PWMU.CO – Begini Cara Hadapi Tantangan Islamophobia di Eropa. Dubes RI untuk Hongaria dan Lebanon membagikan strategi menghadapi islamophobia di Eropa sehingga mempermudah langkah internasionalisasikan Islam moderat, Sabtu (1/4/21).
Hal ini mereka sampaikan pada Kajian Ramadhan bertema Penguatan Islam Moderat di Eropa. Kajian ini diselenggarakan atas kolaborasi PCIM Hongaria dan Kedutaan Besar RI di Budapest. Hadir juga Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Hongaria Hazim Hamid.
Setelah memaparkan sejarah yang memunculkan tantangan Islamophobia, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Lebanon Hajriyanto Yasin Thohari optimis terhadap internasionalisasi Islam moderat.
Sekarang, berdasarkan pengamatannya, pergeseran akibat perkembangan demografi di Eropa, ditambah arus pengungsian yang luar biasa beberapa tahun lalu—bahkan hingga sekarang—juga berdasarkan beberapa survei, menunjukkan kemajuan Islam di Eropa sangat cepat.
Hajri kemudian menyajikan hasil lembaga survei terpercaya, “Kalau proses ini berkembang dan tidak ada peristiwa besar dan istimewa, seperti bencana, pada tahun 2050 sudah terjadi cross jumlah antara umat Islam dan Kristiani.”
Bahkan, lanjutnya, hasil survei itu memprediksi pada tahun 2070 nanti, Islam lebih banyak dan peta demografi Islam di Eropa juga berubah.
Sesuaikan Cara Berpakaian
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Republik Hongaria HE AH Dimas Wahab mengingatkan cara berpakaian untuk menghadapi tantangan itu. “Usahakan hijab itu colorful atau berwarna cerah,” sarannya.
Sehingga, lanjutnya, orang yang kita temui bisa menerima dengan senang. “Jadi jangan kita buat (gaya pakaian sebagai) pemisah diri,” ucap Dimas Wahab.
Saat berada di negeri orang, tambahnya, maka perlu mempelajari juga bagaimana Islam berkembang di sana. Islam pasti mampu berkembang karena menyatu dengan budaya setempat.
“Kalau bisa, teman-teman berpenampilan yang rapi seperti yang dicontohkan pendiri bangsa dulu,” tuturnya.
Kemudian Dimas Wahab mengajak melihat bagaimana Bung Karno dan Bung Hatta berpakaian rapi, tampak dari foto-fotonya. Meskipun, dia menyadari gaya berpakaian ini tampak lebih kaku.
Dia menceritakan rekannya Auliya Rahman, Dubes di Prague, juga mengimbau demikian: para stafnya di KBRI Prague dia minta memakai hijab berwarna cerah.
Harapannya, tidak ada pandangan-pandangan terkait Islamophobic yang melekat akibat gaya berhijab hitam khas Islam Arab. Karena menurutnya, sejarah bangsa Arab dan Eropa saling menjajah memang tidak bisa hilang begitu saja.
Hajriyanto juga nenyetujui cara ini. “Sesuatu yang bersifat keseharian itu penting sekali, karena penampilan keseharian menjadi representasi persepsi orang-orang,” katanya.
Aktifkan Dakwah Online Menyejukkan
Dimas Wahab menegaskan, kita tidak patut mereka takuti. “Kalau kita kan pernah dijajah, tapi tidak pernah menjajah,” kata dia.
Sekarang, menurutnya, sudah waktunya NU dan Muhammadiyah muncul di media online. “Tunjukkan ajaran Islam yang sebenarnya seperti apa!” ajaknya.
Kalau tidak, imbuhnya, media-media online akan dikuasai ceramah-ceramah yang menurut dia sangat menjerumuskan dan menghipnotis dengan ajaran yang menyesatkan.
Dia mengakui, Muhammadiyah unggul dalam bidang pendidikan dan mendirikan rumah sakit. Tapi, dia menekankan bahwa sudah saatnya kembali mengaktifkan dakwah yang nenyejukkan dan menunjukkan Islam moderat.
Gerakan Kemanusiaan Islam Moderat
Hajriyanto juga mengatakan, Muhammadiyah aktif dalam gerakan kemanusiaan, seperti filantropisme (kedermawanan kepada orang lain berdasarka rasa cinta kpepada sesama) dan volunteerism.
“Sekarang, lembaga Lazismu jadi lembaga amil zakat terbesar di Indonesia, itu filantropisme!” ungkapnya.
Volunteerism atau kerelawanan, lanjutnya, Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) itu lembaga penanggulangan bencananya Muhammadiyah menjadi lembaga penolong korban bencana terbesar di Indonesia.
“Pemerintah Australia, ‘Tetangga Barat’ kita di selatan, sampai membantu Lazismu melakukan pelatihan-pelatihan untuk menciptakan rumah sakit siaga bencana Muhammadiyah dan MDMC mungkin sampai menghabiskan anggaran hampir 35 milyar rupiah dalam setahun untuk pelatihan itu,” jelas dia.
MDMC itu, tambahnya, yang dikirim BNPB ketika terjadi gempa besar di Nepal yang mayoritasnya bukan Muslim. “Membawa citra luar biasa di Nepal, bahwa ini gerakan organisasi Islam tidak mendiskriminasikan orang,” ungkap Hajri.
Di Barat, lanjutnya, MDMC sangat mengesankan, karena mempelopori Humanitarian Forum International yang berpusat di London. “Tokoh Muhammadiyah menjadi salah satu dewan eksekutif karena pendirinya,” ujarnya.
Kalau di Indonesia namanya Humanitarian Forum (HF) Indonesia, himpunan organisasi penolong bencana yang berlatar belakang semua agama.
“Ada 17 organisasi yang bergabung di sana, termasuk MDMC punya Muhammadiyah,” ujar mantan Dewan Pembina HF 2 periode itu, termasuk saat dia menjabat Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi kebencanaan.
Beritakan dan Aktifkan Gerakan Kemanusiaan
Filantropisme dan volunteerisme seperti ini, menurut Hajri, jika diberitakan di Eropa, akan sangat mempengaruhi opini mereka terhadap Islam. Karena biasanya orang yang bergerak di bidang kemanusiaan pasti toleran dan terbuka, tidak mungkin fanatik.
“Gak mungkin dokter itu menanyakan kepada pasien ‘agamamu apa?’, penolong bencana alam gak mungkin bertanya ‘kampung itu muslim atau tidak?’,” terangnya.
Hajri juga menyatakan, sangat menarik jika PCIM mengkaji dan mengembangkan Humanitarian Forum International sebagai salah satu gerakannya. “Karena PCIM itu Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah, jangan meniru kegiatan cabang di Indonesia, harus inovatif!” tegasnya.
Harus dicari kegiatan yang sesuai dengan konteks Eropa, imbau Hajri. “Nanti akan memberikan sumbangan kontribusi yang besar dalam mengurangi Islamophobia itu,” tutur dia.
Hajri lantas memotivasi, dari pada kita meratapi terus Islamophobia di Eropa, lebih baik kita melakukan sesuatu. “Lebih baik menyalakan sebatang lilin kecil daripada meratapi kegelapan, meskipun itu kecil akan memberikan sumbangan yang besar,” ungkapnya.
Dakwah Keteladanan
Pada sesi tanya jawab, menanggapi pernyataan Saru Arifin, salah satu peserta kajian, Hajriyanto merasa beruntung Islam tidak punya kelompok misionari yang menyebar ke seluruh dunia untuk menyebar agama.
“Dakwah Islam itu, seperti yang disampaikan Rasulullah, yang paling penting adalah keteladanan,” ungkap dia.
Lalu Hajri mengutip pepatah Arab, “Lisanul hal afshohu min lisanil maqol“. Maksudnya, mengajak dengan menunjukkan perbuatan nyata lebih tajam daripada mengajak dengan mulut.
Hajri menjelaskan, dengan berperilaku baik—mulia, menunjukkan akhlak Islam yang terbuka, toleran, menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, penampilan rapi dan bersih—itu juga merupakan dakwah.
Rintis Toko Halal di Eropa
Melanjutkan tanggapan kepada Saru Arifin, Hajriyanto menyetujui bagaimana menguatkan Islam lewat kegiatan ekonomi. Menurutnya, hal ini relevan dengan misi Indonesia di seluruh dunia. “Perwakilan Indonesia itu ya diplomasi ekonomi,” ungkap Hajri.
Hajri yakin, toko-toko kebutuhan masyarakat perlu dirintis dengan aspek kehalalan yang lebih terjamin. Ia memastikan, KBRI di seluruh dunia, termasuk di Eropa, pasti sangat mendukung perintisan ‘toko halal’ itu. Sebab, membantu memberi citra positif bagi Islam di mata orang Eropa.
Langkah kecil berdampak besar itu, menurut Hajri juga akan membawa nama baik Indonesia. Karena para PCIM maupun PCINU adalah duta-duta bangsa.
“Kita, sebagai umat Islam, tidak pernah memisahkan secara dikotomis antara ke-Islaman dengan ke-Indonesiaan. Bagi kita, merupakan satu kesatuan yang integral, harmonis, dan terus kita kembangkan di mana pun kita berada,” pesannya. (*)
Begini Cara Hadapi Tantangan Islamophobia di Eropa: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni