
PWMU.CO – 13 Pertanyaan Basi-basi yang Bikin Baper Situasi Silaturahmi. Dirangkum dari hasil wawancara daring kepada 19 pria dan wanita berusia 12-55 tahun, Sabtu (15/5/2021). Semua nama responden disamarkan demi menjaga privacy.
Wawancara ini merespon artikel opini berjudul Basa-basi Silaturahmi Idul Fitri, Baperin Hati? Berikut 13 pertanyaan basa-basi yang bikin baper situasi silaturahmi:
Kenangan Bareng Almarhumah
Nurlela—nama samaran—sambil menangis mengungkapkan: beberapa hari ini baper (bawa perasaan) kalau kerabatnya membahas tentang almarhumah mamanya. Dia jadi ikut sedih dan mengingat kembali kenangan indah bersamanya.
“Apalagi aku itu deket banget sama almarhumah. Intinya menganggap beliau itu panutanku, jadi pas beliau meninggal aku merasa bahwa gak ada yang spesial lagi di dunia,” ujar Nulela.
Ia membenarkan bahwa secuil memori yang diungkit saat silaturahmi itu mampu mengungkap sederet kenangannya bersama almarhumah. Tangis duka itu pun hadir di tengah silaturahmi lebaran.
Body Shaming
Banyak pihak hobi mengomentari penampilan fisik untuk bahan basa-basi. Barangkali paling jadi favorit karena sasarannya tampak jelas: perubahan fisik anak seiring perubahan gaya hidupnya.
Seorang ibu—-sebut saja Rahmawati—sukses baper mendengar komentar basa-basi beberapa kerabat untuk anaknya, “Kok X sekarang kurusan ya?”
Rahmawati lantas menjawab, “Puasa, kadang tidak sempat berbuka.”
Mereka yang ringan berkomentar, tidak tahu anaknya selama Ramadhan berjuang menjadi pahlawan medis. Tetap berjaga di IGD. Kadang tidak sempat berbuka tepat waktu, karena usai bertugas pukul 22.00 WIB.
Saat waktu Maghrib tiba, cuma minum, makan ringan, dan shalat. Bagaimana menyempatkan berbuka layak, berdiri saja kepanasan dengan baju lapis dua, bahkan lapis tiga dengan hazmat jika sedang merujuk pasien Covid-19.
Rahmawati tetap bangga meski anaknya jadi lebih kurus, sebab paham berpuasanya lebih panjang. Dia mengungkap, anaknya tidak pernah mengeluh karena teguh dengan sumpah dokternya.
Ada juga Indah—sebut saja begitu—sosok yang mendapat candaan, “Tambah gendut rek, nggak puasa ya?”
Selain itu, Irsyadi—panggil saja gitu—seorang bapak yang mendapati anaknya baper ketika ada yang berkomentar, “Ih, sekarang jerawatan, agak gemuk!”
Membanding-bandingkan
“Yang bikin bete dan males itu dibanding-bandingkan sama anaknya, sepupuku sendiri,” kata Bunga, sebut saja begitu.
Sebenarnya bukan perkara baru di keluarga besar ibunya, tapi mendengar dirinya dibanding-bandingkan, rasanya tetap mendapat perlakuan tidak bijak.
“Boleh membanggakan anaknya, tapi jangan sampai merendahkan pekerjaan orang lain. Semua pekerjaan selama itu halal, sama di mata Allah SWT kan?” ungkapnya.
Sehat Pascapositif Covid-19
Sambil memberi jarak, mundur beberapa langkah, seseorang bertanya pada Selly–nama samaran—begini: “Oh sudah sehat? Kemarin habis positif ya?”
‘Kemarin’ katanya, padahal sudah berbulan-bulan lalu mendapat status negatif dari Covid-19. Alhamdulillah, Selly memaklumi. Di masa pandemi ini, status negatif sangat berarti, agar kembali mendapat penerimaan seutuhnya.
Gagal Move On
Kadang keluarga mampu menjaga ucapannya, tapi hati merasa baper saat silaturahmi sekaligus reuni dengan teman sekolah. “Paling bikin kesel, pertanyaan dari teman-teman sekolah dulu, ‘Sudah move on ta?’,” ungkap Dinda, nama samaran.
Kekesalannya memuncak mengingat dirinya dan sang mantan pacar pernah meraih nominasi pasangan termanis di mata teman-teman sekolah. “Eh, ternyata putus. Dia sudah dapat pacar baru, aku masih jomblo,” ujarnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Tertawa, lalu menangisi status yang menurutnya tidak keren lagi. Silaturahim saat reuni pun membuka bekas luka di hati yang masih menganga.
Kapan Menikah
Pertanyaan basa-basi khas tetangga Juga bisa muncul dalam dua kata, “Kapan nikah?”
Melihat tetangga lain yang sebaya sudah menikah, maka otomatis pertanyaan itu membombardir tetangga lain yang memutuskan belum menikah. Seakan usia jadi satu-satunya patokan siap menikah. Meskipun perlu disegerakan, tapi tentu ada cara memotivasi yang lebih tepat.
Seorang sahabat—sebut saja Novindra—bercerita, betapa prihatin dan kasihan sepupunya yang langsung menunjukkan ekspresi penuh beban ketika ada keluarga yang berkomentar, “Ini sepupumu sudah punya anak tiga, kamu nikah aja belum!”
Sepupunya lantas bersusah payah tersenyum, terpaksa meringis.
Kapan Punya Anak Lagi
Kebahagiaan momentum silaturahmi segera luruh saat pertanyaan bak kilat itu menyambar Raihani, nama samarrna. “Gak punya anak lagi ta? Kok gak hamil-hamil?”
Dalam hati Raihani menangis, meski yang tampak hanya senyuman kecut. Dalam benak ia mengingat perjuangannya memohon sang suami untuk melakukan program hamil. Bagai benang ruwet di benaknya, berputar bagaimana sang suami berjuang setengah mati menafkahi, hingga belum mau ambil risiko menambah momongan lagi.
Ranking Berapa
Remaja juga bisa baper jika saat silaturahmi mendapat pertanyaan menyeramkan, “Di sekolah dapat ranking berapa?”
Itulah pengalaan Melvina—nama samaran juga. Bagaimana ia menjawab pertanyaan itu jika sekolahnya saja sudah lama tak terapkan sistem rangking. Tak hanya itu, selama belajar, dia selalu berjuang belajar agar bisa pahami materi dan itu lebih dari sekadar peringkat di kelas.
Mengapa tak bertanya tentang cara belajar yang dia sukai saja? Atau memuji betapa hebat perjuangannya menuntut ilmu di tengah keterbatasannya?
Pilihan Tidak Kuliah
Komentar terkait jenjang pendidikan ikut jadi bahan basa-basi. Seperti yang dialami Robiah, sebut saja begitu. “Kenapa gak kuliah?”
Padahal orang tua Robiah sendiri sudah menyetujui pilihannya. Tapi dia bersyukur, Lebaran kali ini ada larangan mudik, jadi tidak bertemu keluarga besar. Sementara ini, dia bernapas lega karena aman dari pertanyaan rutin yang selalu bikin baper itu.
Belum Lulus Kuliah
Ratna Retno, nama samaran bercerita, “Aku disindiri terus nggak selesai selesai (kuliah). Padahal aku on time (tepat batas waktu). Teman satu angkatanku juga belum ada yang selesai, padahal rata-rata mereka nggak kerja dan belum menikah!”
Orang yang melontarkan sindiran kapan selesai kuliah itu tentu tidak begitu paham betapa pontang-panting Ratne Retno perjuangan dalam menimba ilmu ketika harus mengurus keluarga juga.
Mereka tidak tahu, bagaimana sosoknya terlihat tetap kuat meski harus dibantu doping obat pereda nyeri pinggang. Bagaimana usai pulang kuliah jam 11 malam masih harus langsung buka laptop lagi untuk mengerjakan tugas. Bagaimana tidur sejam dalam sehari adalah rizki yang dinanti-nanti. Bagaimana tak kenal libur meski hari sabtu dan minggu. Dan banyak pontang-panting lainnya.
Pekerjaan Tak Layak
Fazada, sabut saja demikian, awalnya merasa dibikin baper keluarganya dengan tembakan pertanyaan, “Kerja di mana sekarang?”
Bukan masalah jika Fazada sedang ‘berada di atas’, melainkan jadi perkara sensitif kala dia sedang berjuang setiap waktu untuk menpertahankan roda ekonomi yang kian terpuruk. Maklum, pandemi juga menggerogoti bidang ekonomi.
Tapi dia bersyukur, keluarganya memang peduli. Dari pertanyaan menusuk hati itu mengalir nasihat tentang roda perjalanan hidup.
“Orang kadang di bawah, kadang di atas , hidup tidak senang-senang saja, tapi banyak susahnya yang harus distabilkan dengan usaha dan doa,” ujar Fazada mengingat nasihat dan motivasi itu.
Baper Fazada luntur bersama air mata dan anggukan kepala selama motivasi itu lancar terucap.
Sementara itu Nur Amidah—juga nama samaran— mendapat pertanyaan serupa, “Kenapa gak coba melamar di perusahaan yang lebih bonafide?”
Padahal jelas dia sedang bahagia bekerja di tempatnya sekarang.
Jarang di Rumah
Beberapa orang mengungkap pertanyaan menggelitik dari tetangganya, “Kok tumben di rumah?” atau “Loh ya Allah akhirnya bertemu, kalau hari biasa sibuk kerja ya (padahal tidak sama sekali)!”
Mereka yang termasuk barisan pekerja totalitas tak kenal waktu ini hanya mampu menyuguhkan senyum terbaiknya dan beranjak pergi. Ada pula yang mengiyakan, lalu buru-buru mengalihkan ke topik lain.
Para tetangga yang berkomentar itu mungkin takjub, jarang-jarang melihat mereka di rumah untuk meluangkan waktu santai bersama keluarganya. Kalaupun sedang pulang, dia memilih istirahat di dalam rumah, tidak main di sekitar rumah. Baginya, waktu istirahat dan bercengkrama dengan keluarga adalah rezeki yang amat langka.
Ada juga yang menduga tetangganya lupa, kalau sekarang sedang Lebaran. Tak mungkin dia lupa keluarga dan lebih memilih bekerja. ‘Pulang, selagi bisa’ berbeda dengan ‘enggan pulang’.
Keberhasilan Anak Rantau
Seorang perantau—sebut saja Imaniyah—bersyukur dan berbahagia bisa tiba di kampung halamannya dengan selamat. Tapi sesampainya di rumah, komentar tak beretika terdengar, “Pulang merantau kok gak bawa duit banyak, gak ngasih persen ke ponakan-ponakan lagi.”
Tentu bukan sambutan itu yang dia harap, mengingat hasil bekerjanya di tanah perantauan juga masih sangat terbatas.
Semoga bisa jadi bahan instrospeksi diri, ternyata tak semua basa-basi kita menyenangkan orang, bahkan berpotensi menyakikan! (*)
13 Pertanyaan Basi-basi yang Bikin Baper saat Silaturahmi: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
Discussion about this post