Nyai Walidah, Tokoh Pergerakan Wanita yang Konkret oleh Tere Liye, penulis novel dan akuntan.
PWMU.CO– Tokoh ini bernama Siti Walidah. Lahir di Yogyakarta, 3 Januari 1872, putri dari seorang ulama, Kiai Haji Muhammad Fadli. Dia bersekolah di rumah saja, belajar ilmu agama, bahasa, dan lain sebagainya. Dia tidak mengenyam pendidikan formal. Tapi besok lusa, dia ’mendirikan’ ribuan sekolah-sekolah, lembaga pendidikan formal lewat organisasi yang dibangunnya.
Tahun 1889, Siti Walidah menikah dengan sepupunya, Ahmad Dahlan. Kemudian dia lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Sebutan lainnya Nyai Walidah.
Jika kalian ingin mencari contoh tokoh pergerakan wanita yang benar-benar konkret, Nyai Ahmad Dahlan adalah pilihan terbaiknya. Dia tidak hanya bicara atau menulis soal emansipasi. Dia juga melakukannya dengan tangan. Nyata. Tahun 1917, di usia 45 tahun, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Aisyiyah, yang kemudian menjadi bagian dari Muhammadiyah.
Lewat organisasi Aisyiyah inilah kiprah Nyai Ahmad Dahlan terang-benderang menyinari sekitarnya. Organisasi ini mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama. Menjadi ujung tombak pendidikan bagi wanita. Karena jelas, jika kita bicara tentang mengubah sesuatu, pendidikan adalah kuncinya.
Tahun-tahun itu, catat baik-baik, tahun 1920-an, Nyai Ahmad Dahlan telah berkeliling ke banyak tempat menyampaikan banyak hal prinsip mengagumkan. Dia menganjurkan perempuan belajar memakai sepeda.
Itu sepele bukan? Tidak. Di zaman itu, saat sepeda adalah simbol kendaraan, itu serius sekali. Arab Saudi bahkan baru beberapa tahun lalu mengizinkan perempuan mengemudi di negaranya. Nyai Ahmad Dahlan visioner, seratus tahun lebih maju.
Aktif di Pergerakan
Nyai Walidah menentang kawin paksa. Dia datang dengan pemahaman bahwa istri adalah mitra setara bagi suami. Penting sekali wanita mendapatkan pendidikan, dll, dsbgnya. Lagi-lagi, catat tahun-tahun itu, saat Indonesia belum merdeka, Belanda masih menjajah, itu pemikiran yang sangat radikal dan berbahaya. Tapi tidak bagi seorang Nyai Ahmad Dahlan yang kritis dan progresif.
Saya tidak akan membahas apa yang dilakukan oleh Nyai Ahmad Dahlan secara detail. Kalian bisa membacanya di buku, atau menonton filmnya. Karena sudah ada film tentang Nyai Ahmad Dahlan.
Tapi saya ingin membahas tentang sesuatu yang mungkin diabaikan oleh banyak orang saat membaca sejarahnya. Sebuah pertanyaan simpel: Kok bisa, ada wanita yang lahir tahun 1870-an, punya pemahaman seperti itu? Bukankah di zaman itu konon wanita katanya masih dipingit, hanya bisa memendam perasaan, hanya bisa diam di kamar? Hanya bisa menulis surat dan sebagainya?
Kok bisa Nyai Walidah malah aktif dalam pergerakan?
Jawabannya, kemungkinan ada dua. Pertama, karena suaminya adalah Ahmad Dahlan. Seorang ulama besar, yang memahami agama dengan baik. Bayangkan, di zaman itu, dia justru mendukung istrinya untuk terlibat dalam organisasi.
Ahmad Dahlan paham sekali, posisi wanita bukan hanya urusan dapur saja. Lebih dari itu, wanita punya posisi terhormat dalam agama. Sejarah membuktikan, wanita bisa mengambil peran lebih.
Ketika Ahmad Dahlan meninggal tahun 1923, ketika kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Nyai Ahmad Dahlan yang memimpin kongres itu. Saat dunia separo lebih masih ’gelap-gulita’ soal emansipasi wanita, Nyai Ahmad Dahlan telah memberi contoh.
Kedua, kemungkinannya karena Nyai Ahmad Dahlan sendiri yang memahami, bahwa wanita bisa mengambil peran lebih dalam kehidupan. Dia mempelajari agamanya dengan baik, lantas tiba di sebuah pemahaman: agama Islam adalah agama yang me-merdeka-kan.
Warisan Nyai Walidah
Apakah jilbab itu mengekang? Tidak. Itu simbol yang membebaskan. Dengan jilbab, wanita bisa berinteraksi lebih baik dengan sekitarnya tanpa batasan. Pun sama dengan laki-laki, karena memakai pakaianlah, laki-laki bisa berinteraksi, coba telanjang. Malah nggak bisa kemana-mana. Nyai Ahmad Dahlan memahami, jika Islam memuliakan wanita dalam artian sebenarnya.
Apakah pemahaman ini sesederhana yang dilihat. Saya tidak tahu. Tapi mana ada pemahaman yang datang gratisan, instan. Itu biasanya harus melewati fase-fase penting. Jelas Nyai Walidah telah melewati fase kehidupan yang panjang.
Jika Nyai Ahmad Dahlan masih hidup, mungkin kita bisa mendengarkan penjelasannya. Kita bisa bertanya banyak. Karena dalam hidupnya, toh, Nyai Ahmad Dahlan dipoligami. Ahmad Dahlan memiliki istri-istri lain.
Tentu akan sangat menarik, menyimak pendapatnya tentang posisi wanita dalam agama Islam. Boleh jadi jawabannya akan membuat aktivis pergerakan wanita modern terdiam. Dia jelas sama hebatnya dengan daftar wanita berpengaruh hari ini. Bahkan mungkin lebih hebat lagi.
Tapi baiklah, kita tidak harus berpanjang-lebar membahas itu lagi. Toh, sebenarnya lebih menarik menyimak warisan dari seorang Nyai Walidah. Tahun 1919, dua tahun Aisyiyah berdiri, lahirlah taman kanak-kanak yang kelak diberi nama TK Aisyiyah Bustanul Athfal.
Hari ini, seratus tahun lebih berlalu, kalian tahu berapa jumlah cabang TK ini di seluruh Indonesia? 20.000 lebih. Seriusan, saya termangu membaca data ini. Ini tidak salah tulis? Oh God, punya 10 TK saja sudah banyak. Organisasi Aisyiyah punya 20.000 lebih TK. Crazy. Belum lagi sekolah-sekolah hingga universitas.
Lihatlah warisan dari seorang Nyai Ahmad Dahlan. Dia adalah contoh aktivis gerakan wanita yang konkret. ’Demi’ 20.000 TK itu, semestinya, 3 Januari, tanggal kelahiran Nyai Walidah, kalaupun bukan dijadikan hari Emansipasi Wanita, pun juga bukan hari Pendidikan Nasional, bisakah kita sepakati dijadikan hari Taman Kanak-kanak Nasional saja?
Agar orang paham, bahwa pendidikan telah dimulai di usia yang sangat dini. Pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat-tempat ibadah.
Nyai Ahmad Dahlan tidak hanya bisa bercita-cita. Dia mengambil jalan konkret. Nyata. (*)
Editor Sugeng Purwanto