PWMU.CO – Menegakkan Benang Basah Demokrasi Indonesia. Itu pernyataan Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, Presidium KAMI. Kalimat itu merupakan judul pengantar yang dia tulis dalam buku Rizal Fadillah: Lepaskan Borgol Demokrasi.
Dasar Demokrasi
Dalam peluncuran buku Sabtu (7/8/21) siang itu, Gatot menerangkan dasar-dasar demokrasi. Berasal dari bahasa Yunani, demokrasi bermakna kekuatan rakyat. Kebalikan demokrasi, aristokrasi, yaitu kekuasaan oleh elite.
Bercermin dari praktik di negara modern, demokrasi dijalankan pertama kali oleh presiden pertama Amerika Serikat (AS) Abraham Lincoln. Kemudian, demokrasi diperjuangkan menjadi role model di seluruh dunia.
Lincoln menjalankannya praktiknya dengan sungguh-sungguh: sistem pemerintahan diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Terbukti, kata Gatot, saat ini AS sebagai adidaya yang dianggap berhasil menjalankan praktik demokrasi.
Bagi bangsa Indonesia, sistem pemerintahan demokrasi telah diputuskan para pendiri bangsa. Maka, dia menegaskan harus ditegakkan dan dijalankan sebaik-baiknya. “Komitmen demokrasi dalam menjalankan praktik berbangsa dan bernegara sangat penting,” ujarnya.
Sebab, lanjutnya, ada cita-cita luhur untuk menciptakan rakyat Indonesia yang adil dan makmur. Dia menekankan adil perlu dicapai dulu, baru makmur. “Tanpa keadilan tidak mungkin terwujud kemakmuran,” ungkapnya.
Cermin Demokrasi Indonesia
Gatot berpendapat, tiga aktivis Koalisi Aksi Menyelematakan Indonesia (KAMI) menjadi cermin bagaimana demokrasi dijalankan hari ini. “Mereka adalah pejuang yang menyuarakan kebenaran dan keadilan, atau sekadar mengungkapkan pikiran-pendapat yang dijamin konstitusi, tapi justru ditangkap dan dihadiri dengan tuduhan mengada-ada” terangnya.
Tampak jelas, sambungnya, ada unsur pemaksaan yang cenderung sarat kepentingan politik ketimbang hukum. Ironisnya, mereka dipertontonkan dengan tangan terborgol. Bahkan tidak boleh dibesuk. Seolah diperlakukan sebagai teroris.
Menurutnya ini tidak perlu, karena mereka bukan penjahat kriminal. Mereka sejak lama dikenal sebagai pejuang demokrasi. Jadi menurutnya, ini melanggar hak asasi dan asas tak bersalah.
Sepakat dengan Rizal Fadillah, Gatot menyatakan kasus Habib Rizieq termasuk kasus politik dimana hukum menjadi alat kekuasaan. Dia menilai ketiga tokoh KAMI, Habib Rizieq, dan aktivis maupun ulama lainnya adalah tokoh yang siap menjalani proses hukum dengan sikap kooperatif.
“Proses hukum tidak perlu berlebihan, apalagi praktik negara hukum yang tidak adil itu dipertontonkan secara mencolok dan dramatis, seolah-olah suatu drama saja,” komentarnya.
Pejuang Pemulihan Demokrasi
Dia menyatakan, para aktivis tersebut sebenarnya pejuang kebenaran. Mereka sedang memperjuangkan aspirasi rakyat, mengkritisi penyimpangan kekuasaan, membela kaum lemah, serta menegakkan kedaulatan di negara hukum.
“Mereka pada dasarnya memperjuangkan pemulihan demokrasi,” tegasnya.
Selama ini, dia menilai demokrasi sedang terbelenggu. Demokrasi terkontaminasi kekuasaan yang cenderung otoriter, baik dalam bentuk oligarki maupun otokrasi. “Semua sendi-sendi demokrasi di Indonesia kini seolah sedang mengalami kelumpuhan. Demokrasi kita memang tengah terdegradasi,” jelasnya.
Gatot mengutip pendapat ilmuwan politik Diamond tentang kunci demokrasi. Pertama, sistem politik untuk memilih dan mengganti pemerintahan melalui pemilihan yang bebas dan adil.
Kedua, partisipasi aktif rakyat sebagai warga negara dalam kehidupan politik dan sipil. Ketiga, perlindungan hak asasi semua warga negara dan supremasi hukum di mana, hukum berlaku sama untuk semua warga negara.
Jika merujuk pada pandangan tersebut, lanjutnya, maka mudah diketahui, kini Indonesia memiliki masalah dan mengalami distorsi dalam berdemokrasi. “Jujur saya katakan, secara keseluruhan, kehidupan demokrasi di Indonesia sangat memprihatinkan dan memilukan!” tuturnya.
Pengalaman Panjang Demokrasi Indonesia
Gatot mengajak peserta melihat peringkat Indonesia berdasarkan The Economist Intelligence Unit (The EIU). Indonesia tercatat menduduki nilai terendah 14 tahun terakhir dalam berdemokrasi. “Tentu menjadi pekerjaan rumah kita bersama dalam mewujudkan negara demokrasi,” ujarnya.
Mengingat Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam berdemokrasi, menurutnya patut menjadikannya pelajaran untuk menuntun arah demokrasi Indonesia mendatang. Mulai masa orde lama, orde baru, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Dia menerangkan, pada awal era reformasi sudah ada banyak perubahan. Misal, lahir berbagai kebijakan yang lebih demokratis, termasuk UU Pemilu multipartai. Dalam masa sempit itu, Indonesia berhasil melewati transisi era orde baru ke era reformasi.
Jadi, dia menyimpulkan, inilah awal terbukanya pintu demokrasi di Indonesia. Tapi, dia mencatat, karena kebebasan demokrasi saat itu, wilayah Timor Timur lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Faktor-Faktor Demokrasi
Gatot juga mengajak belajar dari sejarah, bahwa faktor kepemimpinan memberikan corak paling dominan dalam praktik demokrasi di seluruh dunia. Jadi kepemimpinan sangat menentukan bagaimana demokrasi tegak dan menoreh sejarah dengan tinta emas atau sebaliknya, kelam.
Dia meluruskan, kualitas demokrasi bukan ditentukan kekuatan kepemimpinan personal atau aspek sebentar-lamanya kekuasaan itu dalam genggaman tangan penguasa. Tapi, kesadaran dan komitmen terhadap tegasnya nilai-nilai demokrasi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara yang menentukan kualitas demokrasi.
Semangat kebangsaan seluruh komponen kekuatan juga turut menjaga tegaknya nilai-nilai demokrasi berdasarkan Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Sehingga prorakyat, adil, dan makmur. Inilah yang menurutnya Rizal Fadillah perjuangkan. “Dalam lubuk hatinya, hanya ingin negara ini lebih maju dan jauh dari kehancuran,” ungkapnya.
Misi Suci Rizal Fadillah
Dengan semangat itu, Gatot yakin, Rizal tidak menolerir penyimpangan atas elemen demokrasi. Maka dalam buku itu, demokrasi banyak digambarkan sedang terborgol. “Itu harus segera dibebaskan, dilepaskan, dan dimerdekakan!” imbaunya.
Itulah misi suci yang perlu terus diperjuangkan dalam menyelamatkan Indonesia bersama seluruh komponen kekuatan bangsa. Tulisan Rizal dalam buku itu menurutnya kaya analisis. Terutama masalah demokrasi yang berkelindan secara sangat rumit, dengan berbagai masalah bangsa dan negara.
Ibarat menghadapi benang kusut basah, buku ini menawarkan solusi untuk menegakkan yang seolah tidak mungkin dikerjakan. Dengan komitmen kebersamaan, menurutnya patut menyambutnya untuk menegakkan benang basah demokrasi Indonesia.
“Benang basah itu sebenarnya kalau ditarik ke atas akan tegak dan mudah terurai,” ungkapnya.
Siapa yang menarik? “Pemimpin itu bersama seluruh rakyatnya!” jawab dia. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni