D-Day, Kemenangan Inggris atas Jerman oleh Dhimam Abror Djuraid, Pembina Hizbul Wathan FC, Liga 2 PSSI.
PWMU.CO– Ingris adalah benteng terakhir Eropa, The Last Bastion of Europe. Menjelang puncak pertempuran Perang Dunia Kedua, 1945, seluruh Eropa sudah jatuh ke tangan Nazi, Jerman.
Prancis jatuh, negara-negara Skandinavia menyerah. Tinggal Inggris saja yang masih bertahan. Jika Inggris jatuh, Jerman akan menjadi penguasa Eropa.
Jerman sedang merajalela di semua front. Di front timur, Uni Soviet sudah menjadi incaran Jerman sejak lama. Pengepungan besar-besaran dilakukan untuk menundukkan Soviet.
Nasib baik melindungi Si Beruang Merah. Karena cuaca musim dingin yang sangat ganas, pasukan Nazi Hiter terpaksa harus ditarik mundur dengan korban puluhan ribu prajurit. Mereka kelaparan dan kedinginan karena tidak punya perbekalan logistik musim dingin yang memadai.
Perdana Menteri Inggris Winston Churchill sangat dibenci oleh Hitler. Tapi diam-diam Hitler juga takut terhadap Churchill, yang punya kemampuan diplomatik hebat untuk membangun koalisi menghadapi Jerman.
Churchill sendiri juga ngeri terhadap Adolf Hitler. Dia sadar, kesalahan strategi kecil saja bisa membawa kehancuran fatal di seluruh Eropa.
Uni Soviet mengusulkan dibukanya ”Teater Barat” untuk memecah konsentrasi Jerman. Teater Barat adalah sebutan untuk front barat dalam Perang Eropa. Amerika Serikat yang punya kekuatan militer besar sudah bergabung dengan koalisi pasukan Sekutu. Saatnya sudah tiba untuk memainkan Teater Barat.
Serangan besar-besaran terhadap Jerman pun dirancang dengan teliti. Kali ini harus serapi mungkin. Tidak boleh ada kesalahan taktik dan strategi sekecil apapun, jika tidak ingin fatal akibatnya.
Jenderal Amerika Serikat Dwight Eisinhower yang menjadi komandan tertinggi pasukan gabungan Sekutu, menyusun strategi serangan pamungkas untuk mengakhiri perang besar ini. Dirancanglah penyerbuan D-Day yang akan tercatat dalam sejarah sebagai hari penyerbuan pamungkas sekaligus hari pembebasan Eropa.
Kejatuhan Hitler
D-Day mengawali kejatuhan rezim Nazi Hitler dan memaksanya melepas semua kekuasaannya di Eropa. Inilah hari paling menentukan dalam sejarah Eropa. Ketika itu jajaran pimpinan Jerman menandatangani kapitulasi 8 Mei 1945.
Adolf Hitler yang terdesak dan putus asa bersembunyi di bungkernya di Berlin. Ia menyadari petualangannya sudah berakhir. Sebelum bunuh diri dengan menembak kepalanya sendiri Hitler masih sempat menikahi kekasihnya, Eva Braun.
Di Jerman episode ini menjadi hari kelam, tetapi dianggap sebagai hari pembebasan. Sebagaimana disampaikan Presiden Jerman Richard von Weizsäcker pada peringatan 40 tahun berakhirnya Perang Dunia Kedua, 1985.
Dia menyebutkan bahwa 8 Mei 1945 adalah ”Hari Pembebasan” juga bagi Jerman, karena akhirnya Jerman bebas dari cengkeraman seorang diktator Adolf Hitler, yang telah memerintah dengan kekejaman luar biasa.
Operasi D-Day ditandai dengan pendaratan di Pantai Normandia, Prancis, dengan nama sandi ”Operasi Overlord”. Operasi ini dimotori oleh militer Amerika Serikat dan Inggris, dibantu pasukan Kanada, Prancis, Polandia, dan Selandia Baru.
Jenderal Eisenhower – yang kemudian menjadi Presiden AS—melakukan penyerbuan masif dengan mengerahkan kekuatan laut dan udara milik Amerika dan Inggris. Bagi Prancis, penyerbuan D-Day juga mempunyai arti sangat penting, karena negara itu akhirnya juga ikut bebas.
De Gaulle Lari
Ketika invasi ke Normandia dirancang, situasi di Prancis sedang kacau. Jenderal Charles de Gaulle, yang menentang kehadiran pasukan Jerman di negaranya, melarikan diri ke London dan membentuk pemerintahan eksil.
Sedangkan di Prancis sendiri terbentuk pemerintahan Republik Vichy yang menandatangani kesepakatan gencatan senjata dengan Nazi. Kebanyakan negara Eropa ketika itu mengakui rezim Vichy.
Pimpinan Inggris Winston Churchill dan President AS Franklin D. Roosevelt sebenarnya skeptis pada de Gaulle, dan tidak merasa perlu memberi tahu soal rencana penyerbuan itu. Mereka juga khawatir rencana itu bisa bocor ke pihak Jerman.
Tapi Winston Churchill akhirnya memutuskan untuk menginformasikan rencana itu kepada de Gaulle hanya beberapa hari sebelum serangan berlangsung. De Gaulle kecewa oleh sikap Inggris dan AS itu.
Pada perayaan 20 tahun D-Day Mei 1964, Charles de Gaulle sebagai Presiden Prancis menolak hadir dan menyatakan hanya akan menghadiri peringatan pada Agustus 1964 untuk pasukan Prancis. Tentara Prancis memang baru terlibat operasi pendaratan di Normandia pada Agustus 1944. Meski demikian, operasi D-Day, yang dalam Bahasa Prancis disebut sebagai ”Jour-J” tetap dikenang sebagai peristiwa pembebasan paling penting.
Di Jerman, peristiwa D-Day tidak banyak dibahas di sekolah-sekolah. Kebanyakan generasi muda Jerman tidak banyak yang tertarik mempelajari D-Day karena dianggap sebagi bagian dari sejarah yang gelap. Jerman lebih sering memperingati Hari Kapitulasi 8 Mei 1945 sebagai hari bebasnya Jerman dari cengkeraman Hitler dan rezim Nazi.
Puluhan tahun setelahnya, peringatan D-Day sekarang biasa dilakukan bersama-sama. Pada peringatan ke-75 Kanselir Jerman Angela Merkel diundang hadir. Berbeda dari biasanya, perayaan tidak dilangsungkan di Prancis, melainkan di kota Portsmouth, Inggris, kota pemberangkatan pasukan Sekutu sehari sebelum pendaratan di Normandia.
Memori D-Day di Euro
Memori D-Day sangat terasa pada pertandingan babak 16 Besar Euro 2020 antara Inggris melawan Jerman, Rabu dinihari (30/6/2021). Suporter Inggris dan Jerman tidak mau secara terbuka membuat referensi terhadap D-Day. Tapi, diam-diam, di lubuk hati yang paling dalam, para suporter Jerman tentu masih merasa dirinya masih lebih unggul dari Inggris.
Inggris tercekam oleh trauma. Setiap kali menghadapi Jerman di major tournament, Inggris selalu merasa minder dan inferior. Seolah-olah bayangan masa lalu tidak mau lepas, dan Inggris lebih sering gagal menghadapi Jerman di Piala Eropa maupun di Piala Dunia.
Kemenangan mulus 2-0 di Stadion Wembley Rabu dinihari layak disebut sebagai kemenangan pertempuran D-Day. Dan 30 Mei layak diperingati sebagai hari bersejarah oleh suporter Inggris, karena pada akhirnya Inggris bisa bebas dari cengkeraman Jerman.
Mendekati perang di Wembley, ketegangan terasa seperti persiapan menghadapi D-Day. Gareth Southgate laksana komandan pasukan Sekutu yang harus menyusun strategi serapi mungkin untuk bisa mengalahkan musuh besarnya.
Kebocoran sedikit saja akan berakibat fatal. Jerman lebih diunggulkan. Seperti biasanya, Inggris selalu menjadi kuda hitam dalam setiap pertemuan melawan Jerman. Kali ini pun demikian, meski Jerman tidak sepenuhnya meyakinkan dalam babak penyisihan grup, tapi Jerman tetaplah Jerman.
Gareth Southgate menghadapi dilema karena penampilan kapten tim Harry Kane yang belum meyakinkan dan masih mandul gol. Ada tekanan untuk membakucadangkan Kane. Tapi Southgate bergeming. Ia tetap yakin bahwa Kane akan menjadi senjata pamungkasnya.
Babak pertama masih stalemate dan buntu, deadlock. Babak kedua tersisa hanya 20 menit ketika Southgate memutuskan mengeluarkan Bukayo Saka dan memasukkan Jack Grealish. Strategi ini membuahkan hasil. Serangan Inggris lebih tajam, dan Raheem Sterling akhirnya membobol gawang Jerman dari tembakan jarak dekat.
Jerman tidak gentar. Semenit kemudian Sterling membuat kesalahan karena kehilangan penguasaan. Bola dikuasai pemain Jeman yang langsung menyodorkan terobosan kepada Thomas Muller, yang melakuan sprint berhadapan dengan kiper Jordan Pickford. Cocoran Muller melebar serambut di sisi kanan gawang Inggris. Raheem Sterling sudah ambruk di lapangan, menyadari kesalahannya akan membawa kiamat.
Dewi Fortuna berpihak ke Inggris. Muller menyadari kesalahannya akan membawa petaka. Benar saja. Beberapa menit kemudian, melalui serangan cepat dari kiri, Grealish menyodorkan umpan tanggung kepada Kane. Sang kapten berlari memotong dan menyongsong dengan sundulan yang menembus jala Manuel Neuer.
Stadion Wembley bergemuruh dan bergetar. Inggris akhirnya lolos ke perempat final. Dan yang paling penting, Inggris akhirnya memperoleh hari pembebasannya di Euro 2020. (*)
Editor Sugeng Purwanto