Lamaran Atta – Aurel, Sebuah Kapitalisasi Budaya, kolom oleh Arief Hanafi, guru Sosiologi SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo. Naskah ini adalah Juara I Penulisan Opini 5 Tahun PWMU.CO.
PWMU.CO – Apakah Anda risih saat melihat acara lamaran hingga pernikahan selebritas yang ditayangkan secara live di televisi? Apakah Anda terganggu dengan durasi waktu berjam-jam, hanya untuk melihat tayangan acara itu?
Pernahkah Anda bertanya, mengapa hanya persoalan membeli barang seserahan saja menjadi informasi yang patut untuk disiarkan?
Pekan ini kita mendapat suguhan kehebohan, kemewahan, dan keglamouran prosesi lamaran Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah, Sabtu (13/3/2021). Kemudian disambung siraman (19/3/2021), pengajian Sabtu (20/3/2021). Masih ada lagi akad nikah yang dijadwal 3 April.
Meski di masa pandemi covid-19, mereka begitu bebas dan bangga menunjukkan simbol kemewahan dengan mengeluarkan uang miliaran rupiah. Nuansa kebendaan lebih menonjol dibandingkan nuansa khidmat dan sakral. Aksesori lamaran dan pernikahan tidak sekadar bernilai tinggi, tapi juga memiliki gengsi sosial (prestise) yang jauh lebih tinggi.
Siaran langsung acara lamaran hingga pernikahan mendapat sambutan dari media-media mainstream baik elektronik maupun cetak. Salah satunya adalah RCTI yang mendapatkan hak siar. Tidak hanya bermotif memberikan hiburan, melainkan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari rating acara yang didapatkan.
Bagaikan gayung bersambut, acara lamaran tersebut akhirnya disiarkan secara live di tiga program sekaligus. Rangkaian pertama menayangkan proses menuju lamaran di acara gosip Silet, 13 Maret 2021 pukul 09.30 WIB.
Dilanjutkan acara Barista pada pukul 11.00 WIB. Kemudian secara live moment lamaran dilakukan pada pukul 13.30 WIB. Setelah itu acara siraman dan akad nikah di waktu berbeda yang disiarkan secara live pada 19 Maret 2021.
Ditegur KPI
Pihak RCTI berdalih, mereka menayangkan acara Atta dan Aurel secara live karena sarat unsur budaya Indonesia. RCTI ingin mengangkat nilai kebudayaan dari lamaran dan pernikahan Atta dan Aurel ini. Tapi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menegur RCTI karena acara panjang yang menyita jam tayang itu dianggap tidak memberikan kemanfaatan untuk publik.
Kalau kita meminjam konsep Antonio Gramsci, sebenarnya pada titik ini RCTI berusaha untuk melakukan hegemoni dengan mengatasnamakan budaya sebagai alat untuk mengontrol resistensi dari masyarakat sekaligus sebagai alat untuk melegitimasi acara.
Kondisi seperti ini persis apa yang digambarkan Jean Paul Boudrilard (1970) tentang era masyarakat konsumsi. Menurut sosiolog Prancis tersebut, konsumsi tidak hanya nafsu membeli banyak komoditas. Namun konsumsi berada pada tatanan sistem tanda, kode, atau bahasa untuk dipertukarkan secara sosial.
Dalam konteks acara Atta dan Aurel, yang terpenting dalam prosesi lamaran dan pernikahan adalah casing, citra (image), dan prestise. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh filosof Rene Descartes, cogito ergo sum. Saya berpikir maka saya ada. Namun karena situasi yang berbeda, tidak salah kiranya jika jargon tersebut diganti, I shop, therefore I am. Saya belanja maka saya ada.
Slogan tersebut menegaskan kembali bahwa eksistensi diri seseorang ditentukan pada kepemilikan barang. Eksistensi bukan dilihat dari bagaimana individu berpikir dan berproses, melainkan pada produksi citra sebaik-baiknya.
Selain itu era masyarakat konsumsi menunjukkan kelimpah-ruahan secara materi, tapi di sisi lain menunjukkan pemborosan dari masyarakat yang kaya. Maka tidak heran jika Boudrilard menyebut “kebudayaan keranjang sampah” atau sampah visual. Adanya istilah ini sebagai konsekuensi berkembangnya kapitalisme yang semakin menggurita di era modern. Tentu dengan model dan bentuk yang berbeda-beda.
Kapitalisasi Budaya
Penayangan kemewahan acara lamaran hingga pernikahan secara live bertujuan untuk memberikan informasi tentang kebudayaan lokal, justru menimbulkan kelelahan dan ketertindasan bagi mereka yang melihatnya. Bayangkan saja, jika di saat bersamaan, ada pria/wanita yang akan melamar pasangannya, lalu ia menonton acara lamaran Atta dan Aurel.
Ia terpesona dan menginginkan menikah seperti artis pujaannya itu. Namun apa daya, keinginanya untuk menikah kandas karena uangnya tidak cukup hanya untuk membeli baju pengantin atau seserahannya. Maka saat itulah orang tersebut terdistorsi dan tertekan betapa tidak mampunya aku.
Kondisi ini diperparah dengan tradisi pemikiran masyarakat di era modern yang memaksa manusia untuk berpikir secara homogen dengan mengedepankan rasionalitas dan menghancurkan nilai kemanusiaan. Sebagai contoh, masyarakat modern mengklaim rasionalitas untuk menghabiskan uang dalam jumlah yang cukup besar dalam waktu yang singkat.
Mereka bangga dengan usaha seperti itu. Padahal dengan kondisi tertentu, masih banyak kesenjangan sosial-ekonomi terlebih di masa krisis akibat pandemi. Disadari atau tidak, acara lamaran Atta dan Aurel merupakan representasi dari kapitalisasi budaya dalam masyarakat modern.
Penulis melihat ada pergeseran makna dari pernikahan yang sebelumnya sangat sakral dan sarat nilai spiritualitas berubah menjadi komoditas yang dijual ke publik.
Lamaran dan pernikahan Atta dan Aurel yang mewah dan menjadi magnet sosial adalah cerminan dari kegilaan modernitas masyarakat konsumsi yang nir-moralitas publik. Unjuk kemewahan adalah hak setiap individu, tetapi perlu diingat jangan sampai pertunjukan kemewahan tersebut menghancurkan sensitivitas dan nilai-nilai kemanusiaan.
Masyarakat modern perlu bersikap dan bertindak kritis terhadap diri dan lingkungan sosialnya, jangan sampai hegemoni modernitas masyarakat konsumsi menumpulkan rasionalitas kita yang berakibat pada praktik dehumanisasi masif pada dirinya.
Fenomena pernikahan selebritas ini memberi pelajaran bagi kita, bahwa konsumsi yang sifatnya kebendaan, penuh dengan citra, polesan, prestise merupakan sesuatu yang hampa dan fatamorgana. Masyarakat perlu berpikir lebih kritis dan solutif untuk menjadi manusia otonom sekaligus menjadi subjek yang mampu mengontrol dan mengendalikan objek keragaman konsumsi.
Editor Sugeng Purwanto