PWMU.CO – Trik Baca Puisi ala Deklamator Nasional Irfan Hakim. Dia menyampaikannya dalam acara First Day School SD Muhammadiyah Manyar (SDMM) Gresik, Senin (12/7/2021).
Kak Irfan, sapaan akrabnya, mengisi materi Teknik Penyampaian Puisi yang Baik di acara bertema “Pelajar Hebat Butuh Proses Kuat” itu.
Trik Membaca Puisi yang Baik
Bagaimana cara membaca puisi yang baik? Menurut Kak Irfan, membaca puisi itu tidak berarti semakin marah atau semakin sedih itu semakin bagus. “Karena memang banyak orang yang menganggap demikian,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, banyak yang berasumsi pembacaan puisi itu dengan nada yang dimarah-marahkan dan disedih-sedihkan. Seperti teriak-teriak, menangis, mendayu-dayu, menggerakkan setiap kata, dan sebagainya
Irfan pun mencontohkan dalam puisi Ibu karya Mustofa Bisri alias Gus Mus yang sering diteriak-teriakkan. “Ibu, kaulah gua teduh, tempatku bertapa bersamamu sekian lama,” ucapnya.
Menurutnya puisi tersebut tidak tepat kalau dibaca dengan teriak-teriak. “Kan puisi untuk ibu. Kalau misalnya kita baca dengan teriak-teriak masak kita berbicara dengan ibu sendiri dengan berteriak-teriak, kan tidak,” ujarnya.
Menurutnya, baca puisi akan lebih baik jika dibacakan dengan nada tenang. Karena yang paling tepat dari baca puisi itu adalah harus tahu dulu isi puisi itu tentang apa.
“Nah setelah tahu isi puisi tentang apa, baru ini akan dibawain seperti apa, dengan teriak-teriak apa cocok, apa dengan menangis-menangis cocok, atau mendayu-dayu. Kalau mendayu-dayu ini akan nanti kecenderungannya setiap puisi akan dibacakan sama,” terang Irfan.
Selain itu, membaca puisi juga tidak bisa harus menggerakkan setiap kata atau puisinya. Irfan mencontohkan puisi Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini karya Taufiq Ismail dan Karawang Bekasi karya Chairil Anwar.
Dia memberi trik, dalam pembacaan kedua puisi tersebut tidak perlu dengan menggerakkan setiap kata. “Kalau aku di dalam baca puisi, gerak itu minimalis, yang lebih banyak adalah kata itu yang memberikan pengertian. Jadi tidak harus setiap kata itu digerakkan,” ungkapnya.
Sebagai juri lomba baca puisi, Irfan Hakim sering menemukan kesalahan-kesalahan tersebut, msalnya ketidaksesuaian antara isi puisi dengan cara pembacaannya. “Nah itu yang nanti juga bisa diperhatikan bapak ibu yang mengajar tentang puisi,” tuturnya.
Irfan menekankan, sebelum membaca puisi, kita harus meliterasi puisi dan menganalisis latar belakang ditulisnya puisi. Selain itu, makna dan isi harus dipahami dengan memperhatikan makna per kata, per baris, per bait, dan satu keseluruhan puisi.
“Dalam menyampaikan pesan puisi, diperlukan adanya jeda dan penekanan kata yang tepat,” ujarnya.
Vokal, Gesture, dan Irama
Menurut Irfan, setelah meliterasi puisi, dilanjutkan latihan ke teknik penyampaiannya. Dia menjelaskan, teknik pembacaan puisi harus memperhatikan vokal, gesture, irama, nada, timbre, dan struktur dramatik.
“Di dalam pembacaan puisi, dibutuhkan vokal yang besar, vokal yang ber-power. Ada perbedaan antara power dan teriak. Vokal meliputi artikulasi dan juga power. Nisalnya dalam puisi Karawang Bekasi, kita tidak perlu teriak-teriak tapi memerlukan vokal yang ber-power dan artikulasi yang jelas,” terang dia.
Selanjutnya dia menerangkan tentang gesture yakni gerak atau arah tubuh. Kak Irfan menyarankan untuk tidak menggerak-menggerakkan anggota badan secara berlebihan.
“Tapi lebih baik meminimalissas gesture, atau menggunakan gesture seperlunya untuk menguatkan isi dari puisi, bahkan terkadang tanpa gesture pun sebenarnya makna puisi sudah dapat tersampaikan,” kata dia.
Dia menambahkan, dalam hal gesture, tidak disarankan untuk banyak gerak, karena dikhawatirkan teks atau isi puisi menjadi kehilangan spotlight atau pusat perhatian.
“Padahal dalam baca puisi, yang paling utama adalah teks. Penyampaian pesan lewat teksnya, gesture-nya itu penguat. Jadi kalau misal teksnya sudah berbicara kuat, gesture-nya tidak diperlukan, hanya beberapa gerak untuk menguatkan,” ujarnya.
Irama atau naik turunnya struktur dramatik juga menjadi perhatian Kak Irfan. “Irama ini dibutuhkan agar puisi tidak monoton. Turun naiknya yang harus diperhatiin. Tidak boleh terlalu njomplang atau timpang,” ujarnya.
Menurutnya, irama yang bagus juga harus disesuaikan dengan puisinya. Misalnya saat membaca puisi Razan karya Helvy Tiana Rosa. “Dengan irama yang tidak terlalu njomplang itu cukup,” ujarnya.
Dia lalu kembali mencontohkan puisi Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” karya Taufik Ismail. “Tidak ada pilihan lain. Kita harus berjalan terus karena berhenti atau mundur (tidak tepat) karena kebutuhan puisinya, iramanya jomplang-jomplang malah lebih dapat,” ungkap dia.
Nada, Timbre, dan Struktur Dramatik
Kemudian, soal nada, Irfan Hakim menjelaskan bukan berarti seperti dalam hal bernyanyi, tapi nada memulai. “Biasanya nada mulai memengaruhi pembacaan puisi ke belakang-belakangnya.
Dalam hal ini, nada sangat berperan penting terhadap emosi dari puisi, misalnya puisi-puisi marah biasanya nadanya tinggi, dan pusi-puisi sedih itu nadanya ke rendah,” urainya.
Selanjutnya, tentang timbre (warna suara) yang berfungsi jika misalnya terdapat jenis-jenis puisi yang memiliki dua karakter. Seperti pada puisi Gugur karya WS Rendra. Ada karakter kakek dan narator.
“Jadi, harus bisa disiasati kapan pembaca menjadi narator, dan kapan pembaca menjadi seorang kakek-kakek. Misalnya, pada saat ‘Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya’ pembaca menjadi narator. Sedangkan pada saat pembaca menjadi kakek, dia akan menjadi ‘yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah (suara kakek)”, kelas dia.
Yang terakhir soal struktut dramatik yang berhubungan erat dengan irama. Struktur dramatik ini biasanya dianalisis setelah literasi puisi selesai.
“Misalnya bait pertama dibawa ke bawah dulu. Bait kedua pelan-pelan naik. Bait ketiga ke bawah dulu. Bait keempat naik, dan seterusnya. Struktur dramatik diperlukan agar pembaca puisi tidak terdengar monoton,” ucapnya.
Di sesi tanya jawab, Irfan memberi saran kepada guru SDMM yang ingin mengajarkan puisi kepada siswa kelas I, II, dan III. Ia menyampaikan, mengajar puisi juga harus memperhatikan tahap perkembangan kognitif.
“Para siswa yang masih berada pada tahap operasional pemikiran yang konkret sebaiknya dikenalkan dengan puisi yang sederhana dan dekat dengan percakapan sehari-hari, tanpa metafora yang rumit dan tanpa gaya ungkap yang bersembunyi-sembunyi,” pesannya. (*)
Penulis Ayu Triria Puspita Devi Editor Mohammad Nurfatoni