PWMU.CO – Agar Tsunami Covid-19 India Tak Terjadi di Indonesia menjadi bahan diskusi dalam Covid-19 Talk on TV, Rabu (28/4/21).
Program diskusi interaktif ini persembahan MCCC Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan didukung tvMu. Temanya, kejadian Tsunami Corona di India dan Usaha Indonesia Mencegah Serupa. Pada diskusi ini, hadir sebaga nara sumber: dr Achmad Yurianto, dr R Ludhang P Rizki M Biotech SpMK dan Arif Jamali Muis MPd.
Wakil Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kolonel CKM (Purn) dr Achmad Yurianto sampaikan pada membeberkan penyebab kejadian di India.
Yuri mengajak belajar dari fenomena 100 tahun silam, yaitu saat pandemi Spanish Flue melanda seluruh dunia. Ketika itu, pada short wave, justru kasusnya meningkat tinggi. Begitu pula dengan angka kematiannya. Pola ini, tegasnya, mengulang lagi di pandemi Covid-19 sekarang.
Oleh karena itu, menurut Yuri, benang merahlah yang seharusnya jadi pedoman merumuskan kebijakan. “Tidak bisa ditawar-tawar, karena ini memang pedoman baku untuk mengatasi masalah kita,” jelas dia.
Benang Merah Tsunami Covid
Selanjutnya, Ketua Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ini menjelaskan beberapa benang merah yang perlu dipahami pada fenomena pandemi Covid-19. Sehingga, lebih mampu memahami fenomena tsunami Covid-19 di India.
Benang merah pertama, menurut Yuri, adalah istilah ‘pandemi’ yang menunjukkan ada masalah di bumi. “Jangan merasa aman dengan Covid, kecuali Anda pindah ke Bulan atau Mars!” candanya memperingatkan hal serius.
Pandemi menjadi musuh bersama penduduk dunia. Artinya, menanganinya harus bersama-sama, tidak bisa segmental di regional atau lokal.
Benang merah kedua, perlu memahami penyakit menular yang faktor pembawanya adalah manusia. Maka, ada tiga langkah pokok mengatasinya: isolasi sumber penularan, turunkan kerentanan semua orang, dan lakukan pencegahan.
Dengan demikian, menurut Yuri, penyebab fenomena tsunami Covid di India salah satunya kurang berhasil dalam mengendalikan sumber penularan. Hal ini ditandai pernyataan mereka seolah sudah bisa mengatasi semuanya, sehingga kasusnya menurun.
Penyebab lainnya, India tidak berhasil mengurangi kerentanan. Hal ini disimpulkan Yuri berdasarkan pernyataan mereka, tidak perlu lagi ada protokol kesehatan dalam beberapa event yang bisa diikuti bersama.
Kegagalan Penanganan
Di samping itu, ada kegagalan penanganan di India. Semua kasus terkonfirmasi positif Covid-19, baik yang tanpa gejala hingga yang berat, mendapat penanganan di rumah sakit. Padahal, seharusnya hanya yang sedang dan berat saja yang ditangani di rumah sakit.
“Sehingga kasus sedang dan kasus berat masuk waiting list (daftar tunggu), bersamaan dengan progress penyakitnya yang menjadi berat,” terang dia.
Akhirnya saat sudah dapat bed (tempat) di rumah sakit, sudah dalam kondisi terminal. Inilah yang menyebabkan angka kematiannya tinggi. Sebab, manajemen penanganannya tidak dilakukan dengan baik.
“Jangan sampai rumah sakit rujukan hanya terisi penuh pasien tanpa gejala,” kata dia.
Dia mengingatkan, bahwa rumah sakit adalah hilir, sedangkan hulunya masyarakat. “Sehebat apapun rumah sakitnya, kalau hulunya tidak ditangani dengan baik, pasti jebol!” terangnya.
Proyeksi Kecil Tsunami Covid di Indonesia
Menurut Yuri, masalah ini tidak hanya terjadi di India. Di Eropa, Iran, beberapa tempat lainnya, dan bahkan di Indonesia juga menunjukkan kesamaan sikap. “Di kita, proyeksi kecil itu sebenarnya ada,” ungkapnya.
Di Indonesia, tampak dari setelah perayaan Paskah kemarin, kasus Covid-19 di Sumatera Utara naik. Selain itu, kasusnya juga naik lagi setelah beberapa libur panjang nasional.
Yuri paham, mengisolasi sumber tidak mudah. “Karena sebagian besar sumber penular adalah orang yang terinfeksi, tapi tidak menunjukkan gejala,” kata Mantan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 itu.
Akibatnya, sumber penular itu merasa sehat, orang di sekitarnya juga melihat dia sehat. “India saya pikir seperti itu, dan ini bisa terjadi di mana saja. Dalam skala kecil, di kita sudah mulai kelihatan” komentarnya.
Yuri menyarankan upaya pengendalian sumber, baik secara nasional maupun regional. “Secara nasional, perlu memperkuat pintu masuk negara dari kemungkinan datangnya faktor pembawa penyakit, yaitu orang yang berasal dari daerah dengan kasus yang tinggi,” terang dia.
Sedangkan dari tingkat regional, maka perlu mengawasi kedatangan saudara-saudara kita dari ‘daerah-daerah merah’. “Itu di depan mata kita, karena terkait tradisi mudik Lebaran,” imbaunya.
Peran Masyarakat Kuncinya
Yuri juga meluruskan, pandemi ini memang bisa dicegah, tapi pencegahan yang dimaksud bukan dengan vaksinasi.
“Vaksinasi hanya mencegah yang terinfeksi untuk jatuh sakit atau sakitnya menjadi lebih berat, tapi tidak mencegah terjadinya infeksi,” tegasnya.
Kemungkinan terjadinya infeksi, lanjutnya, hanya bisa dicegah dengan protokol kesehatan yang baik dan disiplin. “Bukan kalau sudah divaksin, terus virusnya lihat, ‘oh ini sudah vaksin’, terus balik virusnya, tidak!” jelas Yuri.
Yuri mengibaratkan piramid, dimana pondasi dasarnya adalah protokol kesehatan, sehingga peran masyarakat yang dominan. Di atasnya, ada tracing, yang masih menjadi domain di masyarakat.
Pada tracing ini, lanjutnya, jangan sampai orang itu dicari karena dikejar-kejar. Tapi orang itu sendiri yang melaporkan diri karena merasa curiga kontak dengan sumber. “Saya baru berpergian dari daerah merah, saya mungkin perlu….” ujarnya membayangkan sebagai pelapor.
Artinya, tracing tidak bisa hanya mengandalkan petugas kesehatan saja, sehingga perlu kesadaran penuh masyarakat.
Isolasi Jadi Kunci
Sejalan dengan dr Yuri, dr Ludhang juga sepakat mengisolasi sumber menjadi kunci. Yang juga penting menurutnya, sejauh mana kita mampu mendeteksi sumber penularan.
Artinya, tracing and testing atau pemeriksaan deteksi penegakan Covid-19—termasuk pemeriksaan molekuler PCR-Test—juga menjadi kunci. Sebab, bagaimana menentukan positif-negatif Covid-19 itu penting.
“Skiring maupun penegakan diagnostik harus tinggi, tidak boleh dilonggarkan,” imbaunya.
Peran masyarakat juga mestinya penting pada proses treatment (penanganan) untuk kasus konfirmasi positif tanpa gejala, sehingga tidak semua kasus ditangani di Rumah Sakit.
“Seharusnya bisa dilaksanakan mandiri oleh masyarakat, bukan oleh orang-per-orang ya, tapi center (pusat) yang dibuat masyarakat, (jadi) tidak menggunakan fasilitas kesehatan,” jelas dia.
Sebagaimana di Wuhan, kasus demikian ditangani di GOR, gedung pertemuan, dan lainnya. Meskipun tetap diawasi petugas kesehatan.
Yuri menekankan, manajemen daerah tidak kalah penting dari manajemen pusat. “Manajemen pusat untuk mengatur regulasi besar saja, implementasi daerah inilah yang jadi kekhasan daerah masing-masing,” ujarnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni