatu peperangan.
Kaum Yahudi membangun kembali kuil mereka (Masjid al-Aqsa) menurut bentuk aslinya dari zaman Raja Sulaiman. Tapi tempat tersebut hanya untuk kegiatan keagamaan para pendeta, tanpa makna kekuasaan politik seperti sebelumnya. Kekuasaan politik berada di tangan bangsa Persia.
Penghancuran Kedua
Babakan selanjutnya, tentara Romawi, dipimpin oleh Titus, menghancurkan Yerusalem, meratakan Masjid al-Aqsa dengan tanah, dan mengasingkan orang-orang Yahudi ke Roma dan ke daerah yang lebih jauh lagi.
Inilah penghancuran Masjid al-Aqsa yang kedua, dan peristiwa pengasingan tersebut disebut kaum Yahudi sebagai “Pengasingan Besar” (al-Jalwat al-Kubrā, atau the Great Exile), Titus mengubah tempat bekas berdirinya masjid itu menjadi ladang (Ibn Khaldun, Muqaddimah, 1981: 288-289).
Dalam perkembangannya, bangsa Romawi memeluk agama Masehi dan mulailah mereka mengagungkan al-Masih itu. Para penguasa Romawi maju-mundur untuk memeluk agama al-Masih, sampai datang masa Konstantin yang ibunya, Helena, telah memeluk agama Masehi.
Helena pergi ke Yerusalem untuk menemukan kayu yang digunakan bagi penyaliban al-Masih. Para pendeta memberi tahu kepadanya bahwa salib itu telah dibuang kaum Yahudi ke dalam tanah yang penuh sampah dan kotoran.
Helena menemukan kayu salib itu, dan di tempat kotoran itu ia dirikan Gereja Kotoran (Kanīsat al-Qumāmah, konon nama ejekan untuk Kanīsat al-Qiyāmah, “Gereja Kebangkitan”). Gereja itu oleh kaum Masehi dianggap berdiri di atas kubur al-Masih.
Helena menghancurkan sisa-sisa dari Masjid al-Aqsa yang masih berdiri, kemudian ia memerintahkan agar kotoran dan sampah dilemparkan ke atas Karang Suci (Altar Yahudi), sampai seluruhnya tertutup oleh sampah dan kotoran itu, dan letak Karang Suci menjadi tersembunyi. Helena menganggap inilah balasan yang setimpal kepada kaum Yahudi atas perbuatan mereka terhadap pusara al-Masih.
Keadaan tetap bertahan seperti itu sampai datangnya Islam. Khalifah Umar bin al-Khattab pada saat membebaskan Bait al-Maqdis menanyakan kepada patriak (kepala gereja) tempat Karang Suci itu, lalu ditunjukkan tempatnya yang tertimbun tumpukan sampah dan tanah.
Lalu ia bersihkan tempat itu dan ia dirikan masjid di atasnya. Umar mengagungkan tempat itu sesuai dengan kelebihannya sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kemudian Khalifah al-Walid ibn Abd al-Malik mencurahkan perhatian untuk membangun masjidnya menurut model bangunan masjid-masjid Islam pada umumnya, sebagaimana ia lakukan juga untuk Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid an-Nabawi Madinah. (*)
Editor Mohamamd Nurfatoni