Menyambut peluncuran buku Nadjib Hamid Mengabdi tanpa Batas yang akan dilakukan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur secara daring dan luring terbatas, Sabtu 18 September 2021, kami menurunkan tulisan Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni. Selamat menikmati!
PWMU.CO – Menulis biografi orang yang masih hidup adalah salah satu hal yang dihindari Nadjib Hamid di tahun-tahun terakhir kehidupannya. Rupanya pengalaman tidak mengenakkan saat menulis sebuah artikel tentang seseorang masih membekas di benaknya.
Kisah manis sang ‘tokoh’ yang dia tulis akhirnya tidak seindah perjalanan hidupnya, setelah beberapa tahun ceritanya ditulis. Nadjib kecewa, maka sebagai ‘penebus dosa’ dia berjanji tak akan menulis biografi seseorang selama dia masih hidup. “Kapok Mas!’ begitu dia pernah berkata.
Sebagai konsekuensinya, Nadjib sangat giat menulis atau meminta dituliskan jika ada tokoh Muhammadiyah yang berpulang. Biasanya dia mengirimkan infonya ke saya. Itu sebuah isyarat bagi kami di PWMU.CO agar menuliskan beritanya. Di rubrik Tarikh majalah Matan yang dia pimpin pun, berlembar-lembar halaman juga dipersembahkan untuk mengenang mereka yang wafat.
Begitu pula saat anggota Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Muhammad Nadjikh tutup usia. Nadjib langsung bergerak mengumpulkan testimoni dari keluarga, sahabat, dan rekan bisnis CEO PT Kelola Mina Laut itu. Dia bersemangat untuk menerbitkan bukunya. Tak tanggung-tanggung, Nadjib mencetak 2.000 buah buku Najikh secara lux dengan hard cover dan kertas mewah matt paper.
Semangat untuk mengabadikan mereka yang meninggal dunia itu juga ditangkap dengan baik oleh PWM Jatim, tepat saat Nadjib Hamid menghembuskan napas terakhirnya, Jumat 9 April 2021. Saat menunggu waktu shalat jenazah, saya diajak berbincang oleh bapak-bapak PWM Jatim. Intinya, mereka ingin menerbitkan buku tentang Nadjib Hamid yang lebih baik, setidaknya setara dengan buku Muhammad Nadjikh.
Perbincangan itu lalu ditindaklanjuti dengan membentuk tim penulis yang langsung dipimpin oleh Wakil Sekretaris PWM Jatim Biyanto. Tiga anggota PWM Jatim ikut mendampinginya. Yaitu Nur Cholis Huda (Wakil Ketua), Tamhid Masyhudi (Sekretaris), dan Syamsudin (Wakil Ketua). Adapun yang menjadi anggota penulis adalah Sugeng Purwanto (Ketua LIK), Ainur Rafiq Sophiaan (Pemred Matan), Fathurrahim Syuhadi, Uzlifah, dan saya. Mereka dibantu sekretaris Musodik dan Zainal Arifin.
Hikmah Biografi Ditulis setelah Wafat
Nadjib benar, mengapa buku biografi lebih tepat bila ditulis setelah sang tokoh mangkat. Ini bukan sekadar soal kekhawatiran jika sang tokoh akan mengalami suul khatimah usai kebaikan-kebaikannya ditulis. Tapi ada sisi lain yang juga penting untuk dipertimbangkan.
Setelah membaca buku ini, saya membayangkan betapa Nadjib akan enggak enak hati jika dia membacanya ketika masih hidup. Sebab 400 lebih halaman buku yang diterbitkan Umsida Pers ini berisi lembaran-lembaran kebaikannya selama hidup: dari kisah masa kecil di desa hingga detik-detik menjelang kepergiannya. Sebagai seorang muslim, dia pasti khawatir potensi terjerembab ke dalam godaan riya.
Memang, Nadjib termasuk pemimpin yang mendorong agar kegiatan-kegiatan Persyarikatan di-publish supaya bisa menginspirasi orang lain. Di samping, tentu saja, sebagai dokumentasi sejarah atau jejak digital. Kehadiran Matan, Hikmah Press, dan PWMU.CO adalah bagian dari tujuan itu. Tapi jika kisah kebaikan hidupnya, dari A hingga Z, ditulis ketika dia masih gesang, maka saya meyakini dia, sebagai orang Jawa, akan ewuh pakewuh. Karena itu sangat tepat buku ini diterbitkan setelah dia wafat.
Dengan ditulis bergaya soft news, maka membaca buku ini seperti mengikuti live perjalanan hidup Nadjib Hamid.
Tapi yang menjadi persoalan, salah satu kesulitan bila menulis sosok yang telah wafat adalah kehilangan narasumber utama, sehingga hanya bisa mengandalkan orang kedua atau ketiga. Untungnya, Nadjib punya banyak jejak. Dia telah membukukan buah pikirannya ke dalam beberapa buku. Suami Luluk Humaidah itu juga telah berkeliling ke berbagai tempat untuk berceramah, lalu di era digital ini ada yang mencatat atau menuliskannya ke internet, seperti yang dilakukan para kontributor PWMU.CO. Nadjib juga rajin menulis di berbagai koran dan majalah. Itu menjadi salah satu bahan tulisan buku ini.
Dan yang tak kalah penting, Nadjib punya ‘jejak hidup’ pada keluarga dan kader-kadernya. Dari sanalah informasi tentang siapa, apa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa (5W1H) Nadjib Hamid digali lebih jauh. Begitulah buku ini ditulis. Di samping menyajikan testimoni para sahabat lintas batas, buku ini disajikan dengan menggunakan teknik softnews alias berita ringan, sebagai salah satu genre jurnalistik.
Inilah yang membedakannya dengan buku Muhammad Nadjikh yang full testimoni. Dan ini sekaligus sebagai jawaban tim penulis atas tantangan PWM Jatim agar buku Nadjib Hamid dibikin lebih baik. Mungkin tidak secara fisik, tetapi dari metode penulisan sudah ada peningkatan.
Dengan ditulis bergaya soft news, maka membaca buku ini seperti mengikuti live perjalanan hidup Nadjib. Atau bisa dibilang, inilah novel tentang Nadjib Hamid. Hanya yang membedakannya: ‘novel’ ini berisi fakta, bukan fiksi. Data-data dirujuk pada sumber terpercaya dengan memperhatikan 5W1H yang menjadi kaidah jurnalistik. Karena itu, penulisan buku ini membutuhkan proses lebih lama. Dibentuk tanggal 19 April 2021, tim penulis yang diketuai Prof Biyanto ini baru bisa menyelesaikan buku ini untuk siap cetak pada tanggal 14 Agustus 2021.
Selain menyajikan sejarah Nadjib secara soft news, buku ini juga menyuguhkan testimoni dari para sahabatnya, baik dari kalangan Muhammadiyah maupun eksternal.
Mengabdi tanpa Batas
Nadjib Hamid Mengabdi tanpa Batas akhirnya dipilih sebagai judul buku ini. Sebelumnya juga berkembang judul Nadjib Hamid Kader Serbabisa. Dalam diskusi tim penulis, kedua judul itu memang mewakili sosok Nadjib. Dia adalah tokoh serbabisa atau multitalenta. Tulisan-tulisannya bagus, enak dibaca, dan selalu kontekstual. Ceramahnya sederhana namun mengena di hati dan pikiran. Tidak banyak tokoh yang ceramah dan tulisannya sama-sama bagus. Dan Nadjib adalah salah satu di antaranya.
Nadjib juga serbabisa dalam berkegiatan. Dia tidak saja diterima di lingkungan Persyarikatan, namun juga di kalangan eksternal. Wartawan-wartawan suka menjadikan dia sebagai narasumber soal Muhammadiyah Jatim. Nadjib juga melintas batas organsisasi. Dia pernah di MUI, Baznas, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT). Sebelumnya ‘pekerjaan’ sebagai komisioner Panwaslu dan KPU Jatim juga dilakoninya.
Serbabisa juga menjadi ciri pergaulannya. Dengan siapa saja dia bisa bergaul: dari pejabat hingga rakyat; dari pimpinan Muhammadiyah hingga kader-kader bawah. Dia sangat merakyat. Bahkan sepekan sebelum masuk rumah sakit dan akhirnya wafat, dia masih menghadiri pernikahan kader Nasyiatul Aisyiyah di pelosok Gresik.
Tapi mengapa serbabisa akhirnya tidak dipilih sebagai judul? Ternyata tim sepakat sisi pengabdian Nadjib lebih kuat untuk ‘merangkum’ sosoknya. Sejak kecil Nadjib sudah menjadi pengabdi keluarga. Sebagai anak mbarep, dia punya tanggung jawab lebih besar dibanding adik-adiknya. Dia harus membantu pekerjaan orangtua, juga momong adik-adiknya.
Bukan hanya di keluarga, di Persyarikatan Nadjib juga adalah pengabdi tulen. Sejak remaja dia sudah aktif di IPM, bahkan menjadi pembangkit ikatan yang mati suri di daerahnya. Nadjib juga pernah menjadi marbot masjid dan ‘penunggu’ markas dakwah anak-anak muda Muhammadiyah di Surabaya. Pengabdian itu terus berlangsung hingga akhir hanyatnya ketika dia menjabat Wakil Ketua PWM Jatim.
Yang tak kalah keras adalah pengabdiannya bagi keluarga inti: istri dan anak-anaknya. Kesulitan ekonomi di awal-awal pernikahan dihadapinya dengan kerja keras. Jualan kue kembang goyang di terminal pernah dia jalani. Juga berjualan buku dan membuka kantin. Tak malu-malu dia melakoni semua itu. Bahkan jualan buku terus dilakukan meskipun dia punya kedudukan ‘tinggi’ di Muhammadiyah Jatim.
Tak cukup bagi keluarga inti, Nadjib bersama istrinya juga mengabdi untuk ‘keluarga’ ideologis. Rumahnya di Jalan Ubi VI No. 27A Surabaya menjadi ‘kos-kosan’ gratis (lengkap dengan makannya) bagi kader atau anak kader yang membutuhkan tempat tinggal di Surabaya karena kuliah atau kerja. Merawat keluarga sang surya, yakni kader-kader ‘pinggiran’ Muhamamdiyah dalam kegiatan family gathering adalah cara lain Nadjib mengabdi pada keluarga ideologis. Termasuk dalam hal ini adalah pengabdiannya dalam menjodohkan para kader.
Sosok Teladan
Itulah Nadjib Hamid. Pengabdiannya tanpa batas, termasuk upayanya masuk ke berbagai institusi di luar Muhammadiyah seperti MUI dan Baznas itu. Tapi bukan Nadjib kalau pengabdiannya hanya terbatas di ‘tempat-tempat besar’. Pengabdian Nadjib bahkan memasuki ranah kecil. Berceramah di pucuk gunung pun dia lakukan demi pengabdiannya pada umat, sekalipun dia harus menempuhnya dengan kendaraan umum.
Seperti kesaksian Haedar Nashir yang dengan mata kepala sendiri melihat Nadjib harus berpindah dari mobil yang mengantarkan Haedar ke kendaraan umum. Bukan itu saja, Nadjib bahkan biasa ‘bermalam’ di percetakan. Hal itu dia kerjakan demi ngeloni Matan atau buku-buku terbitan Hikmah Press sehingga bisa terbit tepat waktu dengan kualitas bagus.
Mengapa Nadjib Hamid begitu kuat pengabdiannya? Itu tak lepas dari prinsip-prinsip hidup yang dipegangnya, di antaranya soal ujrah dan ajrun.
Mohammad Nurfatoni
Nadjib memang tak pernah setengah-setengah. Dia mengabdi secara totalitas, bahkan di detik-detik terakhir kehidupannya. Sepekan sebelum masuk rumah sakit, Nadjib masih rapat di Kantor PWM Jatim dan BPH Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida). Juga berceramah secara daring di PCM Manyar Gresik dan menghadiri pernikahan kader. Itu dia lakukan dalam kondisi sakitnya sudah parah. Apalagi, saat sakitnya masih dianggap biasa sejak November 2020. Seperti tidak sakit saja, Nadjib masih mengisi acara di sana-sini, baik daring maupun luring.
Yang juga patut dicatat sebagai pengabdian tak terbatasnya adalah soal pendidikan anak-anaknya. Ketiga anaknya: Muhammad Ulun Nuha, Aunillah Ahmad, dan Aulia Azmi; semuanya disekolahkan di Muhammadiyah. Dia punya prinsip, jika masih ada sekolah Muhammadiyah mengapa harus sekolah di tempat lain.
Mengapa Nadjib Hamid begitu kuat pengabdiannya? Itu tak lepas dari prinsip-prinsip hidup yang dipegangnya, di antaranya soal ujrah dan ajrun. Meski pengabdiannya sering kali tanpa mengharap (atau mendapat) upah (ujrah)—bahkan dia sendiri sering mengembalikan amplop ceramah—tapi dia yakin Allah akan membalasnya dengan ajrun (pahala). Baik yang diberikan-Nya di dunia maupun akhirat. Begitulah dia memberi teladan.
Luas dan dalamnya pengabdian Nadjib Hamid itu—tentu tak cukup bagi tulisan ini untuk merangkum apa yang ada di buku tebal itu (monggo bukunya dibaca sendiri)—membuat kami sepakat bulat jika buku ini diberi judul: Nadjib Hamid Mengabdi tanpa Batas.
Mudah-mudahan pengabdiannya diterima Allah SWT sebagai amal jariah yang pahalanya akan terus mengalir kepadanya, meski dia telah pergi selamanya. Nadjib Hamid memang telah pergi, tapi insyaallah, amalnya akan abadi. Dan semoga buku ini menginspirasi, sebagaimana teladan yang telah ditorehkan sang pengabdi. (*)
Tulisan Menyambut Peluncuran Buku Nadjib Hamid Mengabdi tanpa Batas ini kali pertama dipublikasikan melalui majalahmatan.com dengan judul Mengabadikan Sosok Serbabisa.
Data Buku
Nadjib Hamid Mengabdi tanpa Batas
Penyelia: Nur Cholis Huda, Syamsuddin, dan Tamhid Masyhudi. Tim Penulis: Ketua Biyanto
Anggota : Ainur Rafiq Sophiaan, Fathurrahim Syuhadi, Mohammad Nurfatoni, Sugeng Purwanto, dan Uzlifah Sekretaris Musodik dan Zainal Arifin
Desain Sampul: Valiant Ilham Zamani. Desain Isi: Cakra Print
ISBN : 978-623-6292-15-0 Cetakan I: September 2021. Ukuran : 150 x 230 mm. Halaman : xiv + 418
Penerbit Umsida Press, Jalan Majapahit No. 666-B Sidoarjo, Telp. 031-8945444, E-mail: sekretariat@umsida.ac.id.
Isi di luar tanggung jawab percetakan CV Cakrawala, Jalan Kusuma 28 Berbek, Waru, Sidoarjo, Telp. (031) 866 8881 WA 0878 5331 7612