76 Tahun Merdeka: Keadilan bagi si Miskin oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO– Dari penggalan pelajaran sejarah yang kini masih diingat: gedung-gedung bisa saja dibangun tinggi, bisnis semakin maju, pemandangan kota tampak indah, tapi kenapa si miskin tambah sengsara?
Jadi apakah merdeka juga bermakna kaya?
Apakah miskin tak boleh ada? Apa yang terjadi bila kemiskinan terhapus dari muka bumi? Lantas siapa yang harus benahi genteng rontok, talang bocor, cuci piring, dan bersihkan jalan-jalan. Juga yang melayani para aristokrat hidangkan makan dan minum pada jamuan besar.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu apakah bermaksud menghapus kemiskinan atau hanya semacam ikhtiar agar setiap kita tetap giat bekerja, tulis Prof Mubyarto mengawali kajiannya tentang ekonomi Pancasila dua puluh tahun silam.
Si miskin dengan tidak menyoal tentang status bisa saja hanya sebuah peran, kata Herbert Marcuse. Artinya, si miskin harus tetap ada untuk menjaga keseimbangan agar kehidupan dunia tetap harmoni.
Karl Marx, tokoh komunis yang keras itu juga tak hendak hapus kemiskinan. Ia hanya tawarkan pemberontakan agar si kaya tak lengah dan status sosial dipergilirkan. Statemen Pak Menko PMK Muhadjir Effendy cukup menggelitik untuk direnungkan: bila si miskin besanan bakal melahirkan orang miskin baru. Tapi sayang pernyataan jenius ini banyak disalahpahami. Bahwa kemiskinan struktural harus dipangkas agar klaster kemiskinan bisa ditembus setidaknja ada harapan bagi si miskin untuk bisa kaya walau sebentar.
Kefakiran itu hampir-hampir mendekati kekafiran. Saya juga masih belum paham bagaimana di sebuah rumah ada makanan berlimpah dibuang setiap pagi karena sisa semalam dan ada si miskin yang mengais makanan di tong sampah sebelah rumah. Kemana Tuhan saat si miskin kian merana? Tanya Bruce Sheiman, penulis buku An Atheist Defends Religion: Why Humanity is Better Off with Religion Than without It.
Bukankah kemiskinan juga seumur manusia diciptakan dan entah sampai kapan. Saya tak percaya bila kemiskinan bisa dihapus dihilangkan sama sekali dari muka bumi.
Kenapa pembangunan tak bisa hapus kemiskinan? Bahkan orang miskin tambah merana karena sengsara. Miskin itu niscaya bukan status yang harus dihindari apalagi dihapus sama sekali. Sebab bahagia dan sejahtera tak harus kaya, kata Marcuse dengan yakin penuh seluruh.
Sayapun tetap bersyukur ada si kafir. Dengannya Tuhan menggantikan tempat dudukku di neraka. Jika si kafir tiada lantas siapa yang menghuni neraka. Jadi hidup itu bukan pilihan tapi peran yang sudah ditetapkan termasuk si miskin yang terus diikhtiarkan, sama sekali bukan menghapus agar tiada, hanya agar di antara kita terlihat bekerja dan bukan melawan ketetapan.
Tapi kenapa harus aku yang miskin, tanya temanku tadi malam pada tirakatan tujuh belasan yang heroik meski hanya bawa ketan bubuk di piring kecil. Pertanyaan itu terus muncul meski sudah 76 Tahun Merdeka. (*)
Editor Sugeng Purwanto