30 Kisah Inspiratif ‘Jangan Tinggalkan Aku Sendiri’, kolom ditulis oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur; Penulis 17 buku inspiratif.
PWMU.CO – Judul tulisan di atas adalah judul buku saya ke-17 berisi 30 kisah inspiratif. Diterbitkan untuk Ramadlan tahun ini. Satu Ramadhan, satu buku sebagai rasa syukur. Jangan Tingglkan Aku Sendiri merupakan ungkapan seseorang kepada kekasihnya. Dia ingin kekasihnya selalu berada di dekatnya. Kekasih yang dimaksud dalam buku ini adalah Tuhan.
Allah sendiri menegaskan, Dia selalu menyertai kita di manapun dan kapanpun kita berada. “Dan Allah selalu bersamamu di mana saja kamu berada,” (al-Hadid: 4)
Ayat ini mengajarkan kita harus selalu optimis menghadapi kesulitn apa saja. Allah tidak akan membiarkan kita sendirian dalam kesulitan. Tangan Tuhan akan diulurkan untuk menolong kita. Banyak sekali kejadian dahulu maupun sekarang yang membuktikan hal itu. Berikut ini beberapa contoh dan cuplikan dari buku itu.
Perang Badar
Dalam perang Badar, hati Rasulullah gusar. Kekuatan pasukan Muslim tidak seimbang dengan jumlah pasukan kafir Qiraisy. Pasukan Muslim yang hanya tiga rutasan harus menghadapi seribu pasukan kafir. Pasukan Muslim juga belum terlatih perang. Sedang pasukan kafir Quraisy sudah terbiasa perang.
Dengan perasan gusar Rasulullah masuk ke tenda dan berdoa. Sedemikian khusyu beliau berdoa dengan mengangkat tinggi tangannya sampai selendang beliau jatuh tanpa terasa. Abu Bakar lalu mengambil dan meletakkan kembali di pundak beliau. “Cukup ya Rasulullah,” kata Abu Bakar. Namun Rasulullah terus bedoa sampai tertidur.
Ketika bangun wajah beliau cerah. Beliau tahu Allah tidak membiarkan pasukan Muslim sendirian. Akan datang bantuan berupa kehadiran para malaikat. Doa yang beliau baca antara lain ialah:
“Ya Allah azza wa jalla. Ini Quraisy datang dengan segala kecongkaannya. Berusaha terus handak mendustakan Rasulmu. Ya Allah berikanlah apa yang Engkau telah janjikan kepadaku. Ya Allah Azza wa jalla. Jika Engkau membinasakan pasukan Islam ini, maka tidak akan ada lagi yang beribadah kepada Mu di muka bumi ini”
Akhirnya pertolongan Allah datang berupa ribuan malaikat. Kafir Quraisy heran pasukan muslim terlihat sangat banyak. Akhirnya pasukan muslim berjaya. Pasukan kafir kembali ke Mekkah dengan membawa kekalahan dan rasa malu yang besar.
Doa serupa perang Badar ini pernah dibaca Neno Warisman saat pilpres yang lalu. Dia pendukung Prtabowo-Sandi. Pada acara munajat 212 di lapangan Monas 21 Februari 2019 Neno dengan bergaya seperti membaca puisi membaca doa antara lain:
Karena jika engkau tidak menangkan
Kami khawatir Ya Allah
Kami khawartir Ya Allah
Tidak ada lagi yang menyembahmu
Banyak yang keberatan doa perang Badar yang sakral itu dibaca dalam rangka Pilpres. KH Ma’ruf Amin, cawapres Jokowi mengatakan doa yang dibaca Neno itu menghakimi dirinya dan Jokowi serta pendukungnya sebagai kelompok orang kafir.
“Ini kan pilpres, bukan perang Badar”, kata Ma’ruf Amin.
Moeldoko, Ketua Harian Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf pernah mengatakan pilpres ini bagaikan perang. “Jadi saat ini kita menuju yang kami namakan perang total.” Tidak jelas siapa yang membuat pernyataan lebih dulu. Neno atau Moeldoko.
Rasanya Neno tidak pernah membayangkan pada akhirnya Prabowo dan Sandi bergabung dengan kabinet Jokowi. Politik memang unik.
Apa yang Kau Inginkan Anakku?
Imam Nawawi (56) dan Aisyah (8), putrinya, harus meninggalkan rumah itu karena tidak bisa membayar kontrakan. Ke mana? Entahlah. Tidak tahu kemana keduanya harus berteduh.
Dahulu Nawawi bekerja sebagai sopir mobil boks. Order makin hari makin sepi. Sejak dua tahun lalu Nawawi sakit. Uang tabungan habis untuk berobat. Maka selain sakit, tidak punya tabungn juga pengangguran. Bahkan akhirnya Nawawi seperti lumpuh, hanya bisa tiduran.
Sebelum sakit Nawawi punya sepeda becak. Maka di atas sepeda becak itu dia dan Aisyah tinggal. Di becak itu barangnya dibawa, seperti semua pakian termasuk selimut.
Juga panci dan ember. Gadis kecil itu yang merawat ayahnya. Rumah mereka ya sepeda becak itu. Setiap pagi Aisyah membersihkan tubuh ayahnya, termasuk kotorannya. Sore hari membersihkan lagi.
“Supaya kelihatan segar,” kata Aisyah tanpa ada nada mengeluh sedikit pun. Dia minta air dari masjid Raya di kawasan Sisingamangaraja Medan.
Setiap pagi Aisyah mengayuh becaknya tanpa tujuan di jalan Kota Medan. Orang-orang yang melintas ada yang merasa kasihan. Lalu memberi uang. Dari pemeberian itulah Aisyah dan Nawawi hidup.
Jika malam kadang becaknya parkir di depan kantor yang sudah tutup. Atau di jalan dekat masjid. Di puncak penderitaan yang dijalani dengan ketabahan, Allah menolong gadis kecil itu. Plt. Walikota Medan Dzulmi Eldin mendengar berita itu. Segera dia mengecak ke lapangan. Ternyata berita itu benar.
Sejak Maret 2014 Nawawi masuk ke rumah sakit. Ternyata sakit paru-paru parah. Untung tidak menulari anaknya. Sedang Aisyah dimasukkan sekolah yang dekat rumah sakit agar bisa menemani bapaknya setelah sekolah. Dia putus sekolah kelas satu karena tidak ada biaya dan harus merawat bapaknya.
Biaya perawatan dan biaya sekolah kini ditanggung pemerintah. Termasuk pakaian, tas, buku-buku dan keperluan sekolah lain. Eldin menyiapkan rusun untuk tempat tinggal. Juga modal kerja agar nanti bisa hidup mandiri.
Ketika keadaan sudah makin baik, Aisyah ditanya wartawan apa yang kini dinginkan? Baju baru, tas, sepatu, sepeda atau apa? Aisyah yang sudah lama menderita kemiskinan itu justru memberi jawaban tidak terduga.
“Saya sangat ingin bapak ibu bersatu kembali”. Orang tuanya memang sudah bercerai sejak Aisyah berumur satu tahun. Dan keinginan Asiyah agar kedua orang tuanya bersatu kembali tidak bisa terlaksana karena ibunya telah menikah lagi dan punya anak. Ternyata kebutuhan anak akan kasih sayang tidak bisa tergantikan dengan apapun.
Dekat di Mata Jauh di Hati
Bagian perencanaan menyampaikan draf sebuah proyek. Pak Kepala membaca dengan cermat.
“Lho ini rapat koordinasi kok sampai empat kali? Apa yang kita rapatkan?”
“Memang tetulis empat kali. Tapi nanti praktiknya hanya sekali, Pak. Kelebihannya untuk kesejahtraan kita dan kawan-kawan,” kata bawahannya itu
“Kalau ada pemeriksaan pengawasan bagimana?”
“Seperti tahun lalu, bagian pemeriksaan kita jadikan anggota tim. Dapat kesejahteraan juga. Aman.”
Terdengar azan dari masjid kantor.
“Kita shalat dulu. Nanti kita lanjutkan,” kata Pak Kepala. Selesai shalat, wiridan, dan berdoa, mereka kembali ke ruangan.
Pembicaraan proyek dilanjutkan.
“Dari mana keuntungan kita peroleh?” tanya Pak Kepala.
“Dari biaya rapat kordinasi, dari biaya akomodasi dan honorarium tim. Mereka tanda tangan sekali tapi rangkap empat. Nanti kita atur tanggalnya. Juga notulen rapat kita buat empat macam seakan rapat kordiansi memang empat kali. Yang penting proyek tidak fiktif dan kualitas kita jaga”, kata bawahan.
“Jadi aman ya?” tanya Pak Kepala.
“Aman Pak!” jawab staf itu meyakinkan.
Dengan mengucapkan kalimat suci “Bismillahir ar-Rahman ar-Rahim” proyek slintutan itu ditandatangani.
“Ah, ini cuma penyimpangan ecek-ecek untuk kesejahteraan karyawan,” kata Pak Kepala dalam hati.
Mungkin pejabat ini termasuk pejabat “baik dan jujur”. Proyek tidak fiktif. Kualitas proyek dijaga. Tidak ada markup harga. Tidak ada masyarakat yang dirugikan.
Tapi slintutan tetap slintutan.
Kalau kelas ecek-ecek itu banyak jumlahnya, maka jadi besar juga. Persoalannya ialah mengapa orang yang tekun shalatnya, mungkin juga ibadah lainnya masih juga melakukan slintutan?
Ketika dia melakukan shalat, dia sedang mendekat Allah. Tidak ada orang salat berniat menjauhi Allah. Juga ketika zikir dan berdoa. Mungkin juga mohon ampun atas segala kesalahan. Tetapi setelah keluar dari pintu rumah Allah, masjid, semua seperti tidak berbekas. Allah tidak ada. Ketika tanda tangan proyek slintutan dengan mengucapkan basmalah, Allah diucapkan tetapi Allah seperti tidak ada di sana.
Seseorang yang tekun ibadah seharusnya dia dekat Allah. Tetapi ternyata dia hanya dekat di mata namun jauh di hati. Mengapa? Itulah ibadah hampa makna. Ibadah tanpa roh. Ibadah tidak bernyawa. Jangan-jangan kita sering melakukan hal sama. Ibadah tanpa makna, tanpa roh. Seharusnya dekat di mata dan dekat di hati. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Bagi pembaca yang berminat memiliki 30 kisah inspiratif dalam buku Jangan Tinggalkan Aku Sendiri seharga Rp 50 ribu ini bisa menghubungi Anifah Asfiyah (0811 3342 663)