Nilai Puasa Kita: Excellent, Very Good, Good, atau …? ditulis oleh Ustadz Abdul Haq Furqoni, Anggota Lembaga Kerjasama dan Hubungan Internasional, PCIM Arab Saudi.
PWMU.CO – Bulan Ramadhan adalah fasilitas pendidikan yang Allah berikan pada kita. Melalui Ramadhan Allah menunjukkan jalan ketakwaan. Berupa rangkaian proses yang mengantarkan kepada takwa—satu aspek dasar yang harus tertanam sebagai konsekuensi penghambaan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalam ber-“sekolah”, sudah maklum kita dapati ada yang lulus dengan predikat excellent, atau setingkat di bawahnya very good, atau setingkat lagi good. Mungkin juga ada yang belum berhasil mencapai good.
Kita juga mungkin pernah temukan dalam dinamika kelulusan, seseorang berhasil menyabet sempurna namun pada dirinya kita dapatkan hal kosong, maksudnya antara saat dia lulus dengan saat mulai studi sama saja, tidak ada perubahan.
Jika kita tarik hal tadi dalam proses studi Ramadhan itu, tentu sangat rugi jika tidak kita temukan perkembangan dari proses tersebut. Hal ini tentu bisa kita hindari dengan berupaya serius dan fokus dalam proses belajar yang dijalani.
Selain aspek tadi, ada satu hal lagi yang layak kita perhatikan dan jaga, yaitu apa yang Allah janjikan berupa ganjaran dan kebaikan yang disiapkan bagi mereka yang berhak. Karena Ramadhan selain sebagai fasilitas pendidikan, dia juga adalah sumber dan ladang pahala dan kebaikan bagi kaum muslimin.
Namun sebagaimana ladang pada umumnya, sawah Ramadhan yang sangat potensial ini terancam tidak memberikan manfaat apapun terhadap petaninya, sekalipun susah payah merawat dan menunaikan keharusan tuntas dilaksanakan.
Empat Aspek Penyubur Puasa
Kita tentu menginginkan agar garapan yang kita rawat dapat kita petik segar hasilnya. Untuk itu kita perlu memperhatikan dan tidak menyepelekan beberapa aspek dalam merawat ladang puasa kita.
Pertama, aspek keimanan dan Keikhlasan. Sebagaimaan sabda Nabi Muhammad.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
(رواه البخاري ومسلم)
“Siapa saja yang berpuasa Ramadhan dengan dasar iman, dan berharap pahala dan ridha Allah, maka dosanya yang lalu pasti diampuni.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kita patut menguatkan bahwa kita diwajibkan Allah untuk puasa, kemudian kita tunaikan penuh ikhlas semata-mata berharap ridho, pahala dari Allah subhanahu wata’ala.
Kedua, aspek mujahadah. Perjuangan, kesungguhan, pengorbanan. Semua kesempatan pahala akan berlawanan dengan hawa nafsu, kemalasan, rasa lelah, kebosanan, dan sebagainya. Pengorbanan dan perjuangan memang selalu dituntut dalam mengejar kemuliaan.
Ketiga, menghindari perusak dan pembatal amal shAleh.
Ibarat dagangan laku habis, tiba-tiba uang keuntungan ludes terbakar api. Bedanya adalah datangnya penyesalan, yang satu menangis di dunia, yang lain menangis keras saat amalnya diperlihatkan.
Apa saja yang berpotensi merusak dan menggugurkan amal shaleh kita? Riya, sum’ah, ingin dilihat atau didengar orang, menyebut-nyebut amal-amal shaleh, merasa bangga akan sudah berbuat, takjub dengan amalan yang dilakukan, termasuk juga meremehkan amalan yang dilakukan orang lain.
Keempat aspek istiqamah, konsistensi. Bredasarkan hadits berikut:
قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari No. 6493)
Terus berupaya dan memohon taufik dari Allah Subhanahu WaTa’ala agar bisa terus terhindar dari amalan-amalan penduduk neraka, juga berdoa agar diwafatkan dalam kondisi husnul khatimah, dalam posisi mengerjakan amalan penduduk surga. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni