PWMU.CO – Waktu Subuh Mundur 8 Menit, Ini Penjelasan Muhammadiyah. “Kriteria Awal Waktu Subuh” adalah salah satu Keputusan Musyawarah Nasional XXXI Tarjih Muhammadiyah yang belangsung melalui telekonferensi pada tanggal 28–29 November 2020, 5–6 Desember 2020, 12–13 Desember 2020, dan 19–20 Desember 2020.
Selain soal waktu Subuh, munas juga memutuskan enam hal lainnya. Yaitu Fikih Zakat Kontemporer, Fikih Difabel, Fikih Agraria, Risalah Akhlak Islam Filosofis, Terminasi Hidup (Perawatan Paliatif dan Penyantunan Kaum Senior).
Juga tentang Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih, yang meliputi (a) hukum puasa Ayyām al-Bīḍ dan puasa tiga hari setiap bulan, (b) sujud sahwi, (c) salat sunat sesudah wudhu dan rawatib qabliah Ashar, (d) kaifiat salat Istisqa, (e) kaifiat salat Ghaib, dan (f) menjamak shalat Jumat dengan Asar yang di-qasar.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menanfidzkan tujuh keputusan munas itu melalui surat Nomor 734/KEP/I.0/B/2021 tanggal 7 Syakban 1442/20 Maret 2021 yang ditantadangani Ketua Umum Prof Dr Haedar Nashir MSi dan Sekretaris Umum Prof Dr Abdul Mu’ti MEd.
Mengenai kriteria awal waktu Subuh, Munas XXXI Tarjih Muhammadiyah mengubah ketinggian matahari awal waktu Subuh minus 20 derajat—yang selama ini berlaku dan sebagaimana tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih 3—dan menetapkan ketinggian matahari awal waktu Subuh yang baru, yaitu minus 18 derajat di ufuk bagian timur.
Berikut penjelasan keputusan tentang Kriteria Awal Waktu Subuh yang berimplikasi pada waktu Subuh—juga waktu Imsak—mundur rata-rata 8 menit.
Kriteria Awal Waktu Subuh
Pengetahuan tentang waktu shalat sangatlah penting, karena mengetahui masuknya waktu shalat menjadi dasar sah atau tidaknya shalat itu.
Para ulama menyepakati, sesuai dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi SAW, bahwa awal waktu shalat Subuh adalah saat terbit fajar sadik. Hanya saja kapan fajar sadik itu terbit, hal ini menjadi perdebatan yang sejak lama terjadi di kalangan para fukaha dan ulama Islam.
Dalam kitab al-‘Urf asy-Syażī bi Syarḥ Sunan at-Tirmiżī (I: 173) ditegaskan bahwa terbit fajar menurut ulama falak adalah ketika matahari berada di bawah ufuk pada kedalaman 15º.
Tetapi pandangan ini dibantah oleh Ibn Ḥajar al-Makkī yang menyatakan bahwa terbit fajar bisa lebih cepat dan bisa lebih lambat. Dalam praktik, umat Islam berbeda-beda menentukan saat terbit fajar (sadik) antara -20º seperti di Indonesia, -19,5º seperti di Mesir, -18º, dan lain-lain.
Di Mesir, Institut Nasional Penelitian Astronomi dan Geofisika Hulwan sejak tahun 1984 menyatakan bahwa waktu Subuh di Mesir terlalu dini, dan beberapa kali mengadakan seminar hasil penelitian yang kesimpulannya adalah waktu Subuh -14,7º. Namun dalam praktik hingga sekarang Mesir masih tetap mempraktikkan -19,5º.
Di Indonesia untuk waktu lama masyarakat mempraktikkan -20º. Namun sejak munculnya tulisan yang dimuat secara serial dalam Majalah Qiblati dan kemudian dibukukan dengan judul Koreksi Awal Waktu Subuh yang menyatakan bahwa awal waktu Subuh di Indonesia terlalu pagi (24 menit sebelum kemunculan fajar sadiq).
Pendapat ini didasarkan pada kesaksian di beberapa lokasi saat azan Subuh terdengar, fajar sadiq belum terbit. Kasus ini akhirnya memperoleh perhatian para pengkaji astronomi Islam di Indonesia untuk mengkaji dan melakukan penelitian tentang awal waktu Subuh.
Selama ini di Kawasan anggota MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) Indonesia termasuk yang terpagi dengan ketinggian (altitude) matahari -20° jika dibandingkan dengan waktu Subuh di negara-negara lain.
Muhammadiyah sebagaimana dinyatakan dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah juga berpedoman bahwa ketinggian matahari untuk Subuh -20°. Ini berbeda dari hasil kajian dan penelitian awal waktu Subuh yang menunjukkan ketinggian matahari lebih rendah daripada -20°.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munhkar dan tajdid yang bersumber kepada al-Quran dan al-Sunah (Pasal 4 ayat (1) Anggaran Dasar Muhammadiyah), berkepentingan untuk melakukan kajian dan penelitian awal waktu Subuh dengan memadukan aspek syar’i dan sains agar hasilnya sesuai dengan pesan nas dan perkembangan zaman.
Dalil-Dalil yang Terkait Waktu Subuh
Melalui al-Quran dan hadis waktu-waktu salat fardu telah disebutkan sebagai berikut:
1. Firman Allah dalam surah an-Nisā’ [4] ayat 103,
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
2. Firman Allah dalam surah al-Isrā’ [17] ayat 78,
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula salat) Subuh. Sungguh, salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
3. Firman Allah dalam surah al-Takwīr [81] ayat 18,
وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ
Demi Subuh apabila fajar telah menyingsing
4. Firman Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 187,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam …”
5. Hadis dari ‘Āisyah yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī,
أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الْغَلَسِ
“Bahwasannya ‘Āisyah telah mengabarkan kepadanya, dan ia mengatakan,”kami wanita-wanita mukminat pernah ikut salat bersama Rasulullah saw. dengan menutup wajahnya dengan kerudung, kemudian kembali ke rumah mereka masing-masing setelah selesai salat tanpa diketahui oleh seorang pun karena hari masih gelap.”
6. Hadis dari Abdullah bin ‘Amr bin al-Āṣ yang diriwayatkan oleh Muslim,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ
“Dari ‘Abdullah bin ‘Amar bin ‘Āṣ, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Waktu Zuhur apabila matahari tergelincir sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya yaitu selama belum masuk waktu Asar. Waktu Asar selama matahari belum menguning.
Waktu magrib selama mega merah belum hilang. Waktu Isya sampai tengah malam. Waktu Subuh mulai terbit fajar selama matahari belum terbit. Apabila matahari telah terbit, maka jangan kamu lakukan salat, karena matahari itu muncul di antara dua tanduk setan.”
7. Hadis dari Ibnu ‘Abbās, yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzī
أَخْبَرَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَمَّنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ فَصَلَّى الظُّهْرَ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا حِينَ كَانَ الْفَيْءُ مِثْلَ الشِّرَاكِ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ كُلُّ شَيْءٍ مِثْلَ ظِلِّهِ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ وَجَبَتْ الشَّمْسُ وَأَفْطَرَ الصَّائِمُ ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ صَلَّى الْفَجْرَ حِينَ بَرَقَ الْفَجْرُ وَحَرُمَ الطَّعَامُ عَلَى الصَّائِمِ وَصَلَّى الْمَرَّةَ الثَّانِيَةَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ لِوَقْتِ الْعَصْرِ بِالْأَمْسِ ثُمَّ صَلَّى الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ لِوَقْتِهِ الْأَوَّلِ ثُمَّ صَلَّى الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ أَسْفَرَتْ الْأَرْضُ ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ جِبْرِيلُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
“Ibn ‘Abbas telah mengabarkan kepadaku bahwa Nabi saw bersabda: Jibril a.s. pernah mengimami saya salat di Baitullah dua kali. Kemudian salat Zuhur ketika matahari tergelincir dan membentuk bayang-bayang sepanjang tali sepatu. Kemudian salat Asar pada saat bayang-bayang sama panjang dengan bendanya. Kemudian salat Magrib ketika matahari terbenam dan orang berbuka puasa.
Kemudian salat Isya ketika mega merah telah hilang. Kemudian salat Subuh ketika terbit fajar dan ketika makanan tidak boleh dimakan oleh orang yang berpuasa. Kemudian pada keesokan harinya, ia salat Zuhur ketika bayang-bayang sama panjang dengan bendanya. Kemudian salat Asar ketika bayang-bayang dua kali panjang bendanya.
Kemudian salat Magrib pada waktu awal (ketika matahari terbenam). Kemudian salat Isya ketika telah selesai sepertiga malam. Kemudian salat Subuh ketika hari sudah terang. Kemudian ia berpaling kepadaku dan berkata: Wahai Muhammad, ini adalah waktu salat para nabi sebelummu. Waktu salat itu adalah antara kedua waktu ini.”
Berdasarkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa awal waktu Subuh ditunjukkan dengan fenomena matahari berupa terbit fajar. Dalam praktik Rasulullah SAW shalat Subuh ketika galas dan pernah pula saat isfār (sudah terang). Galas ( الغلس ) didefinisikan oleh Badruddīn al-‘Ainī dalam Syarḥ Sunan Abī Dāwūd (II: 245) sebagai berikut:
Galas adalah kegelapan akhir malam ketika bercampur dengan cahaya Subuh, dan yang dimaksud dengan galas itu bukan sebelum terbit fajar sadik, tetapi yang dimaksud adalah bahwa beliau salat Subuh di awal waktunya, yaitu saat terbit fajar sadik, dan ini adalah galas.
Kontribusi Para Astronom Muslim tentang Fajar
Beberapa astronom Muslim yang ikut menyumbangkan pemikiran tentang kriteria waktu Subuh adalah sebagai berikut:
Hasil Observasi Fajar
Sesuai rekomendasi Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 pada Tanggal 16-19 Rabiul Akhir 1431 H/ 1-4 April 2010 tentang persoalan awal Subuh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengamanatkan kepada tiga lembaga untuk melakukan kajian dan observasi fajar.
Yaitu Observatorium Ilmu Falak (OIF) yang berada di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Medan, Pusat Studi Astronomi (Pastron) yang berada di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, dan Islamic Science Research Network (ISRN) yang berada di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Jakarta.
Penelitian menggunakan serangkaian instrumen modern dan metode analisis untuk menginterpretasikan hasil penelitian.
OIF UMSU menggunakan alat Sky Quality Meter (SQM) untuk menguantitasi perubahan tingkat kecerahan langit (TKL). Pengambilan data dilakukan di kota Medan, Pantai Romantis (Kabupaten Deli Serdang), dan Barus (Kabupaten Tapanuli Tengah). Lokasi penelitian di OIF berada pada daerah dengan polusi cahaya yang buruk.
Sementara itu, polusi cahaya di lokasi Pantai Romantis dan Barus lebih baik daripada di OIF. Durasi pengambilan data dari tahun 2017 – 2020 (Ramadan 1438 H – Zulkaidah 1441 H) dengan SQM diarahkan ke 0º, 30º, 45º, dan 90º (zenit).
Hasil penelitian diolah dengan menggunakan metode Moving Average. OIF UMSU menyimpulkan bahwa polusi cahaya berpengaruh terhadap ketinggian Matahari sebagai penentu awal waktu Subuh. Selain itu, tinggi Matahari yang terendah yaitu -16,48º untuk data SQM yang mengarah ke Zenit.
Pastron UAD juga menggunakan SQM yang diarahkan ke Zenit. Pengambilan data dilakukan di Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul. Polusi cahaya di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul lebih baik daripada kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
Penelitian dilakukan pada 2016 (Syakban 1437 H – Rabi’ul Awal 1438 H), 2017 (Rabi’ul Akhir 1438 H – Rabi’ul Akhir 1439 H), dan 2020 (Syakban 1441 H). Moving Average juga digunakan untuk mengolah data SQM. Pastron UAD menyimpulkan nilai TKL dipengaruhi oleh fase Bulan selain adanya polusi cahaya.
Hal ini juga memengaruhi nilai tinggi Matahari sebagai awal waktu Subuh. Semakin tinggi polusi cahaya maka awal waktu Subuh yang diperoleh dari pengolahan data menjadi lebih siang daripada waktu dengan menggunakan perhitungan ketinggian Matahari -20º. Tinggi Matahari yang terendah yang berhasil diukur yaitu -15,75º.
ISRN UHAMKA selain menggunakan SQM juga memakai kamera DSLR, kamera All-Sky, kamera smartphone, dan kamera Drone. Pengambilan data dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia (Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang, DKI Jakarta, Cirebon, Gunung Kidul, Labuanbajo, Bitung, Balikpapan, Manokwari) dan luar negeri (Inggris, Amerika Serikat, Malaysia, Mesir, Turki, dan Saudi Arabia).
Pengambilan data dilakukan dari 2017-2020 (Jumadil Akhir 1438 H – Zulkaidah 1441 H). ISRN menyimpulkan dari 750 hari data Subuh (data terbit fajar) berbagai daerah di dunia beragam, yaitu -18,4º, -18º, -17º, -16º, -15º, -14º, -13º, -12º, -11º, -10º, -9º, -8º, -7º. (selengkapnya lihat lampiran 1).
Selain hasil riset 3 lembaga internal tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengundang para pakar astronomi dari Institut Teknologi Bandung, yaitu, Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc dan Dr. Mahasena Putra.
Hasil kajian keduanya dapat dipahami bahwa mayoritas ketinggian matahari awal Subuh adalah minus 18º. Hasil riset yang sama disampaikan oleh para peserta Munas Tarjih, seperti Sugeng Riyadi, Bahrul Ulum, dan Adi Damanhuri.
Begitu pula hasil riset yang berjudul Reevaluation of The Sun’s Altitude for Determination Beginning of Fajr Prayer Times in Malaysia oleh Mohd Zambri Zainuddin dkk menyimpulkan bahwa ketinggian matahari awal waktu Subuh minus 18º. Sebagai perbandingan, sejumlah negara juga menggunakan kriteria awal waktu Subuh pada ketinggian matahari minus 18º seperti, Turki, Inggris, Perancis, Nigeria, dan Malaysia.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa persoalan penentuan saat terbit fajar sebagai awal waktu Subuh merupakan persoalan ijtihadi. Untuk itu, melalui proses kajian yang mendalam baik aspek Syar’i maupun hasil observasi sesuai Manhaj Tarjih yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid dan mempertimbangkan kemaslahatan, maka Munas Tarjih ke-31 pada tanggal 14 Rabiul Akhir-5 Jumadil Awal 1442 H/29 November–20 Desember 2020 menetapkan ketinggian Matahari awal waktu Subuh adalah -18º (minus 18 derajat) di ufuk bagian timur.
Lampiran
1. Statistik hasil perhitungan ketinggian matahari awal fajar di Indonesia (15 April 2015/26 Jumadil Akhir1436 H–15 Agustus 2020/25 Zulhijah1441 H) ISRN UHAMKA. (sumber: Buku I Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI halaman 283)
2. Tabel Probabilitas penggunaan dip (ketinggian matahari) untuk statistik fajar di Indonesia (sumber: Buku I Materi Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah XXXI halaman 288)
3. Fajar di Labuan Bajo NTT
(sumber: https://rukyahfajar.wordpress.com/2018/04/28/fajar-di-labuan-bajo-ntt/)
Editor Mohammad Nurfatoni