Beragam ekspresi yang ditampilkan di arena ABI III 212, salah satunya yaitu pemborongan kue Sari Roti itu. Niatan ikhlas itu ternyata dimanfaatkan pihak Sari Roti untuk menunjukkan sikap politiknya. Sungguh tidak etis.
Kaitannya dengan etika, Richard T de George (1986), dalam buku Business Ethics memberikan empat macam kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai cakupan etika bisnis. Pertama, penerapan prinsip-prinsip etika umum pada praktik-praktik khusus dalam bisnis.
(Baca: 4 Perjalanan Nasib Situs Sari Roti dalam 8 Hari)
Kedua, etika bisnis tidak hanya menyangkut penerapan prinsip etika pada kegiatan bisnis, tetapi merupakan “meta etika” yang juga menyoroti apakah perilaku yang dinilai etis atau tidak secara individu dapat diterapkan pada organisasi atau perusahaan bisnis.
Ketiga, bidang penelaahan etika bisnis menyangkut asumsi mengenai bisnis. dalam hal ini, etika bisnis juga menyoroti moralitas sistem ekonomi pada umumnya serta sistem ekonomi suatu negara pada khususnya. Dan keempat, etika bisnis juga menyangkut bidang yang biasanya sudah meluas lebih dari sekedar etika, seperti misainya ekonomi dan teori organisasi.
(Baca juga: Muhammadiyah Sesalkan Upaya Aparat yang Persulit Keberangkatan Peserta Aksi Bela Islam III ke Jakarta)
Pada keempat bidang tersebut, etika bisnis membantu para pelaku bisnis untuk melakukan pendekatan permasalahan moral dalam bisnis secara tepat dan sebaliknya mendekati permasalahan yang tedadi pada bisnis dengan pendekatan moral yang mungkin sering diabaikan.
Etika bisnis akan membuat pengertian bahwa bisnis tidak sekedar bisnis, melainkan suatu kegiatan yang menyangkut hubungan antarmanusia sehingga harus dilakukan secara “manusiawi” pula.
(Baca juga: 5 Sikap Muhammadiyah Jatim Tanggapi Rencana Aksi Bela Islam Jilid III, Aksi 212)
Dalam keempat katagori di atas, maka Sari Roti memang melanggar dan tidak memiliki etika biisnis. Apalagi dalam Islam, Rasulullah SAW menyampaikan, “Ada tiga kelompok orang yang kelak pada hari kiamat Allah tidak akan berkata-kata, tidak akan melihat. Tidak akan pula mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih. Abu Dzarr berkata, “Rasulullah mengulang-ulangi ucapannya itu, dan aku hertanya,” Siapakah mereka itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang pakaiannya menyentuh tanah karena kesombongannya, orang yang menyiarkan pemberiannya (mempublikasikan kebaikannya), dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim).
Dalam konteks yang sama Rasulullah SAW bersabda: “Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila membeli dan atau ketika menuntut hak.” (HR. Bukhari).
(Baca juga: Terlantar 8 Tahun di Jakarta, Tukang Pijat Keliling Bersepeda Ontel Ini Ikut Aksi 212)
Dua hadist ini menunjukkan bahwa dalam dunia bisnis dan perdagangan posisi antara penjual dan pembeli harus pada posisi yang berimbang dan didasari dengan keikhlasan juga saling menguntungkan. Si penjual dapat keuntungan dengan hasil jualannya sedangkan si pembeli mendapat keuntungan dari kwalitas barang yang dibeli juga service pelayanannya.
Untuk itu maka tidak seharusnya penjual mempunyai pretensi tertentu dengan memasukkan ranah politik ke dunia bisnis.Dan kasus ini merupakan pelajaran yang berharga bagi kita dimasa mendatang. (*)