PWMU.CO – Mengabadikan Amal Meneladani Nabi Ibrahim, Contoh Khutbah Idul Adha oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO.
إِنَّ الْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Jamaah shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah
Idul Adha merupakan rangkaian ibadah haji. Banyak hikmah yang bisa kita petik dari ibadah tersebut.
Berbicara tentang haji, menarik untuk menjawab pertanyaan ini, “Apa di balik haji itu?” Tentu dengan mudah kita bisa menjawabnya, bahwa haji adalah rangkaian tapak tilas (keluarga) Ibrahim alaihissalam dan kemudian disempurnakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.
Bukankah Ka’bah, bangunan sederhana, sebuah bentuk kubus tua yang nyaris tanpa sentuhan arsitektur rumit itu adalah bagian dari karya Ibrahim? Bukankah Sai, lari-lari kecil dari bukan Shafa ke bukit Marwah adalah jejak perjuangan Ibunda Hajar.
Bukankah air Zamzam yang memancarkan sumber kehidupan itu adalah buah perjuangan Hajar? Bukankah melempar jumrah itu adalah cermin ketegasan Ibrahim dalam menjawab keraguan dan godaan? Dan bukankah menyembelih ternak kurban itu adalah bagian dari “pengabadian” peristiwa monumental pengurbanan Ismail alaihissalam?
Kata kunci selanjutnya adalah ternyata jejak perjalanan hidup dan perjuangan (keluarga) Ibrahim alaihissalam itu bersifat “mengabadi”. Berabad tahun, dari dulu sampai kini, dan esok, sejarah itu tetap akan dinapaktilasi oleh miliaran hamba Allah. Orang-orang bermimpi, bercita-cita, dan berhasrat menapaktilasi. Maka jutaan dolar uang terkumpul dan tersalur untuk niat itu, bahkan dengan kerja keras yang tiada pupus.
Dan pertanyaan penting yang perlu kita pecahkan sekarang adalah, mengapa sejarah Ibrahim alaihissalam itu mengabadi?
Manusia Dikenang oleh Amalnya
Jamaah shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah
Pepatah yang sudah kita kenal mengatakan: gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama. Dalam perspektif Islam, manusia mati meninggalkan amal, seperti sabda Nabi shallallahu alaihi wassalam:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Nasa’i: 3591)
Al-Quran memberi motivasi yang kuat bagaimana agar manusia mendedikasikan dirinya untuk beramal. Perintah beriman, seringkali dilanjutkan dengan perintah beramal. Seolah hendak ditegaskan bahwa nilai keimanan itu belum sempurna tanpa diwujudkan dengan amal (shaleh). Bahkan, boleh dikatakan jika amal adalah keniscayaan hidup manusia.
Kita akan memahami mengapa amal adalah bagian dari jati diri manusia itu, terutama karena Allah telah memberi kita empat daya pokok. Pertama, daya fisik yang menghasilkan kegiatan fisik dan ketrampilan. Kedua, daya pikir yang mendorong pemiliknya berpikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan.
Ketiga, daya kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan, dan merasa. Keempat, daya hidup yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan dan menanggulangi kesulitan (M. Quraish Shihab, 2000).
Penggunaan salah satu dari daya-daya tersebut, betapapun sederhananya, akan menghasilkan amal (kerja). Bahkan kita temukan dalam salah satu surat, bagaimana Allah memberi motivasi yang sangat kuat agar kita bersungguh-sungguh dalam beramal, dan tidak memberi sedikitpun peluang untuk menganggur.
Dalam Alam Nasrah 7, Allah berfirman: فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
Faragh berarti “kosong setelah sebelumnya penuh” dan fanshab berarti “berat atau letih”. Arti kalimat ini adalah “Maka apabila engkau telah berada di dalam keluangan (setelah tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai engkau letih, atau tegakkanlah (persoalan baru) sehingga menjadi nyata.”
Amal yang “Mengabadi”
Jamaah shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah
Nabi Ibrahim alaihissalam memberi teladan bagaimana membangun amal yang “mengabadi”. Perjalanan hidupnya seluruhnya adalah bagian dari amal dan perjuangan menegakkan kebenaran.
Ibrahim alaihissalam yang dibakar oleh api permusuhan raja Namrud. Ibrahim yang didera oleh kerisauan panjang tentang potensi keterputusan keturunannya. Ibrahim yang terombang-ambing psikologinya oleh perintah penyembelihan anaknya, Ismail alaihissalam. Tapi Ibrahim selalu lulus dalam setiap ujian dan terpaan hidup.
Mari kita lihat salah satu episode ketika kaum kafir berkata:
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
“Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak. Maka Allah berfirman, ‘Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka kami menjadikan mereka itu orang-orang yang merugi.’” (al-Anbiya’ 68-70).
Apa resep Ibrahim? Tidak lain adalah karena dia menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah, taslim. Maka Allah akan menyelamatkan dan membalasnya dengan kesejahteraan dan “keabadian”. Sebab, inna maal usri yusra, wainna maal usri yurso, sungguh bersama kesulitan adalah kemudahan, dan sungguh bersama kesulitan adalah kemudahan.
Dalam bahasa modern, keikhlasan, ketulusan, dan kepasrahan Ibrahim itu menjadikan maqam spiritualnya melangit. Maka, inilah kata kunci yang diberikan Ibrahim alaihissalam : bahwa untuk menjadikan amal “mengabadi” sertailah dengan nilai-nilai spiritual.
Bismillah, maka Abadilah!
Rasulullah shallallahu alaihi wassalam memberi pengajaran pada kita, dalam setiap mengawali amal, diharuskan mengawalinya dengan bacaan basmallah. Apa maknannya? Secara harfiah, kalimat ini bisa berarti bacalah disertai dengan nama Allah.
Dalam konteks yang lazim menjadi ungkapan Arab—yakni mengaitkan satu pekerjaan dengan nama sesuatu yang mereka muliakan—kalimat itu mengandung makna:
Pertama, agar pekerjaan itu mendapat “berkah”. Kedua, menunjukkan bahwa pekerjaan itu dilakukan semata-mata demi “Dia”. Ketiga, agar pekerjaan itu mendapat “bekas” dari sifat atau keadaan dari nama yang diambil itu.
Dengan nama Allah mengantarkan pelaku amal untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah. Dalam hal ini akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah yang kekal abadi. Dan hanya pekerjaan yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterimanya.
Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan.
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (tanpa keimanan dan keikhlasan) itu, lalu Kami jadikan amal tersebut (bagaikan) debu yang beterbangan. (al-Furqan 23).
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam juga bersabda dalam hadits dari Ibnu Hibban:
كل أمر ذي بال لا يبدأ باسم الله الرحمن الرحيم فهو أبتر
“Setiap perbuatan baik yang tidak dimulai dengan membaca bismillahirrahmanirrahim maka pekerjaan tersebut menjadi abtar (terputus, tidak berkesinambungan atau tidak abadi).”
Maka, berhaji adalah cermin bagaimana kita beramal yang “mengabadi”!
Doa Akhir Khutbah
Jamaah shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah, marilah di akhir khutbah ini kita berdoa kepada Allah:
إِنَّ ٱللهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا. اللهم صل على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات إنك سميع قريب مجيب الدعوات وقضي الحجات
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَآۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَٰفِرِينَ
رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ. لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَٰنَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ. رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ ٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
*) Semoga contoh khutbah Idul Adha di rumah berjudul Mengabadikan Amal Meneladani Nabi Ibrahim ini bermanfaat.