PWMU.CO – Tantangan pendidikan yang abadi ternyata adalah akhlak, moral, atau etika. Dan pesantren atau sekolah Muhammadiyah terbukti mampu menjawab tentangan itu. Dalam proses pendidikannya, lembaga itu mampu menumbuhkan 3H, Head, Heart, dan Hand.
Berikut adalah tulisan opini Pengasuh PP Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan yang membahas soal itu. Selamat menikmati. Redaksi.
***
Tantangan Pendidikan: Dulu dan Kini
Oleh KH Muhammad Dawam Saleh
Pendidikan berasal dari tarbiyah atau dalam bahasa Inggis education. Tarbiyah berasal dari bahasa Arab, dari dari raba, yarbu yang artinya tambah atau tumbuh. Jadi, tarbiyah berarti menjadikan sesuatu tambah atau tumbuh.
Wilayah yang diharapkan tambah atau tumbuh adalah 3H, yaitu head, heart, hand. Head adalah kepala. Maksudnya, akal pikiran dan ilmu pengetahuan. Heart itu hati yang mengandung arti akhlak, moral, adab, etika. Sementara hand bermakna tangan alias keterampilan kerja yang melibatkan anggota tubuh.
(Baca: Puisi Seorang Kyai untuk Presiden: Keliru Melulu, Maafkan Aku)
Sasaran pendidikan, yang utama, adalah generasi muda. Melalui sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, kampus-kampus. Adapun generasi tua biasanya melalui pengajian-pengajian, taushiah-taushiah, khotbah-khotbah.
Istilah pengajaran (ta’lim, teaching) hanya ada pada wilayah head, pemikiran, dan ilmu pengetahuan.
Tantangan Masa Dulu
Tantangan pendidikan di masa lalu maupun masa sekarang, sebenarnya, tidak jauh berbeda. Yang agak lain mungkin hanya intensitas dan tekanannnya.
Pada masa penjajahan Belanda, umat Islam serba ketinggalan dalam segala bidang. Kecuali mungkin di bidang akhlak dan agama. Umat Islam masa dulu tertinggal di bidang ilmu pengetahuan umum (science and technology). Makanya kalah dalam ekonomi dan persenjataan.
Dalam bidang agama, umat Islam menjalankan pemahaman agama yang dipenuhi takhayul, bidah, dan khurafat; yang tidak sesuai dengan logika ilmu pengetahuan dan hukum alam. Juga bertolak belakang dengan nalar sehat.
Pendidikan Islam di masa dulu, yang direpresentasikan oleh pesantren-pesantren salaf, hanya mempelajari ilmu agama, seperti fiqih dan tarikat, serta kurang menyentuh kajian sains dan teknologi.
Karena itu, KH Ahmad Dahlan memelopori ajaran tauhid yang benar dan bebas dari syirik, takhayul, bidah, dan khurafat. Kiai Dahlan menekankan umat Islam untuk mempelajari ilmu-ilmu umum melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah. Pesan Kiai Dahlan yang terkenal adalah, “Jadilah engkau ulama yang berkemajuan.”
Tantangan Masa Kini
Adapun setelah kemerdekaan Indonesia, hingga era Orde Lama, juga Orde Baru dan Era Reformasi, umat Islam, secara keseluruhan, sudah memasukkan ilmu pengetahuan umum dalam sekolah-sekolah mereka. Demikian juga yang berlaku dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah maupun NU.
Dengan demikian, pemikiran-pemikiran yang dihinggapi takhayul dan taklid buta, semakian terkikis. Tentu tetap ada kecenderungan sekolah-sekolah Muhammadiyah lebih unggul dibading milik Ma’arif NU. Hal itu karena Muhammadiyah yang memang memelopori berdirinya sekolah, sementara NU masih banyak yang berkutat dengan pendidikan pesantren.
Yang jelas, kini umat Islam sama sepakat untuk meningkatkan saintek dalam pendidikan. Tetap mempelajari pendidikan agama sesuai dengan cara dan mazhab, namun juga sambil terus menggairahkan kajian ilmu-ilmu umum dan teknologi.
Tantangan yang abadi, di atas segalanya, adalah pendidikan akhlak, moral, dan etika. Akhlak inilah misi utama diutusnya Rasulullah Muhammad SAW. “Sesungguhnya aku diutus,” kata Nabi, “hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Sabda beliau yang lain, “Segala sesuatu, jika banyak jumlahnya, niscaya akan murah harganya, kecuali akhlak.”
Sastrawan Syauqi Bik berkata, “Eksistensi suatu umat, sesungguhnya, ditakar dengan keluhuran akhlak mereka. Ketika akhlak suatu umat hancur, hancur pula eksistensi umat bersangkutan.”
Dalam rangka membangun keberhasilan pendidikan akhlak, diperlukan tiga lingkungan yang kondusif, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan pergaulan sehari-hari.
Adapun pendidikan akhlak yang lebih ideal adalah di pesantren, dengan kriteria-kriteria yang utama bagi pengembangan ilmu dan akhlah anak didik, sebagai berikut. Pertama, adanya figur pendidik yang benar-benar bisa dijadikan teladan: ikhlas, istiqamah, berilmu, dan berdedikasi.
Kedua, adanya disiplin menjalankan syariat Islam, seperti shalat jamaah lima waktu. Ketiga, adanya disiplin berpakaian, perizinan keluar masuk pesantren, jadwal kegiatan yang tertata rapi dan teratur.
Inilah model pendidikan yang insya Allah dapat menumbuhkan kemampuan head, heart, dan hand. (*)