PWMU.CO – Di kalangan umat Islam, peringatan maulud (kelahiran) Nabi Muhammad saw, yang biasa dikenal dengan Maulid atau Maulidan, memang terdapat pendapat pro dan kontra. Polemik ini bisa dimaklumi mengingat peringatan maulid Nabi Muhammad saw tidak dilaksanakan pada masa generasi pertama Islam (sahabat), generasi kedua (tabi’in), maupun generasi ketiga (tabi’ut tabi’in).
Ketiadaan peringatan Maulid Nabi di periode awal ini tentu dapat dimaklumi karena memang tidak ada anjuran, apalagi perintah baik dari Allah maupun Rasulullah. Sangatlah wajar jika ia menjadi khilafiah di kalangan umat Islam, ada yang mengatakan tidak boleh (haram) dan sebagian lain menghukumi mubah (boleh).
Ketiadaan contoh pada periode awal dan juga ketidaksamaan sejarah membuat ulama berbeda pendapat tentang hukum maulid Nabi. Ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkannya.
(Baca juga: Sejarah Asal-Muasal Kemunculan Peringatan Maulid Nabi dan Hadits-hadits Seputar Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw)
Pihak yang mengharamkannya berpendapat peringatan ini dinilai sebagai bagian dari ibadah, sementara Nabi sendiri tidak memberi tuntunan. Mereka berpandangan bahwa peringatan maulid adalah termasuk bid’ah yang dilarang agama.
‘Tidak boleh memperingati maulid Nabi, karena peringatan semacam itu adalah bid’ah dalam agama. Nabi dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya. Padahal merekalah yang paling mengetahui masalah agama,” begitu salah satu pendapat penolak maulid Nabi, Syekh Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baz dalam Fatawa Muhimmat li Umum al-Ummah.
Sementara Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, DR Syamsuddin, menyatakan peringatan hari Maulid Nabi merupakan masalah ijtihadiyah-duniawiyah. Sebab, kemunculannya pertama kali baru kira-kira 5 abad setelah wafatnya Nabi saw. Karena itu, untuk menilai boleh tidaknya peringatan Maulid, tentu saja ditentukan oleh kepentingan dan cara pelaksanaannya.
(Baca juga: Rambu-rambu yang Perlu Diperhatikan dalam Maulidan dan Adakah Tuntunan Islam tentang Rebu Wekasan?)
Dua prinsip penilaian inilah yang sesungguhnya menjadi koridor umat Islam dalam merayakan hari peringatan Maulid Nabi Muhammad. Karena itu, upacara maulid Nabi bisa masuk pada kategori mubah (boleh), tapi juga bisa masuk kategori dilarang (haram). “Tergantung oleh kepentingan dan tata cara pelaksanaannya,” jelas dosen UIN Sunan Ampel Surabaya ini.
Kalau peringatan Maulid ini dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan pelaksanaannya menggunakan ritual tertentu, membaca kitab tertentu di mana isinya adalah kultus dan pemujaan kepada Nabi saw, bahkan berdiri pada bacaan tertentu karena yakin ruh Nabi menghampiri mereka, maka yang demikian ini adalah bid’ah. “Sebab, ritual yang sakral ini memang tidak ada contoh dari Nabi saw,” kata Syamsuddin.
(Baca juga: Adakah Tuntunan Puasa Tarwiyah sebelum Idul Adha, 8 Dzulhijjah? dan Bagaimana Tuntunan Puasa Sya’ban?)
Lantas bagaimana jika ada yang menyatakan bid’ah hasanah? Istilah ini biasanya merujuk pada hadits Nabi yang berbunyi “Man sanna fi Islami sunnatan hasanataan, dan seterusnya (Siapa yang memulai membuat contoh kebaikan dalam Islam….). Dalam hadits itu disebut sunnatan hasanataan (sunnah yang baik), yang kemudian direka-reka bermakna sama dengan bid’ah hasanah.
Dan, kemungkinan pula istilah bid’ah hasanah juga diambil dari perkataan Umar bin Khattab yang tercatat dalam hadits Shahih Bukhari nomor 2.010. Kata Umar, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Namun, yang patut diketahui perkataan Umar bin Khattab tersebut bukan bid’ah dalam makna syar’i, tetapi bid’ah secara bahasa (lughawi). “Karena itu, dalam istilah syariat tidak ada yang namanya bid’ah hasanah.”
(Baca juga: Masih Bingung Ibadah Nishfu Sya’ban? Inilah Penjelasan Lengkapnya dan Hadits-Hadits Palsu Seputar Nishfu Sya’ban)
Karena itu, jelas Syamsuddin, jika peringatan Maulid dianggap tidak sakral dan tanpa dibarengi dengan berbagai ritual tertentu, maka yang demikian ini mubah atau boleh boleh saja. “Yang penting dalam penyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw tersebut memperhatikan dua hal, yaitu tidak melakukan perbuatan bid’ah dan atas dasar kemaslahatan.” Selanjutnya halaman … 02