PWMU.CO – Tugas Jurnalis Bukan Bikin Konflik makin Membara. Redaktur Pelaksana Tempo Iwan Kurniawan menerangkannya pada Sekolah Jurnalistik (Sejuk) yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa Situs Unair secara virtual, Sabtu (7/8/21).
Menyikapi berbagai informasi yang masuk ke meja redaksi, termasuk yang berupa konflik, bisa menggunakan berbagai pendekatan jurnalistik untuk mengemasnya. Salah satunya, Iwan mengungkap pendekatan peace journalism (jurnalis perdamaian). “Tugas jurnalis bukan membuat konflik semakin membara, tapi menciptakan perdamaian!” ujarnya.
Sehingga, lanjut Iwan, ketika jurnalis mengangkat isu yang terkait konflik, yang diangkat bukan konfliknya, tapi sisi-sisi positif yang berkonflik. Dia menekankan, ini hanya sebuah salah satu opsi pendekatan, di mana tidak semua media atau jurnalis mengikutinya.
Media Konvensional Vs Media Sosial
Iwan Kurniawan menjelaskan, berita yang beredar di media konvensional berbeda dengan yang beredar di media sosial. Perbedaannya adalah keberadaan redaksi. Dengan kata lain, adanya penyaring dan pengontrol informasi.
“Ada redaksi yang memilihkan untuk pembaca, sehingga pembaca sebetulnya tidak punya banyak pilihan. Pembaca tidak punya kebebasan untuk mencari sendiri beritanya,” ujarnya.
Dasar utama dalam pemilihan berita bagi redaksi adalah nilai berita. Yaitu hal menarik yang berita sampaikan. Iwan membaginya menjadi dua, yaitu nilai instrinsik dan ekstrinsik. Iwan menyebutkan, nilai ekstrinsik meliputi identitas media, kompetisi, dan nilai produksi.
Nilai Intrinsik
Berikut tujuh nilai instrinsik dalam berita yang Iwan uraikan:
Pertama, dampak. Iwan mengatakan, nilai membuat berita yang ditulis memiliki dampak. Semakin kecil dampaknya, semakin kecil nilainya, maka semakin berkurang pula daya tariknya. “Pandemi kenapa jadi berita di mana-mana? Karena dampaknya besar sekali,” ungkapnya.
Kedua, kebaruan. Di berita pandemi misalnya, Iwan mencontohkan setiap hari ada kasus, vaksin, dan masalah baru.
Ketiga, eksklusivitas. Kata Iwan, eksklusivitas bisa diperoleh dari hasil wawancara.
Keempat, konflik. Ini menarik karena menimbulkan pro-kontra.
Kelima, unpredictable (tidak bisa diprediksi). Iwan mencontohkan berita tentang bencana alam yang tak pernah bisa diduga, meski dampaknya besar.
Keenam, perbincangan publik. “Apa yang paling ramai dibahas di masyarakat kita?” tanya Iwan retoris.
Saat menulis berita di Unair misal, bisa menulis tentang kenaikan SPP. “Tentu ini ramai dibahas mahasiswa di dalam kampus, meski bagi yang di luar kampus mungkin tidak penting,” jelas lulusan Filsafat UGM itu.
Ketujuh, kedekatan. Iwan menegaskan, “Semakin dekat orang dengan peristiwa tersebut, dia menjadi semakin tertarik dan terlibat.”
Contohnya, penulis tinggal di Surabaya tapi menulis banjir di Papua, prihatin iya tapi terlalu jauh dampaknya untuknya di Surabaya. “Sebagai jurnalis kita perlu menimbang hubungan-hubungan, bagaimana mendekatkan isu-isu yang barangkali agak berjauhan, harus didekatkan ke pembaca,” terangnya.
Menemukan Berita
Iwan menyatakan, jurnalisme pekerjaan yang berangkat dari lapangan. Bagi mahasiswa, bisa menemui berbagai kalangan di kampus, mengikuti seminar, dan membaca jurnal.
“Kalau mau mencari ide menulis berita, saya sarankan jangan duduk di kamar dan berkhayal, turunkan ke lapangan!” ujarnya.
Dengan catatan, di pandemi yang serba terbatas ini, Iwan mengimbau mahasiswa mencari pendekatan lain. Agar tetap bisa menemukan bahan berita secara aman.
Kata Iwan, ada yang lebih penting bagi jurnalis daripada sekadar melihat apa fakta (temuan di lapangan) yang terjadi. Misal, fakta melihat kecelakaan di jalan. Jika sekadar fakta, semua orang sudah bisa melihat, ada banyak saksi lainnya.
Tapi yang lebih penting, menurutnya, pertanyaan lebih jauh yang jurnalis belum tahu, sehingga butuh penggalian data. Misal, pertanyaan kenapa dan bagaimana terjadinya.
Selain itu, berita bisa ditemukan lewat informasi yang mungkin nanti ada. Jurnalis, kata dia, selalu mengantisipasi kemungkinan itu terjadi. “Hal-hal yang kita belum tahu apa, tapi kita memprediksi, seharusnya ada sesuatu nih,” ujarnya.
Sebagai jurnalis, lanjutnya, jangan pernah merasa sudah tahu kejadiannya. “Jangan pernah selesai di situ, barangkali bisa menimbang lebih jauh lagi, (sampai menemukan) kemungkinan yang lebih dalam lagi, yang lebih menarik!” ungkapnya saat menyampaikan materi.
Sembilan Unsur Jurnalisme
Iwan juga memaparkan sembilan unsur jurnalisme berdasarkan Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam The Elements of Journalism.
Tiga unsur utama menjadi seorang jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, disiplin verifikasi sumber berita, dan loyalitas utamanya kepada masyarakat.
Keempat, jurnalis harus mempertahankan independensinya dari apa yang diliputnya.
Kelima, jurnalis bertugas sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan.
Keenam, jurnalis harus menyediakan tempat bagi kritik masyarakat dan kompromi.
Ketujuh, jurnalis harus berusaha membuat berita yang signifikan, menarik dan relevan.
Kedelapan, jurnalis harus mempertahankan agar berita itu komprehensif dan proporsional.
Terakhir, jurnalis harus diizinkan untuk mengikuti kata hatinya.
Ketika kode etik jurnalistik diaplikasikan dengan baik, hal tersebut akan memberi manfaat kepada masyarakat dalam menerima informasi yang kredibel. (*)
Kontributor Fithri Istiqomah dan Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni