Irvan Syaifullah Penganut Neo-Sufisme, ditulis oleh Mohamad Su’ud Ketua Umum PD IPM Lamongan, periode 1996-1998.
PWMU.CO – Mas Irvan—begitu saya memanggil Irvan Syaifullah—sedikit di antara banyak aktivis yang memiliki talenta berbeda. Selain intelektual yang unggul, juga memiliki attitude terpuji di atas rata-rata.
Satu hal lagi yang mungkin banyak orang belum tahu yaitu ada sisi sufistik-religius yang menonjol. Inilah yang ingin saya tulis dan bagi kepada para penggerak umat, khususnya aktivis Muhammadiyah.
Selama dua jam saya “mengacak-acak” media sosial yang dimiliki oleh almarhum yang meninggal dunia Kamis (15/7/21). Di antaranya akun Facebook dengan nama Irvan Syaifullah dan Instagram irvanshaifullah.
Tampak, Mas Irvan sangat konsisten dalam mem-pubhlish dan mem-posting materi atau pesan. Tidak ada postingan tentang politik, budaya, ekonomi, apalagi mengkritik sana-sini. Mas Irvan tepat di jalannya.
Beruntung sekali, walaupun hidupnya sangat singkat, hanya 27 tahun, namun Mas Irvan sudah melakukan pengembaraan batin, membenturkan jiwa dengan berbagai aktivitas keumatan. Sempat menjadi pucuk pimpinan ormas pelajar. Sebuah usia yang penuh berkah. Amal kebajikannya melebihi mereka yang berusia panjang tapi sedikit amalannya. Insyaallah.
Setelah saya mengamati konten medsos yang dimiliki tersebut, maka saya menyimpulkan Mas Irvan adalah seorang “penganut” neo-sufisme, yaitu sebuah perilaku hidup yang dimulai dari kontemplasi (penyadaran), internalisasi nilai, tindakan (pembuktian) dan pengorbanan dan pembelaaan (perjuangan).
Sebuah sufistik bukan seperti yang kita kenal selama ini. Mereka yang berada di atas bukit, menyepi ber-uzlah dari keramaian sosial, mereka asyik berdzikir tapi tidak peduli dengan anomali sosial.
Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan adalah neo-sufisme. Pemikirannya mengglobal, tindakannya membumi. Tidak sekadar teori dan omong doang. Keyakinan berbuah amal. Pemikiran berakhir dengan tindakan.
Ulama kharismatik Muhammadiyah, Buya Hamka, pengarang tafsir fenomenal Al-Azhar dalam buku Tasauf Modern, secara tersirat namun nyata mengukuhkan bahwa neo-sufisme yang dimaksud adalah menghilangkan dikotomi antara dunia dan hari akhirat, dia adalah satu kesatuan yang tidak bisa dilepas.
Muhasabah
Mungkinkah Mas Irvan terilhami oleh sepak terjang Kiai Dahlan? atau terinspirasi karya-karya Buya Hamka? Mungkin saja.
Dari 19 buku yang ditulis Mas Irvan, jika saya kelompokkan ada tiga arus utama. Yaitu muhasabah, sosial, dan spiritual. Sebagian judul-judul ini mewakili apa yang saya maksud: Bahasa Cinta Para Nahkoda, Ketika Mencintai Tak Bisa Memiliki, Ya Allah Aku Ingin Curhat.
Atau Quantum Ramadhan, Kalam yang Menghujam, Nafas Perubahan, Aku Ini Matahari, Catatan Kecil para Pemimpi, Manusia-Manusia Surga, The Spiritual Smile. Sebagian sudah saya baca termasuk resensinya.
Tiga identitas pada diri Mas Irvan (muhasabah, sosial dan spiritual), terlihat jelas di konten dua medsos (Facebook dan Intagram).
Sejumlah 456 postingan di IG, hampir separuh berisi tentang muhasabah, kontemplasi, renungan, penyadaran diri. Kita bisa menghayati, rangkaian kata yang ditulis di IG, pada 3 Juni 2021.
“Aku selalu takut kata-kata yang aku tulis berubah menjadi api. Membakar sekeliling yang kering, ringkih, dan rapuh. Aku selalu takut hujan rindu yang basah menenggelamkanku dalam kapal ketidakmampuan. Apa sebenarnya yang kita cari dalam kehidupan ini? Api atau hujan hujan gerimis di malam hari?. Api yang hidup atau hujan yang teduh?”
Mas Irvan menulis bait-bait ini dalam IG yang dipos, 7 September 2020: “Dan dari semua proses itu, kita tidak sedang menjalaninya dalam sekejap mata, tapi selamanya. Sampai tuhan berkehendak memanggil salah satu atau dua duanya dari kita. Kita hanya merpati yang sedang belajar berproses, bukan berlelah lelah dalam untuk mengejar mimpi yang bisa jadi hanya fana. Bukankah memang Allah menciptakan pernikahan adalah bagian dari surga? Baiklah, kita akan memulainya bersama. Bersamamu, sehidup sesurga”
Inilah bentuk-bentuk refleksi Mas Irvan. Sangat jelas, selain seorang pemikir, Mas Irvan seorang kontemplator.
Sisi Spiritualitas
Beberapa kali perjumpaan dengan Mas Irvan, semakin meneguhkan bahwa dia memiliki spiritual yang mantap. Keaktifannya shalat berjamaah, saya menjumpai dalam tasnya mushaf al-Quran dan kadang dia berpuasa sunnah.
Pada tanggal 16 April 2021, Mas Irvan di akun Facebooknya memposting video Emha Ainun Nadjib, tentang kematian.
Mari juga kita simak “spiritual” Mas Irvan dalam IG yang dipos 12 Juli 2020, “Mungkin hati kita sudah lama membatu, lalu Allah kirimkan ujian agar hati kita lembut kembali. Mudah meminta ampun, mudah bertaubat, mudah berprasangka baik kepada Allah. Ikrar syahadat kita seharusnya juga menjadi saksi bahwa ketika kita berikrar kalau Allah adalah satu satunya Rabb dan Tuhan semesta alam. Maka sejatinya kita juga berikrar bahwa kita tidak akan takut kecuali kepada Allah, kita tidak akan menggantungkan hidup kecuali kepada Allah, kita tidak akan mengadukan persoalan kecuali kepada Allah, kita tidak akan minta tolong kecuali kepada Allah, kita tidak akan minta rezeki kecuali kepada Allah. Kuat dan menghujam ke dalam hati. Tidak terusik sama sekali”.
Nilai spiritual inilah yang mengantarkan Mas Irvan sebagai pengabdi tulus tanpa pamrih.
Jiwa Sosial Tinggi
Neosufisme yang ketiga pada diri Mas Irvan adalah memiliki jiwa sosial yang tinggi. Hal ini bisa kita buktikan melalui akun facebook, hampir seluruh postingan berisi kegiatan Mas Irvan di Lazismu dan kiprah-kiprah sosial lainnya, termasuk di Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Simaklah pesan menggetarkan tentang sebuah perjuangan yang dipost di Facebook (17 Mei 2021). “Tidak semua orang senang terlibat dalam ‘kebahagiaan berbagi’ pengetahuan dan buku kepada sesama. Bahkan organisasi yang secara garis besar mengusung gerakan pena sekalipun. Masih sangat jauh dari kata ‘layak’ menempatkan buku sebagai basis dan fokus gerakannya.
Apa yang diharapkan oleh generasi pendahulu untuk mendukung dan menciptakan iklim pengetahuan yang mumpuni baik melalui ketersediaan fasilitas, keterbukaan informasi, potensi struktural dll jauh berbeda. Panggilan ini memang hanya khusus panggilan hati, tidak bisa diwariskan.
Bahkan untuk sekelas organisasi pelajar besar sekalipun. Kesenangannya sudah jatuh pada rumit-rumit politik. Lupa belajar. Lupa mencari makna hidup. Lupa berjuang. Saya masih kader IPM seperti dulu. Yang mencintai buku dan berharap generasinya juga mencintai hal yang sama.”
Dia juga berpesan kepada para aktivis Muhammadiyah agar tidak lelah dalam berjuang.
“Percayalah, perjuangan hidup yang hari ini kita jalani akan sangat berpengaruh besar bahkan sangat menentukan kehidupan kita nanti. Yang hari ini masih tertatih-tatih meraih sesuatu, semoga cepat tercapai dan cepat sampai. Ingatlah selalu bahwa Allah akan mengubah nasib suatu kaum, kalau kita mau mengubahnya.
Yang saat ini dimudahkan mendapatkan sesuatu, ingatlah dulu kita pernah berjuang sedemikian hebat. Maka jangan pernah lalai untuk berjuang kembali. Sebab kehidupan esok akan lebih panjang dan akan lebih abadi. Terus berusaha, terus berdoa, jangan patah semangat. Allah selalu bersama orang orang yang sabar. (IG, 25 peb. 2020)”
Mas Irvan mengajarkan kepada kita makna hidup yang sesungguhnya, pengabdian. Mas Irvan telah memberi contoh nyata bahwa kelak kita akan meninggalkan karya.
Semoga kita dijaga Allah, terhindar dari “malapetaka”, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Tanda berpalingnya Allah dari hambanya adalah ia disibukkan dengan sesuatu yang tidak bermanfaat, dan sesungguhnya orang yang telah kehilangan waktu dari umurnya untuk selain ibadah, tentu sangat layak baginya kerugian yang panjang. Barang siapa umurnya telah melebihi 40 tahun sementara amal kebaikannya tidak melebihi amal keburukannya maka bersiap-siaplah menuju neraka.”
Naudzubillah
“Ya Allah! Penjangkanlah umur kami, sehatkanlah jasad kami, terangilah hati kami, tetapkanlah iman kami, baikkanlah amalan kami, luaskanlah rezeki kami, dekatkanlah kami pada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan, kabulkanlah segala kebutuhan kami dalam agama, dunia, dan akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Selamat “bertemu” dengan Sang Rabb, Mas Irvan. Tugasmu di dunia sudah selesai, engkau layak mendapatkan identitas Rabbi Rodhiyah. Insyaallah. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni