Melawan Tesis Snouck Hurgronje oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Dalam sebuah zoominar bertema TNI Vs PKI yang diselenggarakan oleh KAHMI baru-baru ini, Prof Bagir Manan mengatakan, kebangkitan komunisme di Indonesia selama 20 tahun terakhir sebagian disebabkan kegagalan cendekiawan muslim untuk mewujudkan Pancasila di sektor ekonomi.
Akibatnya ekonomi Indonesia semakin liberal kapitalistik. Kemiskinan dan kesenjangan makin menjadi-jadi seperti yang terjadi di AS. Bahkan demokrasi di AS pun terbukti gagal karena rasialisme masih subur.
Pemerintah kolonial Belanda telah mengadopsi tesis Snouck Hurgronje untuk memisahkan ekonomi dan politik dalam pemikiran Islam di nusantara. Ini memperkuat pemikiran Pangeran Benowo yang memilih menjadi kiai di tanah perdikan daripada menjadi Raja Demak.
Pandangan inilah yang kemudian diterima oleh mayoritas umat Islam hingga hari ini. Ini berbeda dengan pandangan Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol yang tidak terlalu diilhami oleh Walisongo. Kedua tokoh ini memutuskan memberontak melawan penjajahan. Pandangan politik kekuasaan ini kemudian diadopsi oleh Masyumi.
Untuk melawan kebangkitan komunisme di Indonesia, umat Islam harus mengambil jalan Diponegoro dan Syarikat Dagang Islam untuk sekaligus melawan tesis Snouck Hurgronje itu.
Ini berarti umat Islam harus mereposisi peran politik ekonomi agar tidak menjadi buruh, profesional atau sekadar penonton. Ini menjelaskan mengapa NU dan Muhammadiyah masih bisa menerima riba dalam kehidupan ekonomi umat dengan alasan kedaruratan. Darurat selama 50 tahun?
Ekonomi Syariah
ICMI telah mengambil sikap untuk mulai membangun ekonomi syariah dengan memprakarsai pendirian Bank Muammalat pada awal 1990-an. Setelah itu banyak Bank BUMN yang membuka layanan syariah. Namun hingga hari ini kapitalisasi perbankan syariah nasional masih belum membanggakan. Karena jagad politik nasional justru semakin liberal kapitalistik setelah reformasi. Perbankan syariah malah mengalami stagnasi jika bukan degradasi hingga hari ini.
Sementara itu wawasan kesaudagaran umat Islam juga menyusut seiring dengan proyek sekulerisasi, deislamisasi, dan deagromaritimisasi besar-besaran sejak Orde Baru. Pada saat parpol Islam makin berkurang pengaruhnya secara politik, peran ekonomi umat Islam juga makin menyusut.
Sebagian besar warga muda muslim justru memilih menjadi profesional yang bekerja di BUMN dan perusahaan-perusahaan asing maupun aseng. Sektor pertanian dan kemaritiman juga terbengkalai seiring dengan urbanisasi besar-besaran ke Jawa sebagai pusat pertumbuhan berbasis industri.
Obsesi pertumbuhan berbasis ekspor sumberdaya alam tak-terbarukan ataupun komoditas bernilai tambah rendah telah menyebabkan penelantaran pengelolaan trade and commerce. Sebagai produsen kita tidak menjadi price-maker.
Harga komoditas justru ditentukan di Hongkong, London, atau New York. Sejak sistem moneter dunia mencampakkan emas, perdagangan internasional menjadi instrumen pengurasan sumberdaya alam nasional untuk kepentingan Barat yang memaksakan US dollar sebagai alat pembayaran.
Obsesi pertumbuhan tidak berkualitas itu diperburuk oleh pengelolaan perdagangan domestik yang juga telantar. Sistem transportasi nasional kita kini terjebak dalam moda jalan yang tidak efisien, berbahaya dan polutif.
Ini telah menelantarkan sektor kemaritiman sebagai instrumen penting dalam memastikan biaya logistik yang efisien. Akibatnya kesenjangan spasial antara Jawa dan luar Jawa hingga hari ini masih buruk. Cita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia makin jauh panggang dari api.
Doktrin Wawasan Nusantara yang semula dibangun oleh Djuanda dan Mochtar Kusumaatmaja, serta diperkuat kemudian oleh BJ Habibie sesungguhnya sebuah wawasan trade and commerce. Wawasan saudagar muslim. (*)
Rosyid College of Artsa and Maritime Studies, Gunung Anyar, Surabaya, 28/9/2021.
Penulis Dadang Prabowo Editor Sugeng Purwanto