Nadjib Hamid Mudik untuk Mengabadi, kolom oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO
PWMU.CO – Di saat Idul Fitri seperti ini, kenangan bersama Nadijb Hamid mencuat kembali. Selain menyapa untuk mengucapkan selamat Idul Fitri, beliau selalu membagikan—atau mengusahakan—bingkisan Lebaran.
Tapi Nadjib Hamid telah pergi. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim itu telah ‘mudik’ terlebih dahulu beberapa hari menjelang Ramadhan 1442, tepatnya 9 April 2021.
Sebelum wafat, Nadjib Hamid telah membeli sekitar 400 kotak kurma. Dan seperti tradisi tahun-tahun sebelumnya, kurma-kurma itu (akan) dibagikan kepada tetangga, keluarga, sahabat, dan orang-orang lain yang dianggap berhak menerimanya.
Hidup untuk Mati, Mati untuk Hidup
Ketika mendengar kabar Nadjib Hamid meninggal dunia, kita berduka-cita. Sedih. Terguncang. Bahkan menyesal. Mengapa?
“Karena kematian selalu diidentikkan dengan tragedi, sakit, ketidakberdayaan, kehilangan, dan kebangkrutan hidup,” tulis Komaruddin Hidayat dalam Psikologi Kematian.
Padahal, meminjam Muhammad Zuhri dalam Mencari Nama Allah yang Keseratus, kematian adalah sisi lain dari kehidupan. Keberadaannya menjadi tak terpisahkan dari wujud kehidupan. Maka bisa dikatakan, setiap manusia sejak kelahirannya telah mendukung kematiannya sendiri.
Lebih jauh, kematian adalah jalan menuju keabadian. Seperti kata Socrates yang dikutip M Quraish Shihab dari Al-Milal wa An-Nihal karya Abu Al Fatih Muhammad Asy Syharastani:
“Ketika aku meneliti rahasia kehidupan kutemukan maut. Dan ketika kutemukan maut, kutemukan sesudahnya kehidupan abadi. Karena itu kita harus prihatin dengan kehidupan dan bergembira dengan kematian karena kita hidup untuk mati dan kita mati untuk hidup.”
Jalan Keabadian
Dalam perspektif sufistik itu, kematian Nadjib Hamid tidak perlu disesali. Sebaliknya, harus disyukuri. Karena dengan kematian itu, dia telah menemukan jalannya: Nadjib Hamid sedang naik tangga keabadian. Itulah yang membuat kita, seperti kata Socrates, harus bergembira atas kematiannya.
Kegembiraan itu semakin bertambah karena dalam perjalanan eskatologi keabadian (menuju surga, insyaallah), Nadjib Hamid juga telah meninggalkan jejak ‘keabadian’ di dunia.
Lewat karya-karyanya, Nadjib Hamid sejatinya telah mengabadikan dirinya di alam fana ini. Lebih-lebih karena sebagian besar peninggalannya bersifat monumen. Buku-buku Hikmah Press, majalah Matan, atau portal berita PWMU.CO ini yang ikut dia lahirkan, adalah sebagian monumen keabadian itu.
Maka umur Nadjib Hamid yang pendek—wafat di usia 56 tahun—adalah sebuah kuantum atau lompatan besar. Ibarat malam laila al-qadar; satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Nadjib Hamid telah mengefektifkan usianya yang singkat dengan karya-karya besar nan monumental.
Dalam umur yang relatif pendek itu, Nadjib Hamid adalah contoh aplikasi sabda Nabi SAW, khairunnas anfauhum linnasi; sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia. Sepanjang hidupnya, dia selalu menginspirasi orang lain, dengan inovasi dan keteladanan. Dengan kata lain: usia boleh pendek tapi manfaat harus superbesar.
Di tangan Nadjib Hamid pemikiran-pemikiran cemerlang Prof Syafiq A Mughni, sentuhan-sentuhan hati Ustadz Nur Cholis Huda, atau pencerahan fikih almarhum KH Mu’ammal Hamidy bisa dibaca dan diwariskan pada generasi mendatang.
Nadjib Hamid dengan telaten berhasil mengumpulkan, mengedit, mencetak, dan menerbitkan buah pemikiran dan biografi tokoh, serta sejarah Muhammadiyah Jawa Timur dalam bentuk majalah dan buku.
Jejak Digital Abadi
Pengabadian itu semakin kokoh karena Nadjib Hamid berhasil mendorong kelahiran PWMU.CO. Bukan sekadar melahirkan, dia juga ikut mengawal media digital itu dengan rajin mengisi konten dan ‘memasarkannya’ agar dibaca orang banyak alias viral. Nadjib Hamid sadar bahwa kebaikan yang didigitalkan, jejaknya lebih bersifat abadi.
Seperti sering disampaikan oleh koleganya, Rohman Budijanto, jejak digital itu bersifat abadi. Bahwa di dunia maya, sesungguhnya sudah berlaku ‘hukum’ khalidina fiha abadan, kekal di dalamnya, selamanya. Dan Nadjib Hamid ingin pemikiran dan kabar Islam berkemajuan, sebagai sebuah kebaikan, jejaknya harus mengabadi di internet.
Ketika orang membaca buku-buku Hikmah Press, majalah Matan, PWMU.CO, atau tulisan Nadjib Hamid sendiri yang bertebaran di berbagai media, sesungguhnya mereka sedang berhadapan atau berdialog dengannya.
Maka, di tegah perjalanan menuju keabadian di akhirat, sesungguhnya Nadjib Hamid masih hidup melalui karya-karyanya.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (al-Baqarah 154)
Selamat mengabadi, Pak Nadjib! (*)