Kisah Rumah Pintar Matahari Merayu Anak Jalanan untuk ‘Bersekolah’. Tiga bulan mereka membujuk anak dan orangtuanya agar masu belajar.
PWMU.CO – Mengenakan pakaian serba hitam, Luki Darmawan tiba di Jalan KH Mas Mansyur, Pabean Cantian, Surabaya pukul 19.10 WIB, Sabtu (29/05/2021). Kepala Rumah Pintar Matahari (RPM) tersebut datang bersama empat relawannya. Belasan anak berusia 3-10 tahun menyambutnya dengan gembira.
Spontan, mereka lantas mencium tangan Luki dan empat relawan RPM. Mereka terlihat bersamangat untuk belajar. Menggelar bekas spanduk dan memanfaatkan halaman ruko, aktivitas belajar-mengajar dimulai. Kali ini materi yang diberikan adalah ilmu agama.
Para peserta didik yang datang satu per satu diminta bergiliran membaca al-Quran surat-surat pendek. Setelah itu, mereka disuruh menghafal dan membacakannya di depan para pengajar.
Yang bisa menghafal diberi hadiah berupa snack dan susu. ”Hayo siapa yang hafal surah al-Ikhlas, an-Nas, dan al-Falaq? Yang hafal dan berani maju kakak beri hadiah,” kata Luki.
Tantangan tersebut langsung direspons anak-anak. Muhammad Habibi misalnya. Walaupun belum sepenuhnya hafal, bocah berusia delapan tahun itu memberanikan diri untuk maju. Meski terbata-bata, dengan dibantu para relawan, siswa kelas I sekolah dasar tersebut berhasil menuntaskan membaca tiga surah sekaligus: al-Ikhlas, an-Nas, dan al-Falaq.
Berkat keberaniannya, sekotak susu dan snack didapatnya. Sikap Habibi menjadi contoh bagi teman sebaya lainya. Mereka pun berebut untuk maju. Meskipun belum sepenuhnya hafal. ”Maju saja, Mas. Biar dapat susu sama wafer,” kata Habibi polos.
Setelah satu jam, kegiatan tersebut berakhir. Didampingi orangtua, satu per satu bocah itu pulang ke rumah masing-masing. Luki meminta Sabtu dan Ahad depan, mereka wajib untuk kembali mengikuti les. ”Pekan depan datang lagi ya. Jangan bolos,” pesan Luki.
Sejarah Rumah Pintar Matahari
Luki Darmawan menjelaskan, RPM—yang beralamat di Jalan Krembangan Jaya Selatan I No 39, Kemayoran, Kecamatan Krembangan, Surabaya—itu terbentuk sejak 2013. Bermula ketika Luki bertemu anak jalanan (anjal) di Jembatan Merah, Jalan Kembang Jepun, Surabaya. Mereka yang masih berusia tujuh hingga sembilan tahun itu sedang bermain sehabis mengamen. Luki lantas menghampiri mereka. Dia menanyakan apakah mereka sekolah atau tidak.
Dengan polosnya mereka menjawab tidak bersekolah. Alasannya tidak mempunyai uang. ”Saya pun lantas menawari mereka sekolah. Dan jawabannya, semua mau (sekolah),” cerita Luki pada PWMU.CO, Sabtu (29/5/2021).
Meski begitu, tidak semua orangtua mereka setuju. Bahkan, banyak yang keberatan jika anaknya sekolah. Padahal, semua biaya sekolah ditanggungnya. Mulai SPP, seragam, uang saku, hingga seluruh peralatan sekolah.
Para orangtua tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya anak-anak mereka. ”Kami biayai sampai lulus. Bahkan, kami tanggung biayanya sampai lulus perguruan tinggi,” ucap dia.
Sayang, tawaran tersebut tak meluluhkan hari para orangtua. Mereka tetap keberatan kalau anaknya sekolah. Alasannya, jika sekolah, anak-anak tidak bisa lagi membantu mereka untuk mencari uang. Misalnya, mengamen atau mengemis.
Luki menceritakan, pertimbangan orangtua, bila mengamen dan mengemis dilakukan sang anak, penghasilan yang didapat jauh lebih banyak. “Sehari mereka bisa mengantongi ratusan ribu rupiah. Sangat cukup untuk biaya kehidupan sehari-hari,” tuturnya.
Proses Alot Menyekolahkan Anjal
Namun, Luki tidak menyerah. Bersama relawan lainnya, Luki terus membujuk orangtua agar mengizinkan anaknya sekolah. Berbagai pemahaman diberikan. Misalnya, masa depan anak. Apakah mereka mau anaknya seumur hidup menjadi pengamen atau pengemis—hidup di jalanan seperti yang dialami para orangtua? Apakah mereka tega nasib serupa dialami oleh sang anak?
Luki menjelaskan, masa depan anak harus jauh lebih baik dari orangtua, bagaimanapun kondisinya. Sebab, kalau bukan anak, siapa lagi yang merawat mereka di hari tua nanti.
”Kalau sang anak terus mengamen, bagaimana bisa merawat mereka? Apalagi anak mereka nanti pastinya menikah dan memiliki keluarga. Penghasilan yang pas-pasan atau kurang dirasa tidak bisa merawat mereka,” ujarnya sambil memberikan snack dan susu kepada para peserta didik.
Setelah memakan waktu cukup lama, hingga tiga bulan, hati para orangtua akhirnya luluh. Satu per satu mulai mengizinkan anaknya bersekolah. Tahun ini ada 23 anak yang sekolah di RPM. (*)
Penulis Yuda Panuluh Editor Mohammad Nurfatoni