PWMU.CO– Penamaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda tahun 1928 ternyata diawali dengan perdebatan.
Semua pemuda peserta Kerapatan Pemuda-Pemuda Indonesia I tanggal 30 April–2 Mei 1926 sepakat perlu bahasa persatuan sebagai identitas bangsa untuk menggantikan Bahasa Belanda yang ditetapkan pemerintah kolonial.
Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, Ketua Panitia Kongres Pemuda I tahun 1926 adalah orang pertama yang mengusulkan penamaan Bahasa Indonesia untuk bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca.
Tapi Mohammad Yamin, mahasiswa Rechtschool dari Jong Sumatranen Bond dan Djamaluddin Malik juga dari Sumatra bersikukuh namanya tetap Bahasa Melayu.
Tabrani menuturkan seperti ditulis dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda terbitan tahun 1973.
”Menurut Mohammad Yamin, hanya dua bahasa, yaitu Jawa dan Melayu, yang mengandung harapan menjadi bahasa persatuan. Namun menurut keyakinannya Bahasa Melayu yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia. Kebudayaan Indonesia di masa depan akan diutarakan dalam bahasa tersebut.”
Menurut jalan pikiran Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasanya harus disebut Bahasa Indonesia, bukan Bahasa Melayu. Walaupun unsur-unsur bahasa Melayu mendasari Bahasa Indonesia.
Dalam buku autobiografi berjudul Anak Nakal Banyak Akal (1979), Tabrani menulis.
“Jalan pikiran saya kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa persatuannya harus disebut Bahasa Indonesia dan bukan Bahasa Melayu. Yamin naik pitam dengan alasan: ‘Tabrani menyetujui seluruh pikiran saya, tetapi kenapa menolak konsep usul resolusi saya.
Lagi pula yang ada Bahasa Melayu, sedang Bahasa Indonesia tidak ada. Tabrani tukang ngelamun’.
Tabrani menanggapi: Alasanmu Yamin betul dan kuat. Maklum lebih paham tentang bahasa daripada saya, namun saya tetap pada pendirian. Nama bahasa persatuan hendaknya bukan Bahasa Melayu, tetapi Bahasa Indonesia. Kalau belum ada harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini.”
Pemikiran Tabrani ini didukung sastrawan Sanusi Pane. Akhirnya Yamin dan Djamaludin memahami dan menghargai jalan pikiran penamaan Bahasa Indonesia itu. Lantas mereka sepakat pengambilan putusan nama bahasa persatuan ditunda dan diputuskan dalam Kerapatan Pemuda-Pemuda Indonesia II tahun 1928.
Usai kongres pertama itu pada September 1926 didirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Lantas pada 20 Februari 1927 dibentuk Jong Indonesia.
Dalam kongres pertama Jong Indonesia di Bandung tanggal 28 Desember 1927, namanya diganti menjadi Pemuda Indonesia. PPPI dan Jong Indonesia menjadi motor penyelenggaraan Kerapatan Pemuda-Pemuda Indonesia II pada 27-28 Oktober 1928.
Akhirnya penamaan bahasa persatuan disepakati nama Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda II itu.
Disakralkan
Kerapatan Pemuda-Pemuda Indonesia II menghasilkan putusan atau resolusi yang ditulis oleh Muhammad Yamin dan dibacakan oleh Ketua Sidang Sugondo Joyopuspito.
Hasil rapat ini diberi judul Poetoesan Congress Pemoeda-Pemoeda Indonesia.
1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ternyata di kemudian hari putusan kongres itu berubah menjadi Soempah Pemoeda. Setelah diusut ternyata ini ulah Mohammad Yamin sewaktu menjadi Menteri Pendidikan menginginkan peristiwa itu menjadi luar biasa.
Kalau mengacu pada dokumen asli, pemuda Indonesia dalam kongres 1928 tidak pernah bersumpah. Jika ditelusuri perubahan kata Putusan Kongres menjadi Sumpah Pemuda berawal dari Kongres Bahasa Indonesia Kedua di Medan, 28 Oktober 1954.
Dalam kongres bahasa itu Yamin membuat tafsir baru terhadap Putusan Kongres Pemuda menjadi Sumpah Pemuda demi kepentingan ideologis dengan mengaitkan peristiwa Sumpah Palapa Gajah Mada zaman Majapahit. Dengan demikian Sumpah Pemuda menjadi sakral. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto